MANUSIA
DAN MISTISISME;
Studi
tentang Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dari Sudut Pandang Tasawuf
Zulkifli, S.Pd.I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk yang super kompleks. Selain menjadi subjek kajian, ia juga dapat
dijadikan objek kajian. Sebagai objek kajian, manusia dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang, seperti dari sudut pandang biologi, sosiologi,
antropologi, teologi, filfasat, mistisisme dan sebagainya. Dari sudut pandang
mistisisme misalnya, manusia diyakini memiliki pengalaman nonrasional dan tidak
biasa tentang realitas yang mencakup seluruh yang memungkinkan diri bersatu
dengan realitas yang biasanya dianggap sebagai sumber atau dasar eksistensi
semua hal.[1]
Manusia
memiliki unsur yang lebih substansial dari sekedar jasmani, yaitu unsur ruhani.
Jasmani itu sendiri adalah unsur luar dari manusia yang bersifat rusak, dan
tidak sempurna tanpa unsur-unsur lainnya. Sementara ruhani adalah unsur dalam
dari manusia yang merupakan substansi yang tersendiri yang mempunyai daya
mengetahui, bergerak dengan kemauannya dan penyempurna bagi unsur jasmani.
Kajian
manusia dari sudut pandang mistisisme sangatlah menarik, karena tidak cukup
hanya dengan akal, tetapi juga melibatkan unsur rasa (dzauq) dan
pengalaman spiritual dari masing-masing orang. Sehingga tidaklah dianggap
mengherankan apabila para mistikus berbeda dalam hal mendefinisikan manusia itu
sendiri. Mereka memberikan definisi sesuai dengan pengalaman spiritual yang
mereka rasakan.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang manusia dari sudut
pandang mistisisme dengan tema “Manusia dan Mistisisme; Studi tentang
Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dari Sudut Pandang Tasawuf”. Namun,
sebelum membahas tentang manusia dari sudut pandang mistisisme, perlu penulis
jelaskan dalam makalah ini tentang pengertian, asal usul, karakteristik, dan
tujuan mistisisme itu sendiri yang dalam Islam dikenal dengan istilah tasawuf.
PENGERTIAN DAN
ASAL USUL MISTISISME
Akar kata mistisisme adalah “mistik”. Kata mistik
itu sendiri berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim),
serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker)
atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Berdasarkan
arti ini, mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme
merupakan “Paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal
ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap
atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau
dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.”[2]
Mistisisme secara harfiah berarti pengalaman
batin, yang tidak terlukiskan, khususnya yang memiliki ciri religius. Dalam
arti paling luas, ia dimengerti sebagai jenis apa pun dari kesatuan mendalam
dengan Allah. Dan dalam arti sempit, ia berarti kesatuan luar biasa dengan
Allah. Mistisisme selaku pengalaman hendaknya dibedakan dari mistisisme sebagai
ilmu tentang pengalaman mistik.[3]
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mistisisme diartikan sebagai
ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal
manusia.[4]
Dalam pengertian lain, mistisisme juga dapat
diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak
dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, pun pula tidak melalui intelek
(akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi
mistik yang nonrasional. Hakikat realitas tak dapat diungkapkan dan tidak
dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.[5]
Istilah mistisisme rupanya digunakan pertama
kali oleh Dionisius Areopagita. Istilah mistisisme mengacu kepada teknik
Via Negativa (jalan negatif), sebagai metode untuk mendekati Allah yang
sama sekali transenden. Sekalipun penggunaan ini merupakan pola bagi banyak
mistisisme di dunia Barat, namun terdapat beberapa alternatif yang perlu
dibedakan.[6]
Umumnya, mistisisme dapat dimengerti sebagai
suatu pendekatan spiritual dan nondiskursif kepada persekutuan jiwa dengan
Allah, atau dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam raya.
Jika realitas ini dipandang sebagai Allah yang transenden, satu cara khas ialah
kebatinan, jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang transenden.
