FIRQAH MU’TAZILAH[1]
(Oleh: Zulkifli, S.Pd.I)[2]
A. PENDAHULUAN
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderung merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
1
|
Untuk memperjelas arah pembahasan maka penulis disini akan membatasi pembahasan kedalam tiga materi pokok: Pertama, Sejarah Timbulnya Mu’tazilah, di dalamnya terdapat pembahasan tentang sisi latar belakang kemunculan Mu’tazilah dan kedua, Ide-Ide Teologis Mu’tazilah, yang mencakup pembahasan al-Ushul al-Khamsah.
B. SEJARAH TIMBULNYA MU’TAZILAH
Perkataan mu’tazilah berasal dari kata I’tazala, yang artinya menyisihkan diri[3]. Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak mamakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam.”[4]
Berbagai analisa telah dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil ibn Atho’ serta temannya Amr ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Milal wa al-Nihal, Al-Syahrastani berkata[5]:
“…seseorang mendatangi halaqah ta’lim al-Hasan al-Bashri, lalu bertanya: “Wahai Imamuddin (guru besar agama), di zaman kita ini telah muncul suatu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar, karena menurut mereka dosa besar itu kufur, mengeluarkan mereka dari agama, mereka itulah golongan Khawarij. Dan ada juga golongan lain yang menangguhkan hukum pelaku dosa besar, dan dosa besar itu sendiri menurut mereka tidaklah merusak keimanan, karena mereka menganggap amal tidak termasuk bagian dari iman, dan perbuatan maksiat tidak akan merusak iman, sebagaimana ketaatan tidak berguna bagi kekufuran, mereka itulah golongan Murji’ah. Maka bagaimanakah Anda memberikan keputusan kepada kami tentang masalah ini dari sisi akidah?”. Lalu al-Hasan berfikir menimbang-nimbang, sebelum sempat beliau menjawab, Washil bin ‘Atho’ berkata: “Saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin sepenuhnya (mutlak) dan juga tidak kafir sepenuhnya (mutlak), melainkan dia berada di suatu tempat antara dua tempat (manzilah baina al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak juga kafir”, kemudian dia berdiri meninggalkan majelis, pindah ke sisi masjid lainnya, untuk mengajarkan pahamnya kepada segolongan murid (pengikut) al-Hasan, kemudian al-Hasan berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka dinamakanlah dia dan para pengikutnya dengan Mu’tazilah.”
Dari teks tersebut jelas bahwa tindakan Washil yang memisahkan diri dari majelis al-Hasan al-Bashri merupakan sebab penamaan mereka dengan Mu’tazilah, dan yang mengungkapkan istilah itu adalah Imam Hasan al-Bashri. Ini adalah versi yang paling banyak dipakai.
Menurut Al-Bagdadi[6]:
“Washil bin Atho’ berbeda pendapat dengan pendapat golongan-golongan yang sudah ada. Dia beranggapan bahwa orang yang fasik dari umat Islam ini tidaklah mukmin dan tidak pula kafir, menjadikannya fasik berada pada suatu tempat antara dua tempat antara kafir dan iman. Tatkala imam Hasan Al-Basri mendengar bid’ahnya Washil ini bertentangan dengan golongan-golongan sebelumnya, lalu dia mengusir dari majelisnya. Washil menyendiri pada suatu tempat di antara sudut-sudut masjid kota Basrah. Dia didukung oleh temannya dalam kesesatan bid’ah ini yaitu Amr bin Ubaid bin Bab, seperti layaknya seorang budak laki-laki ditolong budak perempuan. Mulai waktu itu masyarakat mengatakan bahwa keduanya mengasingkan diri dari pendapat umat. Dia sejak waktu itu pula pengikut-pengikut keduanya dinamakan Mu’tazilah.”
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disangkanya majelis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[7]
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Washil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Bashri dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara kedua posisi ini (al-manzilah bain al-manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.[8]
Menurut Ahmad Amin yang dikutip oleh Sahilun A. Nasir bahwa[9]:
“Mu’tazilah itu dikaitkan dengan mengasingkan dan menjauhkan diri. Dan golongan yang dikenal dengan akidahnya ini (tidak mukmin dan tidak pula kafir) sesungguhnya dinamakan dengan nama ini karena Abu Utsman Amr bin Ubaid memperkuat bid’ah, lalu mengasingkan diri dari majelis Imam Hasan al-Basri dan golongan yang bersamanya dinamakan mu’tazilah.”
Jadi kata-kata “i’tazala” dan “mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil dengan Hasan al-Bashri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.
