Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: TASAWUF FALSAFI IBNU ARABI

2013/02/28

TASAWUF FALSAFI IBNU ARABI

TASAWUF FALSAFI IBNU ARABI;
Studi terhadap Faham Wihdatul Wujud dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi
Oleh: Zulkifli, S.Pd.I

A.    PENDAHULUAN
Ada dua aliran besar yang berkembang dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Para ulama yang tidak melibatkan diri pada dunia pemikiran filsafat, mereka masuk pada aliran tasawuf sunni. Mereka hanya melakukan asketisme atau tradisi mistis untuk proses penyatuan diri dengan Tuhan, memperbaiki akhlak, dan membersihkan hati. Adapun ulama yang meminati dunia filsafat, namun melibatkan diri dalam tasawuf, mereka berada pada aliran tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi dapat difahami sebagai tasawuf yang kaya dengan pandangan-pandangan falsafah atau banyak dimasuki oleh pandangan-pandangan radikal mengenai Tuhan dan kesatuan dengan manusia.[1]
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (Ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat tinggi, dan itu bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan kesatuan wujud (wihdatul wujud). Tasawuf falsafi juga bisa dikatakan sebagai tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran orang filsafat.
Lahirnya tasawuf falsafi ini dimulai dari asal mula pemahaman tasawuf yang bermacam-macam, sehingga banyak yang mencari tahu untuk mengungkapkan pertama kali ajaran tasawuf tersebut. Yang pertama, ada yang berpendapat bahwa tasawuf itu adalah murni ajaran dari Islam, bukan berasal dari non Islam; dan yang kedua, ada yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan kombinasi dari ajaran Islam dan non Islam, seperti Nasrani, Hindu-Budha, Filsafat Barat (gnotisisme). Sedangkan yang ketiga, ada yang mengungkapkan bahwa tasawuf itu bukan dari Islam atau yang lain, melainkan independen terhadap siapapun yang berkehendak mengikuti ajaran tasawuf.[2]
Berkembangnya tasawuf membuat orang-orang sufi menyingkap arti dari tasawuf falsafi itu seperti halnya Ibnu Arabi, seorang sufi yang berpendapat bahwa proses segala sesuatu itu berasal dari yang satu, yaitu kesatuan eksistensial (wihdatul wujud), dimana segala sesuatu tersebut belum ada dan belum terwujud kecuali Allah sebagai zat semata tanpa sifat dan nama, karena Allah-lah yang awal dan yang akhir, yang tiada teribaratkan atau termisalkan.[3]
Pemikiran inilah yang menjadi landasan konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya berporos pada pemahaman ini. Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan istilah wihdatul wujud dalam kitabnya. Namun dari berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya adalah wihdatul wujud.[4]
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan membahas faham wihdatul wujud-nya Ibn Arabi dengan tema: “Tasawuf Falsafi Ibnu Arabi; Studi terhadap Faham Wihdatul Wujud dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi”.

B.     DEFINISI DAN PERKEMBANGAN TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki (sunni), tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[5]
Tasawuf falsafi merupakan sebuah konsep tasawuf untuk mengenal Tuhan dengan pendekatan secara rasio (filsafat), hingga dapat menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni, tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam tasawuf falsafi, metode pendekatanya sangat berbeda dengan tasawuf Sunni. Kalau tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis, sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankann asas rasio dengan pendekatan-pendekatan filosofis, yang mana hal ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Menurut al-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian, sejak abad keenam, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[6]
Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini menjadikan ajaran-ajaran tasawuf ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, sebab meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[7]
Karakteristik umum dari tasawuf falsafi, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Taftazani, adalah bahwa tasawuf jenis ini tidak dapat dikategorikan sebagai tasawuf dalam arti yang sesungguhnya karena teori-teorinya selalu ditemukan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada Pantheisme. Juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam arti sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa atau dzauq. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Hamka bahwa tasawuf jenis ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.[8]