Tetapi mistisisme kebatinan (introversif) bukan satu-satunya tipe. Ada
juga mistisisme ekstraversif (ke luar), di mana subjek merasakan
kesatuannya dengan alam semesta, dengan semua yang ada. Ini sering diiringi,
entah sebagai sebab atau akibat, identifikasi panteistik Allah dengan semua
yang ada. Akhirnya, terdapat penggunaan teknik-teknik meditatif, bernada
mistis, untuk mencapai keadaan pencerahan, terlepas dari konsep mana pun
tentang yang Ilahi. Masing-masing pendekatan ini sudah dikembangkan baik di
Barat maupun di Timur.[7]
Sementara dalam Islam, mistisisme lebih dikenal
dengan istilah tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme.
Kata sufisme dalam istilah orientalis barat khusus dipakai untuk mistisisme
Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama lain. Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya
sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia
dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi kesadaran berada dekat
dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (bersatu dengan Tuhan).[8]
KARAKTERISTIK MISTISISME
Ada dua bentuk mistisisme. Yang satu bercorak
religius dan yang lain bercorak filosofis. Mistisisme religius adalah semacam
gejala yang sama dalam semua agama, baik di dalam agama-agama langit ataupun
agama-agama purba. Begitu juga dengan mistisisme filosofis, sejak lama telah
dikenal di Timur sebagai warisan filsafat orang-orang Yunan, maupun di Eropa
abad pertengahan ataupun modern[9].
Sebagian peneliti telah berusaha
mendefinisikann karakteristik umum yang sama di antara berbagai kecenderungan
mistisisme. William James, misalnya, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan
bahwa kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik
sebagai berikut[10]:
- Ia merupakan suatu kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif.
- Ia merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (state of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun.
- Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
- Ia merupakan kondisi pasif (passivity). Dengan kata lain, seseorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.
Sedangkan menurut R.M. Bucke, terdapat tujuh
karakteristik di dalam kondisi mistisisme, yaitu[11]:
1.
Pancaran diri subjektif (subyektive light)
2.
Peningkatan moral (moral elevation)
3.
Kecemerlangan intelektual (intelektual
illumination)
4.
Perasaan hidup kekal (sense of immortality)
5.
Hilangnya perasaan takut mati (loss of fear
of death)
6.
Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of
sin)
7.
Ketiba-tibaan (suddenness)
Adapun menurut Bertrand Russell, ada empat
karakteristik mistisisme, yaitu[12]:
1.
Keyakinan atas intuisi (intuition) dan
pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan
dari pengetahuan rasional analitis.
2.
Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta
pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi, bagaimana pun bentuknya.
3.
Pengingkaran atas realitas zaman.
4.
Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang
hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan pada kontradiksi dan
diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.
Sedangkan menurut Al-Taftazani[13], mistisisme
pada umumnya memiliki lima karakteristik yang bersifat psikis, moral, dan
epistimologis. Karakteristik tersebut adalah:
- Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai-nilai itu.
- Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas tertinggi.
- Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi indrawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
- Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
- Penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.
