Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: 2013

2013/02/28

MANUSIA DAN MISTISISME

MANUSIA DAN MISTISISME;
Studi tentang Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dari Sudut Pandang Tasawuf
Zulkifli, S.Pd.I

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang super kompleks. Selain menjadi subjek kajian, ia juga dapat dijadikan objek kajian. Sebagai objek kajian, manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, seperti dari sudut pandang biologi, sosiologi, antropologi, teologi, filfasat, mistisisme dan sebagainya. Dari sudut pandang mistisisme misalnya, manusia diyakini memiliki pengalaman nonrasional dan tidak biasa tentang realitas yang mencakup seluruh yang memungkinkan diri bersatu dengan realitas yang biasanya dianggap sebagai sumber atau dasar eksistensi semua hal.[1]
Manusia memiliki unsur yang lebih substansial dari sekedar jasmani, yaitu unsur ruhani. Jasmani itu sendiri adalah unsur luar dari manusia yang bersifat rusak, dan tidak sempurna tanpa unsur-unsur lainnya. Sementara ruhani adalah unsur dalam dari manusia yang merupakan substansi yang tersendiri yang mempunyai daya mengetahui, bergerak dengan kemauannya dan penyempurna bagi unsur jasmani.
Kajian manusia dari sudut pandang mistisisme sangatlah menarik, karena tidak cukup hanya dengan akal, tetapi juga melibatkan unsur rasa (dzauq) dan pengalaman spiritual dari masing-masing orang. Sehingga tidaklah dianggap mengherankan apabila para mistikus berbeda dalam hal mendefinisikan manusia itu sendiri. Mereka memberikan definisi sesuai dengan pengalaman spiritual yang mereka rasakan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang manusia dari sudut pandang mistisisme dengan tema “Manusia dan Mistisisme; Studi tentang Hakikat dan Tujuan Hidup Manusia dari Sudut Pandang Tasawuf”. Namun, sebelum membahas tentang manusia dari sudut pandang mistisisme, perlu penulis jelaskan dalam makalah ini tentang pengertian, asal usul, karakteristik, dan tujuan mistisisme itu sendiri yang dalam Islam dikenal dengan istilah tasawuf.

PENGERTIAN DAN ASAL USUL MISTISISME
Akar kata mistisisme adalah “mistik”. Kata mistik itu sendiri berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Berdasarkan arti ini, mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme merupakan “Paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.”[2]
Mistisisme secara harfiah berarti pengalaman batin, yang tidak terlukiskan, khususnya yang memiliki ciri religius. Dalam arti paling luas, ia dimengerti sebagai jenis apa pun dari kesatuan mendalam dengan Allah. Dan dalam arti sempit, ia berarti kesatuan luar biasa dengan Allah. Mistisisme selaku pengalaman hendaknya dibedakan dari mistisisme sebagai ilmu tentang pengalaman mistik.[3] Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mistisisme diartikan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia.[4]
Dalam pengertian lain, mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, pun pula tidak melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang nonrasional. Hakikat realitas tak dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.[5]
Istilah mistisisme rupanya digunakan pertama kali oleh Dionisius Areopagita. Istilah mistisisme mengacu kepada teknik Via Negativa (jalan negatif), sebagai metode untuk mendekati Allah yang sama sekali transenden. Sekalipun penggunaan ini merupakan pola bagi banyak mistisisme di dunia Barat, namun terdapat beberapa alternatif yang perlu dibedakan.[6]
Umumnya, mistisisme dapat dimengerti sebagai suatu pendekatan spiritual dan nondiskursif kepada persekutuan jiwa dengan Allah, atau dengan apa saja yang dipandang sebagai realitas sentral alam raya. Jika realitas ini dipandang sebagai Allah yang transenden, satu cara khas ialah kebatinan, jauh dari dunia, menuju persekutuan dengan Sang Satu yang transenden. Tetapi mistisisme kebatinan (introversif) bukan satu-satunya tipe. Ada juga mistisisme ekstraversif (ke luar), di mana subjek merasakan kesatuannya dengan alam semesta, dengan semua yang ada. Ini sering diiringi, entah sebagai sebab atau akibat, identifikasi panteistik Allah dengan semua yang ada. Akhirnya, terdapat penggunaan teknik-teknik meditatif, bernada mistis, untuk mencapai keadaan pencerahan, terlepas dari konsep mana pun tentang yang Ilahi. Masing-masing pendekatan ini sudah dikembangkan baik di Barat maupun di Timur.[7]
Sementara dalam Islam, mistisisme lebih dikenal dengan istilah tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama lain. Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (bersatu dengan Tuhan).[8]



KARAKTERISTIK MISTISISME
Ada dua bentuk mistisisme. Yang satu bercorak religius dan yang lain bercorak filosofis. Mistisisme religius adalah semacam gejala yang sama dalam semua agama, baik di dalam agama-agama langit ataupun agama-agama purba. Begitu juga dengan mistisisme filosofis, sejak lama telah dikenal di Timur sebagai warisan filsafat orang-orang Yunan, maupun di Eropa abad pertengahan ataupun modern[9].