C.    BIOGRAFI IBNU ARABI
Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi. Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai. Kuniahnya adalah Abu Bakar dan laqab (julukannya) adalah Muhyiddin. Ia juga populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan sebutan Ibnu Arabi (tanpa “al”) untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Ibnu Arabi lahir pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di Murcia, Andalusia. Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk salah seorang ahli fiqh dan hadits, juga seorang sufi yang zuhud dan bertaqwa[9]. Ayahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Qur’an dan memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari meninggalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makiyah.[10]
Pada umur delapan tahun, Ibn Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, untuk menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yaitu membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari Syekh Abu Bakar bin Khalaf, kemudian ia pindah ke Seville yang saat itu merupakan pusat sufi Spanyol dan menetap di sana selama tiga puluh tahun untuk mempelajari hukum, hadits, teologi Islam, serta banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari tasawuf. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari, dan melanglang buana ke berbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir, dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.[11]

D.    KARYA-KARYA IBNU ARABI
Adapun karya-karya Ibnu Arabi adalah sekitar 400 kitab dan risalah. Ada juga yang mengatakan lebih dari 1000 kitab dan risalah. Di antaranya adalah: al-Kibrit al-Ahmar, al-Isra ila maqam al-Asra, al-Futuhat al-Makiyah, Fushush al-Hikam, Asrar Umm al-Qur’an, Asrar al-Qulub, Asrar Qubul al-Arifin, Asrar al-Wahyi fi al-Mi’raj, Kitab al-Adab, al-Insan al-Kamil, al-Bai’ah al-Ilahiyah, al-Tajalliyat, Suluk Thariq al-Haq, dan lain-lain.[12] Di antara karya-karyanya itu yang paling terkenal dan sering dijadikan rujukan dalam buku-buku tasawuf terutama yang terkait dengan Wihdatul Wujud dan Ibnu Arabi adalah al-Futuhat al-Makiyah dan Fushush al-Hikam.

E.     KONSEP WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wihdatul wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang berjasa dalam mempopulerkan ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq) dan aspek dalam disebut Tuhan (al-Haqq). Menurut faham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah  bayangan dari aspek dalam tersebut.[13]
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya.[14] Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi,
سُبْحَانَ مَنْ أَظْهَرَ الْأَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُنَا
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu.[15]
Wujud alam, menurut Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud Allah juga. Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan wujud baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat syairnya[16]:
اَلْعَبْدُ رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ # يَا لَيْتَ شُعُوْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ # أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى يُكَلَّفُ
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, demi perasaanku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba,  padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?
Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti apa pun selain Tuhan baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi kenyataannya Ibnu Arabi juga menggunakan kata wujud untuk menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan sedang wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya Ibnu Arabi memberikan contoh berupa cahaya. Cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Ibnu Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah menampakkan diri atau membuka diri, jadi diumpamakan Allah bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya.[17]
Sebagaimana doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhat Al-Makkiyyah dan Fushush Al-Hikam esensi ke-Tuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal dan tanpa atribut (sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi dalam keTuhanan-Nya, Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan adalah absolut, ciptaannya ada secara relatif, dan yang muncul sebagai relasi realitas adalah wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala sesuatu adalah atribut Tuhan dan dengan demikian semua pada akhirnya identik dengan Tuhan, tanpa memandang bahwa semua itu sebenarnya bukan apa apa.[18]
Ibn Arabi memandang manusia dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa sang penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling suci karena seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya: kepada-Nya ia akan kembali  dan dari-Nya ia berawal.[19]
Ketika Tuhan berkehendak dengan nama-nama bagus-Nya (sifat-sifat) yang berada di luar hitungan, esensinya bisa dilihat. Dia menyebabkan nama-nama itu bisa dilihat dalam sebuah wujud mikrokosmik yang karena dikaruniai eksistensi meliputi seluruh obyek penglihatan dan melaluinyalah kesadaran terdalam Tuhan menjadi termanifestasikan di hadapan-Nya.[20]
Lebih lanjut  Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan). Menurutnya ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma’ dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma’-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya, yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.[21]
Banyak orang yang menyamakan antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Padahal terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Konsep Wihdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.[22]
Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat Big Bang (terjadinya ledakan besar, yaitu yang dianggap awal mula terjadinya bumi oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar tahun yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.[23]
Harus dipahami bahwa paham Ibnu Arabi ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu Arabi, keterbatasan persepsi manusia telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan prinsipil antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wihdatul wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud  makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme, wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah sesat.[24]
Doktrin wihdatul wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori wihdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Maka akan timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya?[25]
Untuk menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas wujudiyah yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab, dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit, dimana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah terbatas. Wujud ini (maujud basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujud-Nya merupakan maujud-Nya itu sendiri.
Menurut Ibnu Arabi, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq).  Ibnu Arabi memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana’). Dan pada saat itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, yaitu kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang Abadi dengan yang binasa.[26]