Dari
uraian kelima karakteristik di atas, yang menjadi corak semua bentuk
mistisisme, kini mungkin dapat dirumuskan suatu definisi mistisisme yang lebih
tuntas ketimbang definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu
bahwa mistisisme adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan
jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis yang
tertentu, kadang itu menyatakan pemenuhan fana dalam Realitas Yang Tertinggi
serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang
buahnya ialah kebahagiaan ruhaniah, yang hakikat realitasnya sulit diungkapkan
dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif, dan subjektif.[14]
TUJUAN
MISTISISME
Sebagaimana
yang telah dikemukakan Al-Taftazani tentang kelima karakteristik
mistisisme (tasawuf), di mana setiap
karakteristik yang dicapai bisa mencirikan fase pertingkatannya. Dengan
sendirinya terdapat juga perbedaan tujuan mistisisme atau tasawuf sesuai dengan
perbedaan fase-fase pertingkatan tersebut. Misalnya sebagian sufi atau mistikus
telah berhenti hanya sebatas tujuan moral saja, yaitu meluruskan jiwa,
mengendalikan kehendak, yang membuat manusia hanya konsisten terhadap
keseluruhan moral. Tasawuf atau mistisisme yang begini lebih bersifat mendidik
yang ditandai dengan coraknya yang praktis.[15]
Sementara
sebagian sufi atau mistikus lainnya memiliki tujuan yang lebih jauh lagi, yaitu
mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan demi terealisasinya tujuan ini,
mereka pun membuat syarat-syarat khusus. Para penempuh tasawuf atau mistisisme
ini, khususnya, lebihnya menaruh perhatian terhadap bahasan atas metode serta
sarana untuk mengenal Allah, yang antara lain ialah kasyf (penyingkapan
langsung).[16]
Selain
itu terdapat juga bentuk tasawuf atau mistisisme yang ditandai corak filosofis.
Para penempuhnya mencanangkan tasawuf
atau mistisisme ini sebagai penentu sikapnya terhadap semesta dalam upaya
mereka mendapatkan penjelasan tentangnya, dan juga untuk menentukan garis
hubungan semesta dengan Khaliq, dan hubungan manusia dengan-Nya. Aliran tasawuf atau mistisisme yang ditandai dengan
corak filosofis ini hendaknya jangan dipandang sebagai aliran murni filsafat.
Sebab aliran ini pada dasarnya berlandaskan penyingkapan langsung (kasyf)
atau intuisi, sekalipun berbaju filsafat. Di saat-saat tertentu, sang sufi atau
sang mistikus itu kadang kehilangan kesadaran dirinya sendiri, dan dia merasa
bahwa jagat besar ini tidak berarti sama sekali dibanding Kemahaan Allah.
Dalam
beberapa situasi terkadang muncul aliran-aliran tasawuf atau mistisisme tertentu
(seperti aliran panteisme, hulul atau penyatuan dengan Tuhan). Akan tetapi
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, aliran-aliran tersebut pada
dasarnya tidak keluar dari cita rasa khusus, yang membuatnya jelas sepenuhnya
berbeda dan berlainan dari struktur-struktur pemikiran yang berdasarkan
landasan pembuktian secara intelektual yang ketat, yang telah digariskan para
filosof.[17]
MISTISISME
DALAM ISLAM
Mistisisme
dalam Islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme.
Kata sufisme dalam istilah orientalis barat dipakai untuk mistisisme Islam.
Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat di agama-agama lain.
Tasawuf
yang merupakan nama lain dari mistisisme dalam Islam ini, menurut pendapat yang
lebih populer, berasal dari kata “shuf”, yang berarti “wol kasar” karena
orang-orang sufi selalu memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan.[18] Kaum
sufi ini berusaha menghindari kemaksiatan dan penyelewengan terhadap contoh
teladan yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka
mengasingkan diri dan tekun beribadah serta lebih mengutamakan kesucian jiwa.[19]
Imam
al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menyebutkan bahwa: “Tasawuf adalah
budi pekerti.” Barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti
ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Hamba yang jiwanya
menerima perintah untuk beramal karena melakukan suluk dengan petunjuk Islam,
orang-orang zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan segala akhlak,
karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya.[20]
Senada
dengan pendapat al-Ghazali, Ibnu al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin,
mengatakan: “Para pembahas ilmu ini (tasawuf) telah sepakat mengatakan bahwa
tasawuf adalah moral.” Sehingga al-Kattani mengatakan, “Tasawuf adalah moral.
