TASAWUF
FALSAFI IBNU ARABI;
Studi
terhadap Faham Wihdatul Wujud dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi
Oleh:
Zulkifli, S.Pd.I
A.
PENDAHULUAN
Ada
dua aliran besar yang berkembang dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf sunni
dan tasawuf falsafi. Para ulama yang tidak melibatkan diri pada dunia
pemikiran filsafat, mereka masuk pada aliran tasawuf sunni. Mereka hanya
melakukan asketisme atau tradisi mistis untuk proses penyatuan diri dengan
Tuhan, memperbaiki akhlak, dan membersihkan hati. Adapun ulama yang meminati
dunia filsafat, namun melibatkan diri dalam tasawuf, mereka berada pada aliran tasawuf
falsafi. Tasawuf falsafi dapat difahami sebagai tasawuf yang kaya dengan
pandangan-pandangan falsafah atau banyak dimasuki oleh pandangan-pandangan
radikal mengenai Tuhan dan kesatuan dengan manusia.[1]
Tasawuf
falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (Ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat tinggi, dan itu bukan
hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan kesatuan wujud (wihdatul
wujud). Tasawuf falsafi juga bisa dikatakan sebagai tasawuf yang kaya
dengan pemikiran-pemikiran orang filsafat.
Lahirnya
tasawuf falsafi ini dimulai dari asal mula pemahaman tasawuf yang
bermacam-macam, sehingga banyak yang mencari tahu untuk mengungkapkan pertama
kali ajaran tasawuf tersebut. Yang pertama, ada yang berpendapat bahwa tasawuf
itu adalah murni ajaran dari Islam, bukan berasal dari non Islam; dan yang
kedua, ada yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan kombinasi dari ajaran Islam
dan non Islam, seperti Nasrani, Hindu-Budha, Filsafat Barat (gnotisisme).
Sedangkan yang ketiga, ada yang mengungkapkan bahwa tasawuf itu bukan dari Islam
atau yang lain, melainkan independen terhadap siapapun yang berkehendak
mengikuti ajaran tasawuf.[2]
Berkembangnya
tasawuf membuat orang-orang sufi menyingkap arti dari tasawuf falsafi itu
seperti halnya Ibnu Arabi, seorang sufi yang berpendapat bahwa proses segala
sesuatu itu berasal dari yang satu, yaitu kesatuan eksistensial (wihdatul wujud),
dimana segala sesuatu tersebut belum ada dan belum terwujud kecuali Allah sebagai
zat semata tanpa sifat dan nama, karena Allah-lah yang awal dan yang akhir,
yang tiada teribaratkan atau termisalkan.[3]
Pemikiran
inilah yang menjadi landasan konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya
berporos pada pemahaman ini. Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah
menyebutkan istilah wihdatul wujud dalam kitabnya. Namun dari berbagai
ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya adalah wihdatul wujud.[4]
Oleh
karena itu, dalam makalah ini, penulis akan membahas faham wihdatul wujud-nya
Ibn Arabi dengan tema: “Tasawuf Falsafi Ibnu Arabi; Studi terhadap Faham Wihdatul
Wujud dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi”.
B.
DEFINISI DAN PERKEMBANGAN TASAWUF FALSAFI
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki (sunni), tasawuf
falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi
falsafi berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi
para tokohnya.[5]
Tasawuf
falsafi merupakan sebuah konsep tasawuf untuk mengenal Tuhan dengan pendekatan
secara rasio (filsafat), hingga dapat menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Bisa
juga dikatakan tasawuf falsafi yakni, tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat.
Di
dalam tasawuf falsafi, metode pendekatanya sangat berbeda dengan tasawuf Sunni.
Kalau tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf
falsafi menonjol kepada segi teoritis, sehingga dalam konsep-konsep tasawuf
falsafi lebih mengedepankann asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis,
yang mana hal ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya
bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Menurut
al-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam
sejak abad keenam Hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian,
sejak abad keenam, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di
kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[6]
Adanya
pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini
menjadikan ajaran-ajaran tasawuf ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat
di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi,
orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, sebab meskipun mempunyai
latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam,
seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan
kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan
ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf mereka,
serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah
disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[7]
Karakteristik
umum dari tasawuf falsafi, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Taftazani,
adalah bahwa tasawuf jenis ini tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam
arti yang sesungguhnya karena teori-teorinya selalu ditemukan dalam bahasa
filsafat dan lebih berorientasi pada Pantheisme. Juga tidak dapat
dikatakan sebagai filsafat dalam arti sebenarnya karena teori-teorinya juga
didasarkan pada rasa atau dzauq. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Hamka bahwa
tasawuf jenis ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan juga tidak dapat
sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.[8]
C.
BIOGRAFI IBNU ARABI
Nama
lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi.
Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai.