F.     ANALISIS TERHADAP FAHAM WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI
Konsep Wihdatul wujud Ibnu Arabi bila tidak dipahami secara mendalam akan dapat menyesatkan bagi umat yang pemahaman filsafat dan tingkat keimanannya rendah karena menyamakan Tuhan dengan makhluk bahkan makhluk bisa dianggap sebagai Tuhan.
Namun demikian dari kutipan-kutipan di atas jelas sekali bahwa Ibnu Arabi masih membedakan antara  Tuhan  dan alam dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain beliau menyucikan Tuhan dari adanya persamaan. Ibnu Arabi masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya, mazhar asma’ dan sifat-sifat-Nya. [27]
Hasil pencarian jati diri dan pengalaman mistik Ibnu Arabi, menyimpulkan sebuah kesadaran spiritual, yang banyak mendapatkan tantangan keras sebagaimana yang dialami oleh al-Hallaj, yakni tidak ada yang maujud selain Allah. Ibnu Arabi menegaskan bahwa Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu. Hal ini kemudian ditafsirkan sebagai kekeliruan mistik, padahal yang dimaksud dengan “Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu” adalah bahwa Allah yang menjadikan segala sesuatu itu nyata, sehingga Allah-lah yang kenyataan mutlak yang harus dipahami. [28]
Perumpamaan yang bisa diambil dari Wihdatul Wujud Ibnu Arabi adalah bahwa segala sesuatu ini dapat terindrai karena cahaya dan udara, cahaya membuat segala sesuatu terlihat dan udara membuat sesuatu terdengar. Kita akan menolak bahwa cahaya dan udara merupakan kenyataan mutlak, namun kita tidak menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara untuk “menyatakan” segala sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan Allah SWT, sudah barang tentu Allah Maha Nyata (Al-Zhahir), mana kala keberadaan-Nya membuat nyata segala sesuatu.
Titik wihdatul wujud Ibnu Arabi terletak pada kemesraan Allah dan segala eksistensi yang ada di dunia ini. Adapun yang dimaksud dengan “tidak ada yang maujud kecuali wujud Allah” adalah bahwa wujud Allah merupakan kemutlakan yang wajib untuk menyatakan segala yang maujud. Jika Allah tidak ada maka kita tidak ada.[29] 
Meski pemahaman Ibnu Arabi telah menyebar luas, tapi tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu arabi, terutama kaum fuqaha’ dan ahli hadits, sebagai paham yang kontroversial. Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wihdatul wujud yang dianggap condong pada Pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karya Ibnu arabi banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang menganggap Ibnu arabi telah kufur, misalnya Ibnu Taimiyah dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebagai “kafir”. Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu arabi setelah bertemu dengan Taqiyyudin  Ibnu ‘Athaillah as Sakandari asy Syadzili di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu Arabi, dan mengatakan bahwa yang sesat itu adalah  pandangan pengikut Ibnu Arabi yang tidak memahami makna sebenarnya dari ajaran Ibnu Arabi.[30]