Barang siapa yang di antaramu semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening
(sufi).[21]
Menurut
Abu Yazid al-Bustami (261 H/875 M) tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu: Kha’,
maksudnya takhalli, berarti mengosongkan diri dari perangai yang
tercela, Ha’, maksudnya tahalli, yang berarti menghiasi diri
dengan akhlak terpuji, dan Jim, maksudnya tajalli, yang berarti
mengalami kenyataan ketuhanaan.[22]
Sementara,
tujuan dari tasawuf itu sendiri ialah untuk memperoleh hubungan langsung dengan
Tuhan, menyatu dengan Tuhan dan seseorang itu menyadari akan kehadirat Tuhan.
Dan intisarinya ialah menyadari akan adanya Tuhan dapat berkomunikasi dan
berdialog antara ruh manusia dan Tuhan dan biasanya dilakukan dengan
kontemplasi atau mengasingkan diri. Dan dalam Islam kesadaran dengan Tuhan itu
dapat juga dinamakan dengan ittihad yaitu bersatu dengan Tuhan.
Sedangkan Tasawuf adalah suatu ilmu penegtahuan yang mempelajari bagaimana cara
dan jalan seorang manusia supaya dapat lebih mendekatkan diri dengan Tuhan
yaitu Allah SWT.
Mistisisme
atau tasawuf ini muncul sebagai pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang yang
benar-benar berpikiran ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan juga
kejumudan agama, yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa manusia bisa
menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap
sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-takdir manusia,
tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal
Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya, dan telah percaya bahwa jiwa dapat
menerima wahyu Tuhan, melalui sebuah pengalaman religius langsung – bukan
melalui indra-indra atau kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman
dengan-Nya.
Mereka
percaya bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini, pastilah ada dalam dirinya
satu bagian dari Sifat Ilahiah, bahwa jiwa diciptakan untuk mencerminkan
Kemegahan Tuhan, dan segala sesuatu mempunyai andil dalam kehidupan Tuhan.
Tetapi kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman
langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan
jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian
mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi
kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang,
adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya. Keakuan dapat ditaklukkan dengan
dukungan sebuah cinta yang lebih besar dari pada kecintaan-diri, dan karenanya
kaum mistikus telah menjadi kekasih-kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan
cinta mereka dalam penyatuan dengan Sang Kekasih.[23]
MANUSIA DALAM PANDANGAN
MISTISISME
Berdasarkan
apa yang telah penulis paparkan di muka dapat dikatakan bahwa mistisisme itu
berkaitan erat dengan aspek ruhani manusia, aspek kebatinan, aspek spiritual,
bersifat nonrasional, dan melibatkan ruh atau jiwa manusia. Dengan ruh atau
jiwanya, manusia mampu menjangkau hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh pancaindra
dan tidak bisa dipikirkan oleh akalnya. Dalam pandangan mistisisme, ruh atau
jiwa inilah yang merupakan esensi dari entitas manusia.
Meskipun
manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya. Tapi manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari dirinya. Ia tidak mampu
mengetahui dirinya secara utuh.[24]
Manusia
sering didefinisikan hanya sebatas sebagai makhluk sosial, atau binatang cerdas
yang menyusui, atau makhluk bertanggung jawab, atau makhluk membaca, atau
makhluk tertawa, dan sebagainya. Padahal salah satu yang paling musykil