Sebagian peneliti telah berusaha mendefinisikann karakteristik umum yang sama di antara berbagai kecenderungan mistisisme. William James, misalnya, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut[10]:
  1. Ia merupakan suatu kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif.
  2. Ia merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (state of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun.
  3. Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
  4. Ia merupakan kondisi pasif (passivity). Dengan kata lain, seseorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.
Sedangkan menurut R.M. Bucke, terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme, yaitu[11]:
1.      Pancaran diri subjektif (subyektive light)
2.      Peningkatan moral (moral elevation)
3.      Kecemerlangan intelektual (intelektual illumination)
4.      Perasaan hidup kekal (sense of immortality)
5.      Hilangnya perasaan takut mati (loss of fear of death)
6.      Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of sin)
7.      Ketiba-tibaan (suddenness)
Adapun menurut Bertrand Russell, ada empat karakteristik mistisisme, yaitu[12]:
1.      Keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.
2.      Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi, bagaimana pun bentuknya.
3.      Pengingkaran atas realitas zaman.
4.      Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan pada kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.
Sedangkan menurut Al-Taftazani[13], mistisisme pada umumnya memiliki lima karakteristik yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Karakteristik tersebut adalah:
  1. Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai-nilai itu.
  2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas tertinggi.
  3. Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi indrawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
  4. Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
  5. Penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.
Dari uraian kelima karakteristik di atas, yang menjadi corak semua bentuk mistisisme, kini mungkin dapat dirumuskan suatu definisi mistisisme yang lebih tuntas ketimbang definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu bahwa mistisisme adalah falsafah hidup, yang dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis yang tertentu, kadang itu menyatakan pemenuhan fana dalam Realitas Yang Tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan ruhaniah, yang hakikat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif, dan subjektif.[14]

TUJUAN MISTISISME
Sebagaimana yang telah dikemukakan Al-Taftazani tentang kelima karakteristik mistisisme  (tasawuf), di mana setiap karakteristik yang dicapai bisa mencirikan fase pertingkatannya. Dengan sendirinya terdapat juga perbedaan tujuan mistisisme atau tasawuf sesuai dengan perbedaan fase-fase pertingkatan tersebut. Misalnya sebagian sufi atau mistikus telah berhenti hanya sebatas tujuan moral saja, yaitu meluruskan jiwa, mengendalikan kehendak, yang membuat manusia hanya konsisten terhadap keseluruhan moral. Tasawuf atau mistisisme yang begini lebih bersifat mendidik yang ditandai dengan coraknya yang praktis.[15]
Sementara sebagian sufi atau mistikus lainnya memiliki tujuan yang lebih jauh lagi, yaitu mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan demi terealisasinya tujuan ini, mereka pun membuat syarat-syarat khusus. Para penempuh tasawuf atau mistisisme ini, khususnya, lebihnya menaruh perhatian terhadap bahasan atas metode serta sarana untuk mengenal Allah, yang antara lain ialah kasyf (penyingkapan langsung).[16]
Selain itu terdapat juga bentuk tasawuf atau mistisisme yang ditandai corak filosofis.  Para penempuhnya mencanangkan tasawuf atau mistisisme ini sebagai penentu sikapnya terhadap semesta dalam upaya mereka mendapatkan penjelasan tentangnya, dan juga untuk menentukan garis hubungan semesta dengan Khaliq, dan hubungan manusia dengan-Nya. Aliran  tasawuf atau mistisisme yang ditandai dengan corak filosofis ini hendaknya jangan dipandang sebagai aliran murni filsafat. Sebab aliran ini pada dasarnya berlandaskan penyingkapan langsung (kasyf) atau intuisi, sekalipun berbaju filsafat. Di saat-saat tertentu, sang sufi atau sang mistikus itu kadang kehilangan kesadaran dirinya sendiri, dan dia merasa bahwa jagat besar ini tidak berarti sama sekali dibanding Kemahaan Allah.
