Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: AKHLAK TASAWUF

2013/02/28

AKHLAK TASAWUF

RESUME BUKU AKHLAK TASAWUF KARYA DR. ROSIHON ANWAR, M.Ag
Zulkifli, S.Pd.I
 
BAB I
Pengertian Tasawuf dan Dasar-Dasar Qur’aninya

Secara etimologi, pengertian tasawuf setidaknya memiliki tujuh pengertian. Namun, dari ketujuh pengertian itu, yang banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf yang dipahami sekarang adalah terma shuf. Di antara mereka yang lebih cenderung mengakui terma yang ketujuh ini, antara lain al-Kalabadzi, al-Syukhrawardi, al-Qusyairi, dan lain-lain.
Sedangkan tasawuf menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, dan berpengang teguh pada janji Allah, serta mengikuti syari’at Rasulullah SAW dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya. Adapun dasar-dasar yang menjadi pengangan ilmu tasawuf adalah al-Qur’an dan Sunnah.

BAB II
Sejarah Lahir dan Perkembangan Tasawuf dari Masa ke Masa

Sejarah tasawuf dapat dilihat dari perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Hal itu karena pada hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada dirinya sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan menghindari bentuk-bentuk kemewahan telah tumbuh sejak Islam datang, ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup dalam suasana kesederhanaan.
Dalam sejarah perkembangannya, tasawuf dapat dibedakan menjadi beberapa periode. Setiap periode tersebut mempunyai karakteristik dan tokoh masing-masing. Periode tersebut adalah: 1) Abad pertama dan kedua Hijriah; 2) Abad ketiga dan keempat Hijriah (periode Tabi’in); 3) Abad kelima Hijriah; 4) Abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriah; 5) Abad kesembilan dan kesepuluh Hijriah dan sesudahnya.


BAB III
Kerangka Berpikir Irfani: Dasar Filosofi Ahwal dan Maqamat

Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tahu banyak tentang Penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah, walaupun ia orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoretis (al-iman al-aqli al-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman al-aqli al-dzuqi).
Dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan).
Sistematika maqamat yang biasa disebut dalam kitab tasawuf adalah tobat, zuhud, sabar, tawakal, rida, mahabbah (cinta), makrifat, fana’, baqa’, dan ittihad (persatuan). Persatuan ini dapat mengambil bentuk al-hulul dan wihdah al-wujud.
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain adalah muraqabah (merasa terawasi), qurbah (mendekatkan diri), mahabbah (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan), syauq (kerinduan), uns (suka cita), thuma’ninah (ketenangan), musyahadah (kehadiran hati), dan yaqin (keyakinan sejati).

BAB IV
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqh, dan Ilmu Jiwa

Sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman, tasawuf tidak dapat lepas dari keterkaitannya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu kalam, fiqh, filsafat, ilmu jiwa, dan bidang-bidang lainnya.
Sebagai contoh materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Untuk memberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam, muncul ilmu tasawuf. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan wijdan) terhadap ilmu tauhid dan ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan dari ilmu tauhid.
Kaitannya dengan ilmu fiqh, tasawuf merupakan penyempurna fiqh, karena tasawuf memberikan corak batin terhadap ilmu fiqh. Seperti tidak seperti tidak sempurnanya shalat tanpa rasa khusyuk dan tidak sempurna ibadah tanpa niat yang ikhlas. Bahkan imam Malik pernah berkata: “Barangsiapa mendalami fiqh, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasiq. Barangsiapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqh, berarti ia zindiq. Dan barangsiapa yang melakukan keduanya, berarti ia tahaqquq (melakukan kebenaran).
Tasawuf juga berkaitan erat dengan ilmu filsafat. Misalnya kajian tasawuf tentang jiwa. Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak dikaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga mengkaji tentang jiwa dan roh, di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.
Selain itu, tasawuf juga sangat berkaitan dengan ilmu jiwa. Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian utama ilmu tasawuf adalah berkaitan dengan jiwa manusia sehingga dapat diketahui bahwa tasawuf memiliki hubungan yang erat dengan ilmu jiwa yaitu sama-sama membahas masalah kejiwaan manusia, bedanya kalau tasawuf membahas jiwa manusia muslim, sementara ilmu jiwa membahas kejiwaan manusia secara umum.
  