pada manusia itu adalah jiwa dan akalnya, bahkan tidurnya pun belum banyak
diketahui bagaimana itu terjadi.[25]
Manusia
jelas bukan hanya jasad yang berbentuk materi. Dia bukan juga binatang yang
sekedar makan, minum, dan berhubungan seks. Dalam diri manusia ada sesuatu yang
lebih dari itu. Sesuatu itulah yang menjadikan makhluk unik yang wajar menerima
penghormatan dari para malaikat. Dia yang dilukiskan oleh Allah pada
firman-Nya:
#sÎ*sù ¼çmçF÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud.”[26]
Manusia
sebenarnya merasakan adanya sesuatu pada dirinya, sesuatu yang bebas dari
ikatan waktu dan tempat, yang aktif pada saat jaga dan tidurnya serta dapat
menerima aneka gambar dalam mimpi serta khayalan dalam saat sadarnya walau
tanpa dia mengusahakan kehadirannya, khayalan menyangkut masa lalu yang sangat
jauh atau masa yang akan datang. Sesuatu itu adalah ruh, yang hingga kini walaupun
diakui wujudnya, namun hakikatnya masih remang-remang (kalau enggan berkata
misterius).[27]
Persoalan
ruh adalah sesuatu yang sangat misteri dan kebanyakan nalar manusia lemah,
sehingga bila diuraikan juga maka mereka tidak akan memahaminya. Hal itu disebabkan
karena persoalan ruh adalah urusan Allah. Sebagaimana yang diungkapkan dalam
firman-Nya:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s%
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah: "Ruh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit".[28]
Selain
itu, Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas dua unsur yang
berbeda, yakni tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Al-jism
yaitu unsur yang berwatak gelap, kasar, dan termasuk di bawah alam bumi ini
yang tidak berbeda dengan benda-benda lainnya. Al-jism merupakan bagian
yang tidak sempurna pada manusia tanpa unsur-unsur lainnya. Ia terdiri atas
unsur materi yang bersifat rusak. Al-nasf yaitu substansi yang
tersendiri, yang mempunyai daya mengetahui, bergerak dengan kemauannya dan
penyempurna bagi bagian-bagian lainnya.
Lebih
lanjut, al-Ghazali menjelaskan bahwa al-nafs yang dimaksud di sini bukan
merupakan kekuatan yang mendorong terhadap kebutuhan makanan, bukan kekuatan
yang menggerakkan terhadap syahwat dan emosi, bukan kekuatan yang bertempat di
dalam hati yang bisa melahirkan hidup, bukan pula kekuatan yang mendorong
perasaan yang bergerak dari hati ke seluruh anggota badan, karena kekuatan
semacam itu disebut ruh hayawan. Sifat merasa, bergerak, syahwat dan
emosi itu merupakan pasukan dari ruh hayawan. Sedangkan kekuatan yang
mendorong terhadap kebutuhan makanan dan kekuatan yang bertempat di dalam hati
itu merupakan ruh thabi’i. Kekuatan-kekuatan yang digambarkan di atas,
semuanya itu merupakan pelayan bagi jasad, dan jasad merupakan pelayan bagi ruh
hayawan. Karena ia menerima kekuatan-kekuatan dari padanya dan bekerja sesuai
dengan penggeraknya. Al-nafs yang dimaksud al-Ghazali di sini merupakan
substansi yang sempurna, yang tersendiri, yang mempunyai kemampuan daya ingat,
daya pikir, daya simpan, daya mempertimbangkan dan dapat menerima berbagai
ilmu. Substansi tersebut merupakan pimpinan ruh hayawan dan ruh
thabi’i dan rajanya segala kekuatan. Semuanya melayani al-nafs dan
melaksanakan perintahnya. Dan itulah esensi manusia.[29]
Al-nafs sebagai esensi manusia tersebut, para ahli menyebutnya dengan
istilah yang berbeda. Para hukama menyebutnya al-nafs al-nathiqah, ahli
tasawuf menyebutnya hati (al-qalb), sedangkan al-Qur’an menyebutnya al-nafs
al-muthmainnah dan al-ruh al-amin, dan semua itu maksudnya sama.
Sedangkan al-Ghazali menyebutnya al-nafs al-nathiqah atau al-ruh
al-muthlaq.