Dalam beberapa situasi terkadang muncul aliran-aliran tasawuf atau mistisisme tertentu (seperti aliran panteisme, hulul atau penyatuan dengan Tuhan). Akan tetapi sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, aliran-aliran tersebut pada dasarnya tidak keluar dari cita rasa khusus, yang membuatnya jelas sepenuhnya berbeda dan berlainan dari struktur-struktur pemikiran yang berdasarkan landasan pembuktian secara intelektual yang ketat, yang telah digariskan para filosof.[17]

MISTISISME DALAM ISLAM
Mistisisme dalam Islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis barat dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat di agama-agama lain.
Tasawuf yang merupakan nama lain dari mistisisme dalam Islam ini, menurut pendapat yang lebih populer, berasal dari kata “shuf”, yang berarti “wol kasar” karena orang-orang sufi selalu memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan.[18] Kaum sufi ini berusaha menghindari kemaksiatan dan penyelewengan terhadap contoh teladan yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka mengasingkan diri dan tekun beribadah serta lebih mengutamakan kesucian jiwa.[19]
Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menyebutkan bahwa: “Tasawuf adalah budi pekerti.” Barang siapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Hamba yang jiwanya menerima perintah untuk beramal karena melakukan suluk dengan petunjuk Islam, orang-orang zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan segala akhlak, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya.[20]
Senada dengan pendapat al-Ghazali, Ibnu al-Qayyim dalam Madarij al-Salikin, mengatakan: “Para pembahas ilmu ini (tasawuf) telah sepakat mengatakan bahwa tasawuf adalah moral.” Sehingga al-Kattani mengatakan, “Tasawuf adalah moral. Barang siapa yang di antaramu semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening (sufi).[21]
Menurut Abu Yazid al-Bustami (261 H/875 M) tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu: Kha’, maksudnya takhalli, berarti mengosongkan diri dari perangai yang tercela, Ha’, maksudnya tahalli, yang berarti menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan Jim, maksudnya tajalli, yang berarti mengalami kenyataan ketuhanaan.[22]
Sementara, tujuan dari tasawuf itu sendiri ialah untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, menyatu dengan Tuhan dan seseorang itu menyadari akan kehadirat Tuhan. Dan intisarinya ialah menyadari akan adanya Tuhan dapat berkomunikasi dan berdialog antara ruh manusia dan Tuhan dan biasanya dilakukan dengan kontemplasi atau mengasingkan diri. Dan dalam Islam kesadaran dengan Tuhan itu dapat juga dinamakan dengan ittihad yaitu bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Tasawuf adalah suatu ilmu penegtahuan yang mempelajari bagaimana cara dan jalan seorang manusia supaya dapat lebih mendekatkan diri dengan Tuhan yaitu Allah SWT.
Mistisisme atau tasawuf ini muncul sebagai pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang yang benar-benar berpikiran ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan juga kejumudan agama, yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya, dan telah percaya bahwa jiwa dapat menerima wahyu Tuhan, melalui sebuah pengalaman religius langsung – bukan melalui indra-indra atau kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya.