Kuniahnya adalah Abu Bakar dan laqab (julukannya) adalah Muhyiddin. Ia juga
populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan sebutan Ibnu Arabi (tanpa “al”)
untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Ibnu Arabi lahir pada
hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di
Murcia, Andalusia. Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk salah seorang ahli fiqh
dan hadits, juga seorang sufi yang zuhud dan bertaqwa[9].
Ayahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Qur’an dan
memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari
meninggalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat
Al-Makiyah.[10]
Pada
umur delapan tahun, Ibn Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke
Lisbon, untuk menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yaitu membaca
al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari Syekh Abu Bakar bin Khalaf,
kemudian ia pindah ke Seville yang saat itu merupakan pusat sufi Spanyol dan
menetap di sana selama tiga puluh tahun untuk mempelajari hukum, hadits,
teologi Islam, serta banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari tasawuf.
Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gauts
at-Talimsari, dan melanglang buana ke berbagai negeri seperti Yaman, Syiria,
Irak, Mesir, dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir
hayatnya.[11]
D.
KARYA-KARYA
IBNU ARABI
Adapun
karya-karya Ibnu Arabi adalah sekitar 400 kitab dan risalah. Ada juga yang
mengatakan lebih dari 1000 kitab dan risalah. Di antaranya adalah: al-Kibrit
al-Ahmar, al-Isra ila maqam al-Asra, al-Futuhat al-Makiyah, Fushush al-Hikam,
Asrar Umm al-Qur’an, Asrar al-Qulub, Asrar Qubul al-Arifin, Asrar al-Wahyi fi
al-Mi’raj, Kitab al-Adab, al-Insan al-Kamil, al-Bai’ah al-Ilahiyah,
al-Tajalliyat, Suluk Thariq al-Haq, dan lain-lain.[12]
Di antara karya-karyanya itu yang paling terkenal dan sering dijadikan rujukan
dalam buku-buku tasawuf terutama yang terkait dengan Wihdatul Wujud dan
Ibnu Arabi adalah al-Futuhat al-Makiyah dan Fushush al-Hikam.
E.
KONSEP WIHDATUL
WUJUD IBNU ARABI
Ajaran
sentral Ibn Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud).
Meskipun demikian, istilah wihdatul wujud yang dipakai untuk menyebut
ajaran sentralnya itu tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu
Taimiyah, tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya
tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang berjasa dalam mempopulerkan
ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Menurut
faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar
dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq) dan aspek dalam
disebut Tuhan (al-Haqq). Menurut faham ini aspek yang sebenarnya ada
hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut.[13]
Menurut
Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada
hakikatnya wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara keduanya (khaliq
dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara
wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang
pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat
yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu
berhimpun padanya.[14]
Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi,
سُبْحَانَ مَنْ
أَظْهَرَ الْأَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُنَا
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia
sendiri adalah hakikat segala sesuatu.[15]
Wujud
alam, menurut Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud Allah juga. Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq
dan wujud baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid
(yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang
menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam
dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat
syairnya[16]:
اَلْعَبْدُ
رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ # يَا لَيْتَ شُعُوْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ قُلْتَ
عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ # أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى يُكَلَّفُ
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, demi perasaanku,
siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga.
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?
Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak
ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti apa pun selain Tuhan baik berupa alam
maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya kata wujud
tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi kenyataannya Ibnu Arabi juga
menggunakan kata wujud untuk menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun ia mengatakan
bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan sedang wujud yang ada pada alam
hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas
uraiannya Ibnu Arabi memberikan contoh berupa cahaya. Cahaya hanya milik
matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Ibnu Arabi
mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli
artinya Allah menampakkan diri atau membuka diri, jadi diumpamakan Allah
bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori
ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat
melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam
kemutlakannya.[17]
Sebagaimana
doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhat Al-Makkiyyah dan Fushush
Al-Hikam esensi ke-Tuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa
dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal dan tanpa atribut
(sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena
dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga di luar
pengetahuan. Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi dalam
keTuhanan-Nya, Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan adalah absolut,
ciptaannya ada secara relatif, dan yang muncul sebagai relasi realitas adalah
wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala sesuatu
adalah atribut Tuhan dan dengan demikian semua pada akhirnya identik dengan
Tuhan, tanpa memandang bahwa semua itu sebenarnya bukan apa apa.[18]
Ibn
Arabi memandang manusia dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan
berkata bahwa sang penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya
yang paling suci karena seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir
bersama-Nya: kepada-Nya ia akan kembali
dan dari-Nya ia berawal.[19]
Ketika
Tuhan berkehendak dengan nama-nama bagus-Nya (sifat-sifat) yang berada di luar
hitungan, esensinya bisa dilihat. Dia menyebabkan nama-nama itu bisa dilihat
dalam sebuah wujud mikrokosmik yang karena dikaruniai eksistensi meliputi
seluruh obyek penglihatan dan melaluinyalah kesadaran terdalam Tuhan menjadi
termanifestasikan di hadapan-Nya.[20]
Lebih
lanjut Ibnu Arabi menjelaskan hubungan
antara Tuhan dengan alam menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan
wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena
itu alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan). Menurutnya
ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan
pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang
tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas
cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakan mazhar
(penampakan) dari asma’ dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam,
sifat dan asma’-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk
dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya, yang mutlak
yang tidak dikenal oleh siapapun.[21]
Banyak
orang yang menyamakan antara wihdatul wujud dengan Pantheisme.