Selanjutnya,
al-Ghazali menjelaskan bahwa ruh manusia itu terdiri dari lima tingkatan. Pertama,
ruh indrawi, yang menerima sesuatu yang dikirim oleh pancaindra. Ruh ini
merupakan asal dan awal ruh, dan dialah yang membawa manusia hidup. Kedua,
ruh khayali. Ruh ini yang merekam keterangan yang dikirim oleh pancaindra dan
disimpan rapat-rapat untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh aqli yang berada
di atasnya. Ruh khayali ini adakalanya juga dimiliki oleh beberapa jenis
binatang. Ketiga, ruh aqli. Ruh ini dapat menyerap makna-makna di luar
indra dan khayal. Ruh ini merupakan substansi yang khusus ada pada manusia,
tidak ada pada hewan atau anak-anak kecil. Jangkauan penerapannya adalah
pengetahuan-pengetahuan dharuri dan universal. Keempat, ruh
pemikiran. Ruh ini yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni, kemudian melakukan
penyesuaian dan penggabungan, dan dari padanya ia membuat kesimpulan berupa
pengetahuan yang amat berharga. Kelima, ruh kenabian. Ruh ini khusus
adanya pada Nabi dan sebagian para wali. Dengan ruh ini tersingkap
selubung-selubung ruh-ruh ghaib dan hukum-hukum akhirat serta sejumlah
pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi, bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbani
(ketuhanan) yang semuanya tak mampu dijangkau oleh ruh aqal dan ruh pemikiran.[30]
Kemudian
al-Ghazali menjelaskan bahwa hakikat manusia itu merupakan substansi yang
mempunyai daya mengenal Allah. Dialah yang mendekati Allah, yang bekerja karena
Allah, yang berjalan menuju Allah, dan menyingkapkan apa yang ada pada Allah.
Dialah yang diterima di sisi Allah apabila ia selamat dari selain Allah, dan
dia akan terhijab untuk dekat dengan Allah apabila ia tenggelam dengan selain
Allah. Dialah yang mencari, yang berbicara, yang menderita. Dialah yang
berbahagia dekat dengan Allah. Dia akan memperoleh kemenangan apabila ia
mensucikannya, dan memperoleh kekecewaan dan kesengsaraan apabila ia
mengotorkan dan merusaknya. Dialah yang taat kepada Allah, dan ibadah-ibadah
yang berkembang melalui anggota-anggota badan itu merupakan cahayanya. Dia
pulalah yang durhaka dan mengingkari Allah.[31]
TUJUAN HIDUP
MANUSIA PERSPEKTIF MISTISISME
Manusia diciptakan oleh Allah tidak lain
kecuali dengan tujuan beribadah kepadanya.[32]
Berdasarkan tujuan penciptaan ini, manusia hendaknya hidup dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah, dengan beribadah kepada-Nya demi mendapatkan
keridha’an-Nya.
Dalam mistisisme, tujuan seorang manusia adalah
mencari ridha Allah SWT. Yang mana untuk mendapatkan ridha ini, seorang manusia
harus mendekatkan dirinya kepada Allah dengan jalan beribadah. Pendekatan diri
ini dilakukan untuk mengembalikan dirinya sendiri kepada Allah, baik dalam
keadaan hidup ataupun jika mati nanti. Dalam mistisisme, esensi atau hakikat
diri sudah jelas, sehingga manusia tidak perlu menemukan lagi esensi dirinya.
Esensi diri manusia adalah Allah SWT. Manusia mendapatkan bekal sadar, fikir,
rasa, dan gerak untuk menemukan hakikat dirinya itu, yakni untuk kembali lagi
ke Allah karena ia berasal dari Allah.
Dan dalam keadaan telah kembali kepada Allah
inilah manusia tampak serupa dengan benda-benda. Seorang yang telah mencapai makrifatullah
(mengenal Allah), seorang itu tidak lagi mampu merasakan apapun baik sedih,
senang, atau apapun karena yang ia rasakan hanyalah Allah. Seorang itu tidak
akan lagi memikirkan apapun, karena yang ia pikirkan hanyalah Allah. Seorang
itu tidak akan lagi sadar akan apapun, karena ia hanya sadar akan Allah. Dan
seorang itu tidak perlu lagi bergerak, karena untuk apa bergerak atau hidup
jika sudah merasakan Allah. Tidak ada lagi ketertarikan pada apapun dan untuk
apapun. Manusia sudah bagai benda, bebas dari segala keduniawian yang ada
bersamanya sebelumnya.