Mereka percaya bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini, pastilah ada dalam dirinya satu bagian dari Sifat Ilahiah, bahwa jiwa diciptakan untuk mencerminkan Kemegahan Tuhan, dan segala sesuatu mempunyai andil dalam kehidupan Tuhan. Tetapi kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya. Keakuan dapat ditaklukkan dengan dukungan sebuah cinta yang lebih besar dari pada kecintaan-diri, dan karenanya kaum mistikus telah menjadi kekasih-kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan cinta mereka dalam penyatuan dengan Sang Kekasih.[23]

MANUSIA DALAM PANDANGAN MISTISISME
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan di muka dapat dikatakan bahwa mistisisme itu berkaitan erat dengan aspek ruhani manusia, aspek kebatinan, aspek spiritual, bersifat nonrasional, dan melibatkan ruh atau jiwa manusia. Dengan ruh atau jiwanya, manusia mampu menjangkau hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh pancaindra dan tidak bisa dipikirkan oleh akalnya. Dalam pandangan mistisisme, ruh atau jiwa inilah yang merupakan esensi dari entitas manusia.
Meskipun manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya. Tapi manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi  tertentu dari dirinya. Ia tidak mampu mengetahui dirinya secara utuh.[24]
Manusia sering didefinisikan hanya sebatas sebagai makhluk sosial, atau binatang cerdas yang menyusui, atau makhluk bertanggung jawab, atau makhluk membaca, atau makhluk tertawa, dan sebagainya. Padahal salah satu yang paling musykil pada manusia itu adalah jiwa dan akalnya, bahkan tidurnya pun belum banyak diketahui bagaimana itu terjadi.[25]
Manusia jelas bukan hanya jasad yang berbentuk materi. Dia bukan juga binatang yang sekedar makan, minum, dan berhubungan seks. Dalam diri manusia ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu itulah yang menjadikan makhluk unik yang wajar menerima penghormatan dari para malaikat. Dia yang dilukiskan oleh Allah pada firman-Nya:
#sŒÎ*sù ¼çmçF÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”[26]
Manusia sebenarnya merasakan adanya sesuatu pada dirinya, sesuatu yang bebas dari ikatan waktu dan tempat, yang aktif pada saat jaga dan tidurnya serta dapat menerima aneka gambar dalam mimpi serta khayalan dalam saat sadarnya walau tanpa dia mengusahakan kehadirannya, khayalan menyangkut masa lalu yang sangat jauh atau masa yang akan datang. Sesuatu itu adalah ruh, yang hingga kini walaupun diakui wujudnya, namun hakikatnya masih remang-remang (kalau enggan berkata misterius).[27]
Persoalan ruh adalah sesuatu yang sangat misteri dan kebanyakan nalar manusia lemah, sehingga bila diuraikan juga maka mereka tidak akan memahaminya. Hal itu disebabkan karena persoalan ruh adalah urusan Allah. Sebagaimana yang diungkapkan dalam firman-Nya:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% 
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".[28]
Selain itu, Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa manusia itu terdiri atas dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Al-jism yaitu unsur yang berwatak gelap, kasar, dan termasuk di bawah alam bumi ini yang tidak berbeda dengan benda-benda lainnya. Al-jism merupakan bagian yang tidak sempurna pada manusia tanpa unsur-unsur lainnya. Ia terdiri atas unsur materi yang bersifat rusak. Al-nasf yaitu substansi yang tersendiri, yang mempunyai daya mengetahui, bergerak dengan kemauannya dan penyempurna bagi bagian-bagian lainnya.