G.    KESIMPULAN
Ibnu Arabi merupakan tokoh sufi yang  berorientasi pada filsafat (tasawuf falsafi). Ia sangat dikenal dengan konsep Wihdatul wujud-nya. Beliau lah yang mengajarkan bahwa tidak ada sesuatupun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya.
Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi Wihdatul wujud sebagai karya fikir mistik Ibnu Arabi. Konsep Wihdatul wujud adalah bukan merupakan Pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan Wihdatul wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Konsep Wihdatul wujud milik Ibnu Arabi bukanlah suatu pemikiran yang menyesatkan pengikutnya.
BIBLIOGRAFI

Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Ariyanti. 2011. Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot. com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html, diakses tanggal 15 Oktober 2012.
al-Fayumi, Muhammad Ibrahim. Tt. Ibnu Arabi Shahib al-Futuhat al-Makiyah. Mesir: al-Dar al-Mishriyah al-Libaniyah.
Hamka. 1986. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ibn ‘Arabi. Tt. Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Beirut: Dar Shadir.
Ibn ‘Arabi. Tt. Fushush al-Hikam wa at-Ta’liqat ‘alaih. Ed. Abu Al-‘Ala ‘Afifi. Beirut: Dar al-Fikr.
Jamil, M. 2007. Cakrawala tasawuf: sejarah, pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta: GP Press.
Khan, Ali Mahdi. 2004. Dasar dasar Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang pemikiran. Bandung: Nuansa.
al-Qarni, Abdul Hafizh Furghali Ali. 1986. Al-Syekh al-Akbar Muhyiddin bin al-Arabi Sulthan al-Arifin. Mesir: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah.
Rifa’i, Bahrun dan Hasan Mud’is. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Sholihin, M. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rafi’i Utsmani. Bandung: Pustaka.
Ucha, 2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
Zainurrahman. 2010. Aku dan Wihdatul Wujud. Ternate: Majelis Dzikir al-Jabbar.



[1] Bahrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 5.
[2] Ariyanti, Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html, diakses tanggal 15 Oktober 2012.
[3] Ibid.
[5] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rafi’i Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), 187.
[6] At-Taftazani, Sufi…, h. 187.
[7] Ibid.
[8] Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 76.
[9] Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibnu Arabi Shahib al-Futuhat al-Makiyah (Mesir: al-Dar al-Mishriyah al-Libaniyah, tt), h. 13.
[10] Abdul Hafizh Furghali Ali al-Qarni, Al-Syekh al-Akbar Muhyiddin bin al-Arabi Sulthan al-Arifin  (Mesir: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah, 1986), h. 26.
[11] Bahrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, h. 135.
[12] Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibnu Arabi …., h. 17-20.
[13] M. Jamil. Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran, dan Kontekstualitas (Jakarta: GP Press, 2007), h. 109.
[14] M.Sholihin. Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 176.
[15] Ibn Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah, Jilid II (Beirut: Dar Shadir, tt), h. 604.
[16] Ibn Arabi, Fushush al-Hikam wa at-Ta’liqat ‘alaih, Ed. Abu Al-‘Ala ‘Afifi (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 92.
[17] Ucha, Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
[18] Ali Mahdi Khan, Dasar dasar Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang pemikiran (Bandung: Nuansa,2004), h. 147.
[19] Ibid, h. 148.
[20] M.Sholihin. Ilmu Tasawuf, h. 175-176.
[21] Ibid, h. 180.
[22] Ariyanti, Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html, diakses tanggal 15 Oktober 2012.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ucha, 2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
[28] Zainurrahman, Aku dan Wihdatul Wujud (Ternate: Majelis Dzikir al-Jabbar, 2010), h. 4-5.
[29] Ibid, h. 5.
[30] Ucha, 2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.

No comments:

Post a Comment