RESUME BUKU AKHLAK TASAWUF KARYA DR. ROSIHON ANWAR, M.Ag
Zulkifli, S.Pd.I
BAB I
Pengertian
Tasawuf dan Dasar-Dasar Qur’aninya
Secara
etimologi, pengertian tasawuf setidaknya memiliki tujuh pengertian. Namun, dari
ketujuh pengertian itu, yang banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf
yang dipahami sekarang adalah terma shuf. Di antara mereka yang lebih
cenderung mengakui terma yang ketujuh ini, antara lain al-Kalabadzi,
al-Syukhrawardi, al-Qusyairi, dan lain-lain.
Sedangkan
tasawuf menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antara manusia, dan berpengang teguh pada janji
Allah, serta mengikuti syari’at Rasulullah SAW dalam mendekatkan diri dan
mencapai keridaan-Nya. Adapun dasar-dasar yang menjadi pengangan ilmu tasawuf
adalah al-Qur’an dan Sunnah.
BAB
II
Sejarah
Lahir dan Perkembangan Tasawuf dari Masa ke Masa
Sejarah
tasawuf dapat dilihat dari perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah
SAW. Hal itu karena pada hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada dirinya
sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan menghindari bentuk-bentuk
kemewahan telah tumbuh sejak Islam datang, ketika Rasulullah SAW dan para
sahabatnya hidup dalam suasana kesederhanaan.
Dalam
sejarah perkembangannya, tasawuf dapat dibedakan menjadi beberapa periode.
Setiap periode tersebut mempunyai karakteristik dan tokoh masing-masing.
Periode tersebut adalah: 1) Abad pertama dan kedua Hijriah; 2) Abad ketiga dan
keempat Hijriah (periode Tabi’in); 3) Abad kelima Hijriah; 4) Abad keenam,
ketujuh, dan kedelapan Hijriah; 5) Abad kesembilan dan kesepuluh Hijriah dan
sesudahnya.
BAB
III
Kerangka
Berpikir Irfani: Dasar Filosofi Ahwal dan Maqamat
Perjalanan
menuju Allah merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa
(rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tahu banyak tentang
Penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah, walaupun ia orang
yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara
aqliyah atau logis-teoretis (al-iman al-aqli al-nazhari) dan iman secara
rasa (al-iman al-aqli al-dzuqi).
Dalam
perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai fase, yang
dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan).
Sistematika
maqamat yang biasa disebut dalam kitab tasawuf adalah tobat, zuhud,
sabar, tawakal, rida, mahabbah (cinta), makrifat, fana’, baqa’,
dan ittihad (persatuan). Persatuan ini dapat mengambil bentuk al-hulul
dan wihdah al-wujud.
Ahwal
yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain adalah
muraqabah (merasa terawasi), qurbah (mendekatkan diri), mahabbah
(cinta), khauf (takut), raja’ (harapan), syauq
(kerinduan), uns (suka cita), thuma’ninah (ketenangan), musyahadah
(kehadiran hati), dan yaqin (keyakinan sejati).
BAB
IV
Hubungan
Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqh, dan Ilmu Jiwa
Sebagai
sebuah disiplin ilmu keislaman, tasawuf tidak dapat lepas dari keterkaitannya
dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu kalam, fiqh, filsafat, ilmu
jiwa, dan bidang-bidang lainnya.
Sebagai
contoh materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq
(rasa rohaniah). Untuk memberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam, muncul
ilmu tasawuf. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq dan
wijdan) terhadap ilmu tauhid dan ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih
terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf
merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu
tasawuf merupakan sisi terapan dari ilmu tauhid.
Kaitannya
dengan ilmu fiqh, tasawuf merupakan penyempurna fiqh, karena tasawuf memberikan
corak batin terhadap ilmu fiqh. Seperti tidak seperti tidak sempurnanya shalat
tanpa rasa khusyuk dan tidak sempurna ibadah tanpa niat yang ikhlas. Bahkan
imam Malik pernah berkata: “Barangsiapa mendalami fiqh, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasiq. Barangsiapa bertasawuf, tetapi belum mendalami
fiqh, berarti ia zindiq. Dan barangsiapa yang melakukan keduanya, berarti ia tahaqquq
(melakukan kebenaran).
Tasawuf
juga berkaitan erat dengan ilmu filsafat. Misalnya kajian tasawuf tentang jiwa.
Secara jujur, harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak dikaji dalam
pemikiran-pemikiran filsafat. Sederetan intelektual muslim ternama juga
mengkaji tentang jiwa dan roh, di antaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu
Sina, dan Al-Ghazali.
Selain
itu, tasawuf juga sangat berkaitan dengan ilmu jiwa. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kajian utama ilmu tasawuf adalah berkaitan dengan jiwa manusia sehingga
dapat diketahui bahwa tasawuf memiliki hubungan yang erat dengan ilmu jiwa
yaitu sama-sama membahas masalah kejiwaan manusia, bedanya kalau tasawuf
membahas jiwa manusia muslim, sementara ilmu jiwa membahas kejiwaan manusia
secara umum.
BAB
V
Tasawuf
Akhlaki
Tasawuf
akhlaki merupakan gabungan antara tasawuf dengan ilmu akhlak. Akhlak erat
hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada
lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasikan secara
utuh jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam
kehidupan sosial.