Lebih lanjut, al-Ghazali menjelaskan bahwa al-nafs yang dimaksud di sini bukan merupakan kekuatan yang mendorong terhadap kebutuhan makanan, bukan kekuatan yang menggerakkan terhadap syahwat dan emosi, bukan kekuatan yang bertempat di dalam hati yang bisa melahirkan hidup, bukan pula kekuatan yang mendorong perasaan yang bergerak dari hati ke seluruh anggota badan, karena kekuatan semacam itu disebut ruh hayawan. Sifat merasa, bergerak, syahwat dan emosi itu merupakan pasukan dari ruh hayawan. Sedangkan kekuatan yang mendorong terhadap kebutuhan makanan dan kekuatan yang bertempat di dalam hati itu merupakan ruh thabi’i. Kekuatan-kekuatan yang digambarkan di atas, semuanya itu merupakan pelayan bagi jasad, dan jasad merupakan pelayan bagi ruh hayawan. Karena ia menerima kekuatan-kekuatan dari padanya dan bekerja sesuai dengan penggeraknya. Al-nafs yang dimaksud al-Ghazali di sini merupakan substansi yang sempurna, yang tersendiri, yang mempunyai kemampuan daya ingat, daya pikir, daya simpan, daya mempertimbangkan dan dapat menerima berbagai ilmu. Substansi tersebut merupakan pimpinan ruh hayawan dan ruh thabi’i dan rajanya segala kekuatan. Semuanya melayani al-nafs dan melaksanakan perintahnya. Dan itulah esensi manusia.[29]
Al-nafs sebagai esensi manusia tersebut, para ahli menyebutnya dengan istilah yang berbeda. Para hukama menyebutnya al-nafs al-nathiqah, ahli tasawuf menyebutnya hati (al-qalb), sedangkan al-Qur’an menyebutnya al-nafs al-muthmainnah dan al-ruh al-amin, dan semua itu maksudnya sama. Sedangkan al-Ghazali menyebutnya al-nafs al-nathiqah atau al-ruh al-muthlaq.
Selanjutnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa ruh manusia itu terdiri dari lima tingkatan. Pertama, ruh indrawi, yang menerima sesuatu yang dikirim oleh pancaindra. Ruh ini merupakan asal dan awal ruh, dan dialah yang membawa manusia hidup. Kedua, ruh khayali. Ruh ini yang merekam keterangan yang dikirim oleh pancaindra dan disimpan rapat-rapat untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh aqli yang berada di atasnya. Ruh khayali ini adakalanya juga dimiliki oleh beberapa jenis binatang. Ketiga, ruh aqli. Ruh ini dapat menyerap makna-makna di luar indra dan khayal. Ruh ini merupakan substansi yang khusus ada pada manusia, tidak ada pada hewan atau anak-anak kecil. Jangkauan penerapannya adalah pengetahuan-pengetahuan dharuri dan universal. Keempat, ruh pemikiran. Ruh ini yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni, kemudian melakukan penyesuaian dan penggabungan, dan dari padanya ia membuat kesimpulan berupa pengetahuan yang amat berharga. Kelima, ruh kenabian. Ruh ini khusus adanya pada Nabi dan sebagian para wali. Dengan ruh ini tersingkap selubung-selubung ruh-ruh ghaib dan hukum-hukum akhirat serta sejumlah pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi, bahkan pengetahuan-pengetahuan rabbani (ketuhanan) yang semuanya tak mampu dijangkau oleh ruh aqal dan ruh pemikiran.[30]
Kemudian al-Ghazali menjelaskan bahwa hakikat manusia itu merupakan substansi yang mempunyai daya mengenal Allah. Dialah yang mendekati Allah, yang bekerja karena Allah, yang berjalan menuju Allah, dan menyingkapkan apa yang ada pada Allah. Dialah yang diterima di sisi Allah apabila ia selamat dari selain Allah, dan dia akan terhijab untuk dekat dengan Allah apabila ia tenggelam dengan selain Allah. Dialah yang mencari, yang berbicara, yang menderita. Dialah yang berbahagia dekat dengan Allah. Dia akan memperoleh kemenangan apabila ia mensucikannya, dan memperoleh kekecewaan dan kesengsaraan apabila ia mengotorkan dan merusaknya. Dialah yang taat kepada Allah, dan ibadah-ibadah yang berkembang melalui anggota-anggota badan itu merupakan cahayanya. Dia pulalah yang durhaka dan mengingkari Allah.[31]

TUJUAN HIDUP MANUSIA PERSPEKTIF MISTISISME
Manusia diciptakan oleh Allah tidak lain kecuali dengan tujuan beribadah kepadanya.[32] Berdasarkan tujuan penciptaan ini, manusia hendaknya hidup dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, dengan beribadah kepada-Nya demi mendapatkan keridha’an-Nya.