BAB V
Tasawuf Akhlaki

Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara tasawuf dengan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasikan secara utuh jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam kehidupan sosial.
Tasawuf akhlaki ini juga dikenal dengan tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut.
Tokoh sufi yang termasuk tasawuf akhlaki adalah Hasan al-Basri (w. 110 H), al-Muhasibi (w. 241 H), al-Qusyairi (w. 405 H), dan al-Ghazali (w. 505 H).

BAB VI
Tasawuf Irfani

Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan berkata benar, yang dinamakan tasawuf akhlaki, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi, yang disebut dengan tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, di antaranya Rabi’ah al-Adawiyah, yang tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan mahabbah (cinta) kepada Allah. Dzun Nun al-Misri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’, Abu Manshur al-Hallaj dengan ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wihdah al-syuhud, yang kemudian melahirkan paham wihdah al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi. 

BAB VII
Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah Ibn ‘Arabi, al-Jili, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.

BAB VIII
Tarekat: Sejarah dan Perkembangannya

Tarekat berasal dari kata “thariqah”, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual dan bentuk dzikir sendiri.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini, mulai timbul beberapa tarekat, di antaranya Tarekat Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasavi (w. 562 H/1169 M), Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1289 M di Turkisan), Tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M), Tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Safiyudin al-Ardabili (w. 1334 M), Tarekat Bairamiyah yang didirikan oleh Hijji Bairan (w. 1430 M).
Di Mesopotamia, banyak tarekat yang muncul dalam periode ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpun al-Junaid. Tarekat itu antara lain adalah Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani (w. 471 H/1078 M), Tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nuruddin Ahmad al-Syadzili (w. 656 H/1258 M), dan Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali al-Rifa’i (w. 1182 M).

BAB IX
Studi Kritis terhadap Aliran-Aliran Tasawuf

Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman merupakan hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti fiqh, ilmu tauhid, dan sebagainya. Oleh karena itu, tasawuf, seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, tidak terlepas dari kritikan-kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.
Para penentang tasawuf ini menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap bahwa ajaran tasawuf ini merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan, yang diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi yang tersusun rapi untuk menghancurkan Islam.
Di antara sekte-sekte tasawuf yang dianggap sesat oleh penentangnya adalah: Pertama, sekte Al-Isyraqi, yang didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Al-Israqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan roh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan roh. Kedua, sekte Al-Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa bertempat atau menitis dalam diri manusia –Mahasuci Allah ‘azza wa jalla dari sifat itu-, Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang terlihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan atau penampakan Dzat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla).

BAB X
Tasawuf di Indonesia

Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam bahasa Arab manupun bahasa Melayu, adalah berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur yang dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lainnya, kita bisa melihat bagaimana pengaruh yang sangat besar dari para sufi ini dalam mempengaruhi kepemimpinan raja, baik yang ada di tanah Aceh maupun yang ada di tanah Jawa.
Tokoh sufi yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia, di antaranya Hamzah al-Fansuri, Nurudin al-Raniri, Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dan Syekh Yusuf al-Makasari.
Tokoh-tokoh sufi tersebut mempunyai pemikiran-pemikiran tasawuf yang beragam. Pemikiran-pemikiran al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‘Arabi dalam paham wihdah al-wujud-nya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat dari pada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana.
Paham Al-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi.
Ajaran tasawuf Al-Sinkili yang bertalian dengan martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada pada waktu di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta’ayyun awal, sudah tercipta haqiqat muhammadiyyah, yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.

No comments:

Post a Comment