Padahal terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Konsep Wihdatul
wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang
hakiki atau mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya
independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan
wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya
Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang
berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak
hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.[22]
Oleh
para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda
dengan Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang
berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang
baru ada pada saat Big Bang (terjadinya ledakan besar, yaitu yang
dianggap awal mula terjadinya bumi oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog
diperkirakan terjadi 10 milyar tahun yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta
ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud)
oleh Allah.[23]
Harus
dipahami bahwa paham Ibnu Arabi ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak
sebagai bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa
manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas
terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu Arabi, keterbatasan persepsi
manusia telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain
Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas
ada perbedaan prinsipil antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Pantheisme
menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wihdatul
wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme,
wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan.
Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah
sesat.[24]
Doktrin
wihdatul wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan
ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori wihdatul wujud
menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut
sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati
berwujud, dsb. Maka akan timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud
Tuhan dengan wujud selainnya?[25]
Untuk
menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan
unitas wujudiyah yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup
fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab,
dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala
sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit,
dimana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia
tidak pernah terbatas. Wujud ini (maujud basit) hanya milik Allah SWT
saja, dimana wujud-Nya merupakan maujud-Nya itu sendiri.
Menurut
Ibnu Arabi, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman
langsung (dzauq). Ibnu Arabi
memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat
mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana’).
Dan pada saat itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala
sesuatu, yaitu kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang
Abadi dengan yang binasa.[26]
F.
ANALISIS TERHADAP FAHAM WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI
Konsep Wihdatul wujud Ibnu Arabi bila tidak dipahami secara mendalam akan dapat menyesatkan
bagi umat yang pemahaman filsafat dan tingkat keimanannya rendah karena
menyamakan Tuhan dengan makhluk bahkan makhluk bisa dianggap sebagai Tuhan.
Namun demikian dari kutipan-kutipan
di atas jelas sekali bahwa Ibnu Arabi masih membedakan antara Tuhan
dan alam dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di
satu sisi menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain beliau menyucikan Tuhan
dari adanya persamaan. Ibnu Arabi masih mengakui bahwa alam ini diciptakan
Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya,
mazhar asma’ dan sifat-sifat-Nya. [27]
Hasil pencarian jati diri dan
pengalaman mistik Ibnu Arabi, menyimpulkan sebuah kesadaran spiritual, yang
banyak mendapatkan tantangan keras sebagaimana yang dialami oleh al-Hallaj,
yakni tidak ada yang maujud selain Allah. Ibnu Arabi menegaskan bahwa Allah
adalah kenyataan dari segala sesuatu. Hal ini kemudian ditafsirkan sebagai
kekeliruan mistik, padahal yang dimaksud dengan “Allah adalah kenyataan dari
segala sesuatu” adalah bahwa Allah yang menjadikan segala sesuatu itu nyata,
sehingga Allah-lah yang kenyataan mutlak yang harus dipahami. [28]
Perumpamaan yang bisa diambil dari
Wihdatul Wujud Ibnu Arabi adalah bahwa segala sesuatu ini dapat terindrai
karena cahaya dan udara, cahaya membuat segala sesuatu terlihat dan udara
membuat sesuatu terdengar. Kita akan menolak bahwa cahaya dan udara merupakan
kenyataan mutlak, namun kita tidak menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara
untuk “menyatakan” segala sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan
Allah SWT, sudah barang tentu Allah Maha Nyata (Al-Zhahir), mana kala
keberadaan-Nya membuat nyata segala sesuatu.
Titik wihdatul wujud Ibnu Arabi
terletak pada kemesraan Allah dan segala eksistensi yang ada di dunia ini.
Adapun yang dimaksud dengan “tidak ada yang maujud kecuali wujud Allah” adalah
bahwa wujud Allah merupakan kemutlakan yang wajib untuk menyatakan segala yang
maujud. Jika Allah tidak ada maka kita tidak ada.[29]
Meski
pemahaman Ibnu Arabi telah menyebar luas, tapi tak sedikit yang menilai
pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu arabi, terutama kaum fuqaha’ dan ahli
hadits, sebagai paham yang kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya
tentang Wihdatul wujud yang dianggap condong pada Pantheisme.
Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karya Ibnu arabi banyak
menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan
awam. Karenanya, tidak sedikit yang menganggap Ibnu arabi telah kufur, misalnya
Ibnu Taimiyah dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebagai “kafir”. Memang
pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu arabi setelah bertemu
dengan Taqiyyudin Ibnu ‘Athaillah as Sakandari
asy Syadzili di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora
Ibnu Arabi, dan mengatakan bahwa yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu Arabi yang tidak
memahami makna sebenarnya dari ajaran Ibnu Arabi.[30]
G.
KESIMPULAN
Ibnu
Arabi merupakan tokoh sufi yang
berorientasi pada filsafat (tasawuf falsafi). Ia sangat dikenal dengan
konsep Wihdatul wujud-nya. Beliau lah yang mengajarkan bahwa tidak ada
sesuatupun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah
penampakan lahiriah dari-Nya.
Perkembangan
puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi Wihdatul
wujud sebagai karya fikir mistik Ibnu Arabi. Konsep Wihdatul wujud
adalah bukan merupakan Pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa
wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan Wihdatul wujud
menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Konsep Wihdatul
wujud milik Ibnu Arabi bukanlah suatu pemikiran yang menyesatkan
pengikutnya.
BIBLIOGRAFI
Anwar,
Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Ariyanti.
2011. Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot.
com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html, diakses tanggal 15 Oktober 2012.
al-Fayumi,
Muhammad Ibrahim. Tt. Ibnu Arabi Shahib al-Futuhat al-Makiyah. Mesir:
al-Dar al-Mishriyah al-Libaniyah.
Hamka.
1986. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemahaman_Sufisme_Ibn_Arabi, diakses tanggal 15 Oktober 2012.
Ibn ‘Arabi.
Tt. Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Beirut: Dar Shadir.
Ibn ‘Arabi.
Tt. Fushush al-Hikam wa at-Ta’liqat ‘alaih. Ed. Abu Al-‘Ala ‘Afifi.
Beirut: Dar al-Fikr.
Jamil, M. 2007. Cakrawala
tasawuf: sejarah, pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta: GP Press.
Khan, Ali Mahdi. 2004. Dasar
dasar Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang pemikiran. Bandung: Nuansa.
al-Qarni,
Abdul Hafizh Furghali Ali. 1986. Al-Syekh al-Akbar Muhyiddin bin al-Arabi
Sulthan al-Arifin. Mesir: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah.
Rifa’i,
Bahrun dan Hasan Mud’is. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Sholihin,
M. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
at-Taftazani,
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad
Rafi’i Utsmani. Bandung: Pustaka.
Ucha,
2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
Zainurrahman.
2010. Aku dan Wihdatul Wujud. Ternate: Majelis Dzikir al-Jabbar.
[1]
Bahrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka
Setia, 2010), h. 5.
[2]
Ariyanti, Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html,
diakses tanggal 15 Oktober 2012.
[3]
Ibid.
[5]
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj.
Ahmad Rafi’i Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), 187.
[6]
At-Taftazani, Sufi…, h. 187.
[7]
Ibid.
[8]
Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1986), h. 76.
[9]
Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibnu Arabi Shahib al-Futuhat al-Makiyah
(Mesir: al-Dar al-Mishriyah al-Libaniyah, tt), h. 13.
[10]
Abdul Hafizh Furghali Ali al-Qarni, Al-Syekh al-Akbar Muhyiddin bin al-Arabi
Sulthan al-Arifin (Mesir: Al-Hai’ah
al-Mishriyah al-Ammah, 1986), h. 26.
[11]
Bahrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, h. 135.
[12]
Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibnu Arabi …., h. 17-20.
[13] M. Jamil. Cakrawala Tasawuf:
Sejarah, Pemikiran, dan Kontekstualitas (Jakarta: GP Press, 2007), h. 109.
[14]
M.Sholihin. Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 176.
[15]
Ibn Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah, Jilid II (Beirut: Dar Shadir, tt),
h. 604.
[16]
Ibn Arabi, Fushush al-Hikam wa at-Ta’liqat ‘alaih, Ed. Abu Al-‘Ala
‘Afifi (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 92.
[17]
Ucha, Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
[18] Ali Mahdi Khan, Dasar dasar
Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang pemikiran (Bandung: Nuansa,2004), h. 147.
[20] M.Sholihin. Ilmu Tasawuf, h.
175-176.
[21] Ibid, h. 180.
[22]
Ariyanti, Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html,
diakses tanggal 15 Oktober 2012.
[23]
Ibid.
[24]
Ibid.
[25]
Ibid.
[26]
Ibid.
[27]
Ucha, 2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
[28]
Zainurrahman, Aku dan Wihdatul Wujud (Ternate: Majelis Dzikir al-Jabbar,
2010), h. 4-5.
[29]
Ibid, h. 5.
[30]
Ucha, 2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
No comments:
Post a Comment