Dalam mistisisme, tujuan seorang manusia adalah mencari ridha Allah SWT. Yang mana untuk mendapatkan ridha ini, seorang manusia harus mendekatkan dirinya kepada Allah dengan jalan beribadah. Pendekatan diri ini dilakukan untuk mengembalikan dirinya sendiri kepada Allah, baik dalam keadaan hidup ataupun jika mati nanti. Dalam mistisisme, esensi atau hakikat diri sudah jelas, sehingga manusia tidak perlu menemukan lagi esensi dirinya. Esensi diri manusia adalah Allah SWT. Manusia mendapatkan bekal sadar, fikir, rasa, dan gerak untuk menemukan hakikat dirinya itu, yakni untuk kembali lagi ke Allah karena ia berasal dari Allah.
Dan dalam keadaan telah kembali kepada Allah inilah manusia tampak serupa dengan benda-benda. Seorang yang telah mencapai makrifatullah (mengenal Allah), seorang itu tidak lagi mampu merasakan apapun baik sedih, senang, atau apapun karena yang ia rasakan hanyalah Allah. Seorang itu tidak akan lagi memikirkan apapun, karena yang ia pikirkan hanyalah Allah. Seorang itu tidak akan lagi sadar akan apapun, karena ia hanya sadar akan Allah. Dan seorang itu tidak perlu lagi bergerak, karena untuk apa bergerak atau hidup jika sudah merasakan Allah. Tidak ada lagi ketertarikan pada apapun dan untuk apapun. Manusia sudah bagai benda, bebas dari segala keduniawian yang ada bersamanya sebelumnya.
Dan keistimewaan Islam sebagai agama yang sempurna ini, adalah dengan tidak terhentinya hal itu sampai pada manusia sebagai benda. Namun juga sampai pada tiada lagi jarak antara manusia dengan Allah SWT. Manusia akan hilang dan tidak lagi memiliki keberadaan, seutuhnya tiada dan kembali kepada Allah seluruhnya.[33]
Menurut al-Ghazali, tujuan hidup manusia ialah tercapainya kebahagiaan. Sedangkan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagiaan akhirat yang puncaknya yaitu dekat dengan Allah dengan cara bertemu dan melihat Allah yang di dalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan yang menyeluruh yang tidak pernah diketahui oleh manusia ketika di dunia.[34]
Dekat dengan Allah menjadi tujuan hidup manusia. Ini terlepas dari konsepnya tentang manusia bahwa esensi manusia itu jiwanya (al-nafs al-nathiqah) dan daya yang terpenting pada al-nafs itu ialah mengetahui hakikat-hakikat, dan hakikat yang mutlak ialah Allah. Pengetahuan yang sempurna tentang Allah bisa dicapai dengan kesempurnaan esensi manusia.
Kesempurnaan esensi manusia itu tidak dapat dicapai di dunia, sebab badan manusia dan kebutuhan-kebutuhan hidup yang lain menjadi penghalang bagi jiwa untuk menyempurnakan dirinya. Dan setelah jiwa berpisah dari badan, jiwa dapat kembali kepada kesucian dan kesempurnaannya, sehingga hambatan untuk dekat dengan Allah sepenuhnya menjadi hilang,[35] karena pada dasarnya jiwa manusia itu bersih dari segala kotoran yang menghalanginya dari dekat dengan Allah, sebab fitrah manusia adalah percaya kepada Allah dan makrifat kepada-Nya.[36] Kebahagiaan akhirat yang menjadi tujuan akhir hidup manusia itu menurut al-Ghazali mempunyai empat ciri, yaitu kekal tanpa akhir, gembira tanpa duka cita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kaya tanpa kemiskinan, sempurna tanpa kekurangan dan kemuliaan tanpa kehinaan.[37]
Konsep al-Ghazali tentang tujuan hidup manusia yang memfokuskan kepada kebahagiaan akhirat, bukan berarti menolak adanya kebahagiaan dunia. Menurutnya, bahwa kebahagiaan dunia itu ada yaitu terletak pada kemuliaan, kehormatan, kedudukan, kekuasaan, terhindar dari duka cita, dan kesusahan serta memperoleh kesenangan yang terus-menerus. Namun, kebahagiaan dunia itu bersifat majazi (semu), sedangkan kebahagiaan akhirat itu yang hakiki (sebenarnya). Walhasil, tujuan hidup manusia menurut al-Ghazali adalah memperoleh kebahagiaan, baik kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan akhirat. Dan yang menjadi tujuan akhir dari hidup manusia adalah kebahagiaan akhirat.[38]

PENUTUP
Mistisisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Mistisisme juga dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kebenaran terakhir tentang kenyataan tidak dapat diperolehnya melalui pengalaman biasa, juga tidak melalui intelek (akalbudi), tetapi hanya melalui pengalaman mistik atau melalui suatu intuisi mistik yang nonrasional. Hakikat realitas tak dapat diungkapkan dan tidak dialami melalui pengalaman dan pemikiran biasa.