Dan keistimewaan Islam sebagai agama yang sempurna
ini, adalah dengan tidak terhentinya hal itu sampai pada manusia sebagai benda.
Namun juga sampai pada tiada lagi jarak antara manusia dengan Allah SWT.
Manusia akan hilang dan tidak lagi memiliki keberadaan, seutuhnya tiada dan
kembali kepada Allah seluruhnya.[33]
Menurut al-Ghazali, tujuan hidup manusia ialah
tercapainya kebahagiaan. Sedangkan tujuan akhirnya adalah tercapainya
kebahagiaan akhirat yang puncaknya yaitu dekat dengan Allah dengan cara bertemu
dan melihat Allah yang di dalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan yang
menyeluruh yang tidak pernah diketahui oleh manusia ketika di dunia.[34]
Dekat dengan Allah menjadi tujuan hidup
manusia. Ini terlepas dari konsepnya tentang manusia bahwa esensi manusia itu
jiwanya (al-nafs al-nathiqah) dan daya yang terpenting pada al-nafs itu
ialah mengetahui hakikat-hakikat, dan hakikat yang mutlak ialah Allah.
Pengetahuan yang sempurna tentang Allah bisa dicapai dengan kesempurnaan esensi
manusia.
Kesempurnaan esensi manusia itu tidak dapat
dicapai di dunia, sebab badan manusia dan kebutuhan-kebutuhan hidup yang lain
menjadi penghalang bagi jiwa untuk menyempurnakan dirinya. Dan setelah jiwa
berpisah dari badan, jiwa dapat kembali kepada kesucian dan kesempurnaannya,
sehingga hambatan untuk dekat dengan Allah sepenuhnya menjadi hilang,[35]
karena pada dasarnya jiwa manusia itu bersih dari segala kotoran yang
menghalanginya dari dekat dengan Allah, sebab fitrah manusia adalah percaya
kepada Allah dan makrifat kepada-Nya.[36] Kebahagiaan
akhirat yang menjadi tujuan akhir hidup manusia itu menurut al-Ghazali mempunyai
empat ciri, yaitu kekal tanpa akhir, gembira tanpa duka cita, pengetahuan tanpa
kebodohan, dan kaya tanpa kemiskinan, sempurna tanpa kekurangan dan kemuliaan
tanpa kehinaan.[37]
Konsep al-Ghazali tentang tujuan hidup manusia
yang memfokuskan kepada kebahagiaan akhirat, bukan berarti menolak adanya
kebahagiaan dunia. Menurutnya, bahwa kebahagiaan dunia itu ada yaitu terletak
pada kemuliaan, kehormatan, kedudukan, kekuasaan, terhindar dari duka cita, dan
kesusahan serta memperoleh kesenangan yang terus-menerus. Namun, kebahagiaan
dunia itu bersifat majazi (semu), sedangkan kebahagiaan akhirat itu yang hakiki
(sebenarnya). Walhasil, tujuan hidup manusia menurut al-Ghazali adalah
memperoleh kebahagiaan, baik kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan akhirat. Dan
yang menjadi tujuan akhir dari hidup manusia adalah kebahagiaan akhirat.[38]
PENUTUP
Mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang
tidak terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat diartikan sebagai
keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya
melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya
melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang nonrasional.
Hakikat realitas tak dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan
pemikiran biasa.
Mistisisme
dalam Islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme.
Inti dari mistisisme dalam Islam atau tasawuf itu ada moral. Mistisisme berkaitan
erat dengan aspek ruhani manusia, aspek kebatinan, aspek spiritual, bersifat
nonrasional, dan melibatkan ruh atau jiwa manusia. Dengan ruh atau jiwanya,
manusia mampu menjangkau hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh pancaindra dan
tidak bisa dipikirkan oleh akalnya. Dalam pandangan mistisisme, ruh atau jiwa
inilah yang merupakan esensi dari entitas manusia.