Tasawuf
akhlaki ini juga dikenal dengan tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang
memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal
(keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber
tersebut.
Tokoh
sufi yang termasuk tasawuf akhlaki adalah Hasan al-Basri (w. 110 H),
al-Muhasibi (w. 241 H), al-Qusyairi (w. 405 H), dan al-Ghazali (w. 505 H).
BAB
VI
Tasawuf
Irfani
Di
samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran,
keikhlasan, dan berkata benar, yang dinamakan tasawuf akhlaki, ada juga
tasawuf yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi, yang disebut dengan tasawuf
irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam
hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita
lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang
paling tinggi.
Terdapat
banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, di antaranya Rabi’ah
al-Adawiyah, yang tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan mahabbah (cinta) kepada Allah. Dzun Nun
al-Misri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid
al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’,
Abu Manshur al-Hallaj dengan ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah al-hulul
dan wihdah al-syuhud, yang kemudian melahirkan paham wihdah
al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi.
BAB
VII
Tasawuf
Falsafi
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Terminologi
falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya. Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi ini adalah
Ibn ‘Arabi, al-Jili, Ibn Sab’in, dan Ibn Masarrah.
BAB
VIII
Tarekat:
Sejarah dan Perkembangannya
Tarekat
berasal dari kata “thariqah”, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh
seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah
kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Tiap tarekat mempunyai syekh,
upacara ritual dan bentuk dzikir sendiri.
Pada
awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran)
dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini, mulai timbul beberapa tarekat, di
antaranya Tarekat Yasaviyah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasavi (w. 562 H/1169
M), Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin
al-Naqsyabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1289 M di Turkisan), Tarekat Khalwatiyah
yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M), Tarekat Safawiyah yang
didirikan oleh Safiyudin al-Ardabili (w. 1334 M), Tarekat Bairamiyah yang
didirikan oleh Hijji Bairan (w. 1430 M).
Di
Mesopotamia, banyak tarekat yang muncul dalam periode ini dan cukup terkenal,
tetapi tidak termasuk rumpun al-Junaid. Tarekat itu antara lain adalah Tarekat
Qadiriyah yang didirikan oleh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani (w. 471 H/1078
M), Tarekat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nuruddin Ahmad al-Syadzili (w.
656 H/1258 M), dan Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali
al-Rifa’i (w. 1182 M).
BAB
IX
Studi
Kritis terhadap Aliran-Aliran Tasawuf
Esensi
tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW, namun tasawuf
sebagai ilmu keislaman merupakan hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu
keislaman lainnya, seperti fiqh, ilmu tauhid, dan sebagainya. Oleh karena itu,
tasawuf, seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, tidak terlepas dari
kritikan-kritikan dari berbagai golongan yang menentangnya.
Para
penentang tasawuf ini menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari
Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap
bahwa ajaran tasawuf ini merupakan ajaran yang sesat dan menyesatkan, yang
diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan
zuhud Budha. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan
konspirasi yang tersusun rapi untuk menghancurkan Islam.
Di
antara sekte-sekte tasawuf yang dianggap sesat oleh penentangnya adalah: Pertama,
sekte Al-Isyraqi, yang didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat
zuhud. Al-Israqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya
dalam hati sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan roh disertai
dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan roh. Kedua, sekte
Al-Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘azza wa jalla bisa
bertempat atau menitis dalam diri manusia –Mahasuci Allah ‘azza wa jalla
dari sifat itu-, Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan
bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang
terlihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan atau penampakan
Dzat Ilahi (Allah ‘azza wa jalla).
BAB
X
Tasawuf
di Indonesia
Dari
sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatra, baik yang ditulis dalam
bahasa Arab manupun bahasa Melayu, adalah berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan
bahwa pengikut tasawuf menjadi unsur yang dominan dalam masyarakat pada masa
itu. Kenyataan lainnya, kita bisa melihat bagaimana pengaruh yang sangat besar
dari para sufi ini dalam mempengaruhi kepemimpinan raja, baik yang ada di tanah
Aceh maupun yang ada di tanah Jawa.
Tokoh
sufi yang mempengaruhi perkembangan tasawuf di Indonesia, di antaranya Hamzah
al-Fansuri, Nurudin al-Raniri, Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dan Syekh Yusuf
al-Makasari.
Tokoh-tokoh
sufi tersebut mempunyai pemikiran-pemikiran tasawuf yang beragam.
Pemikiran-pemikiran al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn ‘Arabi
dalam paham wihdah al-wujud-nya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan
bahwa Tuhan lebih dekat dari pada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan
tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana.
Paham
Al-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya
menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi.
Ajaran
tasawuf Al-Sinkili yang bertalian dengan martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya,
ada tiga martabat perwujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah
atau la ta’ayyun, yaitu alam pada waktu itu masih merupakan hakikat gaib
yang masih berada pada waktu di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat
wahdah atau ta’ayyun awal, sudah tercipta haqiqat muhammadiyyah,
yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahidiyyah
atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsabitah, dan
dari sinilah alam tercipta.
No comments:
Post a Comment