Mistisisme dalam Islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Inti dari mistisisme dalam Islam atau tasawuf itu ada moral. Mistisisme berkaitan erat dengan aspek ruhani manusia, aspek kebatinan, aspek spiritual, bersifat nonrasional, dan melibatkan ruh atau jiwa manusia. Dengan ruh atau jiwanya, manusia mampu menjangkau hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh pancaindra dan tidak bisa dipikirkan oleh akalnya. Dalam pandangan mistisisme, ruh atau jiwa inilah yang merupakan esensi dari entitas manusia.
Adapun tujuan hidup manusia dalam pandangan mistisisme adalah untuk meraih kebahagiaan, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat. Dan kebahagiaan yang hakiki itu adalah kebahagiaan di akhirat, sementara kebahagiaan di dunia hanyalah sementara.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed). Tt. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradapan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven.
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1954. Ihya ‘Ulum ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr.
            . 1964. Mizan al-Amal. Mesir: Dar al-Ma’arif.
http://sebirucintaku.blogspot.com/2011/09/mistisme.html, diakses pada tanggal 29 Oktober 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Mistisisme, diakses pada tanggal 20 Nopember 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, software.
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Rifa’i, Bachrun & Hasan Mud’is. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Shihab, M. Quraish. 2007. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
            . 2004. Dia di Mana-Mana; “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena. Jakarta: Lentera Hati.
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, Penj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka.



[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 653.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Mistisisme, diakses pada tanggal 20 Nopember 2012.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat…., h. 654.
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, software.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat…., h. 653.
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat…., h. 653.
[7] Ibid.
[8] http://sebirucintaku.blogspot.com/2011/09/mistisme.html, diakses pada tanggal 29 Oktober 2012
[9] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Penj. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h. 1-2.
[10] William James, The Varieties of Religious Experience (New York: The Modern Library, 1932), h. 371-372, dalam Al-Taftazani, Sufi…., h. 2-3.
[11] W.T. Stace, Mysticism and Phylosophy (London: Macmillan, 1961), h. 44, dalam Al-Taftazani, Sufi…, h. 3.
[12] Bertrand Russell, Mysticism and Logic (New York: The Modern Library, 1927), h. 28-55, dalam Al-Taftazani, Sufi…, h. 3-4.
[13] Al-Taftazani, Sufi…, h. 4-5.
[14] Al-Taftazani, Sufi…, h. 6.
[15] Ibid, h. 6-7.
[16] Ibid, h. 7.
[17] Ibid.
[18] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 57.
[19] Ali Sami’ An-Nasr. Nasy’ah al-Fikr al-Falsafah fi al-Islam. Juz III (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1911), h. 105, dalam Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 12.
[20] Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum ad-Din, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1954), h. 376. Dalam Bachrun Rifa’i dan Hasan Mud’is. Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 201o), h. 27.
[21] Al-Taftazani, Sufi…., h. 10.
[22] Taufik Abdullah (ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradapan (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tt), h.139.
[24] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), h. 366.
[25] M. Quraish Shihab, Dia di Mana-Mana; “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 111.
[26] QS. Al-Hijr: 29.
[27] M. Quraish Shihab, Dia …., h. 119-120.
[28] QS. Al-Isra: 85.
[29] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, juz 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1954),  h. 2.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] QS. Adz-Dzariyat: 56.
[34] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz 1….., h. 53.
[35] Al-Ghazali, Mizan al-Amal (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964), h. 206.
[36] Ibid, h. 353.
[37] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Juz 4……, h. 100.
[38] Al-Ghazali, Mizan al-Amal….., h. 190.