Adapun
tujuan hidup manusia dalam pandangan mistisisme adalah untuk meraih
kebahagiaan, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat. Dan
kebahagiaan yang hakiki itu adalah kebahagiaan di akhirat, sementara
kebahagiaan di dunia hanyalah sementara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed). Tt. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradapan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeven.
Anwar,
Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Bagus,
Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Al-Ghazali,
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1954. Ihya ‘Ulum ad-Din. Beirut: Dar
al-Fikr.
. 1964. Mizan al-Amal. Mesir: Dar
al-Ma’arif.
http://sebirucintaku.blogspot.com/2011/09/mistisme.html, diakses pada tanggal 29 Oktober 2012
http://thoriqs.blogspot.com/2011/04/mistisisme-dalam-islam-oleh-mohammad.html, diakses pada tanggal 15 Desember
2012.
http://satriawinarah.wordpress.com/2012/09/11/esensi-manusia-menurut-tasawuf-dan-filsafat/, diakses pada tanggal 15 Desember
2012.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, software.
Nasution,
Harun. 1973. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Rifa’i,
Bachrun & Hasan Mud’is. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka
Setia.
Shihab,
M. Quraish. 2007. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
. 2004. Dia di Mana-Mana;
“Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena. Jakarta: Lentera Hati.
al-Taftazani,
Abu al-Wafa al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, Penj. Ahmad
Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka.
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 653.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat….,
h. 654.
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia,
software.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat….,
h. 653.
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat….,
h. 653.
[7] Ibid.
[9] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
dari Zaman ke Zaman, Penj. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h.
1-2.
[10] William James, The Varieties of
Religious Experience (New York: The Modern Library, 1932), h. 371-372,
dalam Al-Taftazani, Sufi…., h. 2-3.
[11] W.T. Stace, Mysticism and
Phylosophy (London: Macmillan, 1961), h. 44, dalam Al-Taftazani, Sufi…,
h. 3.
[12] Bertrand Russell, Mysticism and
Logic (New York: The Modern Library, 1927), h. 28-55, dalam Al-Taftazani, Sufi…,
h. 3-4.
[13] Al-Taftazani, Sufi…, h. 4-5.
[14] Al-Taftazani, Sufi…, h. 6.
[15] Ibid, h. 6-7.
[16] Ibid, h. 7.
[17] Ibid.
[18] Harun Nasution, Falsafah dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 57.
[19] Ali Sami’ An-Nasr. Nasy’ah al-Fikr
al-Falsafah fi al-Islam. Juz III (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1911), h. 105,
dalam Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.
12.
[20] Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum ad-Din, Juz
II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), h. 376. Dalam Bachrun Rifa’i dan Hasan
Mud’is. Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 201o), h. 27.
[21] Al-Taftazani, Sufi…., h. 10.
[22] Taufik Abdullah
(ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradapan (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tt), h.139.
[23] http://thoriqs.blogspot.com/2011/04/mistisisme-dalam-islam-oleh-mohammad.html, diakses pada tanggal 15 Desember 2012.
[24] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), h. 366.
[25] M. Quraish Shihab, Dia di
Mana-Mana; “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati,
2004), h. 111.
[26] QS. Al-Hijr: 29.
[27] M. Quraish Shihab, Dia …., h.
119-120.
[28] QS. Al-Isra: 85.
[29] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, juz
3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), h. 2.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] QS. Adz-Dzariyat: 56.
[33] http://satriawinarah.wordpress.com/2012/09/11/esensi-manusia-menurut-tasawuf-dan-filsafat/, diakses pada tanggal 15 Desember 2012.
[34] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz
1….., h. 53.
[35] Al-Ghazali, Mizan al-Amal
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964), h. 206.
[37] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz
4……, h. 100.
[38] Al-Ghazali, Mizan al-Amal…..,
h. 190.