C.A. Nallino, seorang orientalis Italia, mempunyai pendapat yang hampir sama dengan dengan Ahmad Amin. Berdasarkan pada versi Mas’udi tersebut sebelumnya, ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung arti “memisahkan diri dari umat Islam lainnya,” sebagai yang terkandung dalam versi yang diberikan Al-Syahrastani, al-Bagdadi dan Tasy Kubra Zadah. Tetapi sebaliknya, nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka menurut versi Mas’udi, merupakan golongan yang berdiri netral di antara Khawarij yang memandang Usman, ‘Ali, Mu’awiyah dan orang yang berdosa besar lainnya kafir, dan Murji’ah, yang memandang mereka tetap mukmin. Oleh karena itu, Nillon berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah pertama. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa golongan Mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama.[10]
Barangkali Nallino melihat ada titik temu antara kedua kelompok ini dari sisi politik, bahwa Mu’tazilah pertama murni terbentuk karena faktor politis, sedangkan yang kedua walaupun pada dasarnya terbentuk karena faktor teologis, namun faktor teologis itupun berakar pada faktor politis yang tidak jauh beda dengan faktor politis yang membentuk Mu’tazilah versi pertama. Namun meskipun ada pertalian antara keduanya, kita agak sedikit kesulitan menganalisa sisi lain yang cukup berbeda dari kedua kelompok ini, bahwa Mu’tazilah pertama cenderung meninggalkan masalah politik dan berkosentrasi pada urusan ibadah serta berakidah seperti paham Ulama Salaf yang tidak merasionalkan masalah-masalah keimanan dan hal-hal ghaib secara mendalam, sementara Mu’tazilah generasi kedua justru dengan pembahasan masalah dosa besar itu, mereka secara tidak langsung terlibat dalam masalah politik, dan mulai lari dari paham akidah Ulama Salaf. Maka, penulis melihat pendapat Nallino tersebut tidak bisa diterima secara utuh, dan juga tidak bisa ditolak secara utuh, karena sesuatu yang tidak bisa diterima secara utuh, juga tidak bisa ditolak secara utuh, artinya masih bisa diperdebatkan secara bebas.
Dengan memperhatikan penjelasan diatas, maka istilah Mu’tazilah yang penulis maksud dalam makalah ini adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atho’ dan temannya ‘Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atho’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid.
Walaupun Mu’tazilah yang dibangun Washil bin ‘Atho’ baru muncul pada akhir abad I H atau awal abad II H, akan tetapi di dalam literatur mereka, Mu’tazilah justru mengatakan bahwa mazhab mereka sudah ada, jauh sebelum peristiwa antara Washil dan al-Hasan al-Bashri. Mereka memasukkan banyak Ahlul Bait ke dalam barisan mereka, demikian juga dengan Hasan al-Bashri, karena ia memiliki ide yang tidak jauh beda dengan mereka dalam masalah takdir dan pelaku dosa besar. Bahkan Ibnu al- Murtadha dalam kitab al-Munyah wa al-Amal menyebutkan secara rinci silsilah mazhab mereka sampai kepada Rasulullah SAW.[11]
Penulis sendiri melihat bahwa aliran ini sebagai sebuah ide (fikrah), sudah ada sebelum keberadaan Washil bin ‘Atho’, sedangkan yang terjadi pada masa Washil adalah munculnya aliran ini sebagai sebuah kelompok (firqah). Sama seperti ideologi-ideologi lain yang ada di dunia, penulis juga meyakini bahwa Mu’tazilah sebagai sebuah ideologi tidak bisa dikikis habis dari muka bumi, paling kurang semangatnya akan terus ada.
Para pakar memiliki beragam alasan tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, namun pada intinya semua alasan berkisar sekitar arti kata-kata í’tazala (memisahkan diri, menjauhkan diri, atau menyalahi pendapat orang lain). Diantara alasan-alasan tersebut sebagai berikut[12]:
1. Disebut Mu’tazilah, karena Washil bin ‘Atho’ dan ‘Amru bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian al-Hasan al-Basri di mesjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mukmin secara mutlak, juga tidak kafir secara mutlak, melainkan berada di suatu tempat di antara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena sikap ini, maka mereka disebut “orang Mu’tazilah” (orang yang menjahakn diri/memisahkan diri).
2. Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan Murji’ah mengatakan bahwa pelaku dosa besar masih termasuk orang mukmin. Menurut golongan Khawarij Azariqah, ia menjadi kafir. Datanglah Washil bin ‘Atho’ untuk mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin, bukan pula kafir, melainkan menjadi fasik. Menurut riwayat ini, sebab penamaan ini lebih bersifat ma’nawiyah, yaitu menyalahi pendapat orang lain, sedangkan sebab penamaan yang pertama bersifat lahiriyah, yaitu pemisahan secara fisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).
3. Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang mukmin dan juga golongan orang-orang kafir. Perbedaan riwayat ini dengan yang sebelumnya (kedua) adalah: menurut riwayat kedua, kemu’tazilahan (i’tizal) menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri karena mereka mencetuskan pendapat baru yang menyalahi orang-orang sebelumnya, sedang menurut riwayat ketiga, kemu’tazilahan (i’tizal) pada awalnya menjadi sifat si pelaku dosa besar itu sendiri, kemudian menjadi sifat/nama golongan yang berpendapat demikian (yaitu pelaku dosa besar memisahkan diri dari orang-orang mukmin dan orang-orang kafir).
Dari penjelasan di atas, tentang penamaan aliran ini dengan Mu’tazilah, jelas bahwa penamaan ini bukanlah berasal dari kalangan Mu’tazilah sendiri, namun dari pihak lain, dalam hal ini secara kongkritnya adalah Hasan al-Bashri yang mengungkapkan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita” (اعتزل عنا واصل).
Akan tetapi kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita jumpai di sana keterangan-keterangan yang dapat memberikan kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka, atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan nama itu. Al-Qadi Abd al-Jabbar, umpamanya mengatakan bahwa kata-kata i’tazala yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Selanjutnya ia menerangkan adanya hadits Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya ialah golongan Mu’tazilah. Bahkan menurut Ibn al-Murtadha kaum Mu’tazilah sendirilah, dan bukan orang lain yang memberikan nama itu kepada golongan mereka.[13]
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kelompok Mu’tazilah ini sebenarnya telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu[14]:
1. Golongan pertama disebut Mu’tazilah I; muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.
2. Golongan kedua disebut Mu’tazilah II, muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
C. IDE – IDE TEOLOGIS MU’TAZILAH
Sekalipun firqah Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 aliran, namun aliran-aliran itu tersebut masih mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu[15]:
1. Al-Tauhid (Tauhid)
2. Al-’Adl (Keadilan)
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
5. Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Melarang Keburukan)
Lima hal pokok itu merupakan standar bagi kemu’tazilahan seseorang, dengan artian seseorang baru dikatakan Mu’tazilah jika dia menganut dan mengakui kelima hal tersebut, namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas menyandang nama Mu’tazilah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Khoyyath[16], salah seorang tokoh Mu’tazilah pada abad III H bahwa: “Seorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga terkumpul padanya lima pokok ajaran (al-ushul al-khamsah), yaitu: tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat, dan amar ma’ruf nahi munkar. Apabila telah sempurnya kelima ajaran ini padanya, maka ia bisa dikatakan Mu’tazilah.”
1. Al-Tauhid (Tauhid/Keesaan)
Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan utama. Sebenarnya ajaran tauhid ini bukan monopoli Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang Islam. Hanya saja Mu’tazilah mempunyai tafsir yang khusus membahas sedemikian rupa dan mereka mempertahankannya, sehingga mereka menamakan dirinya sebagai Ahlul Adli Wat Tauhid.[17]
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya. Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian). Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah sebagai berikut[18]:
“Allah itu Maha Esa, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Dia bukan jism, tanpa bayang-bayang, tanpa bekas, tanpa bentuk, tanpa daging, tanpa darah, tanpa karakter, tanpa aksiden, tanpa warna, tanpa, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa panas, tanpa dingin, tanpa kering, tanpa basah, tanpa dimensi panjang, tanpa lebar dan dalam, tanpa unsur tergabung ataupun terpisah, tanpa gerak, tanpa diam tanpa terbagi, tanpa bagian, tanpa anggota, tanpa arah kiri atau kanan, tanpa depan ataupun belakang, tanpa atas ataupun bawah, tanpa ruang, tanpa waktu, tanpa terdekati ataupun terjauhi tanpa terdekati ataupun terjauhi, tanpa terpadukan ataupun terpisahkan, tanpa memiliki sifat-sifat makhluk, tanpa permulaan dan kesudahan, tanpa jarak, tanpa hitungan ataupun ukuran, tanpa dilahirkan ataupun melahirkan, tanpa terhalang, tanpa terindra, tanpa tersamakan, tanpa terkena dan terpengaruh musibah apapun, dan tanpa terpikir ataupun terduga, yang senantiasa Azali, yang Maha Terdahulu, yang senantiasa ada, yang Maha Tahu, yang Maha Kuasa, yang Maha Hidup, yang tidak terlihat, yang tidak terdengar, yang tidak terbayangkan, yang tidak terpadankan dan tertirukan, dan Dia adalah sesuatu yang tidak seperti segenap sesuatu, atau Tahu tidak seperti layaknya orang tahu, yang Kuasa tidak seperti layaknya orang kuasa, yang Hidup tidak seperti layaknya orang hidup, yang Kekal dan Terdahulu sendiri, tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada sekutu dan pembantu dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada, tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam menciptakan sesuatu, mustahil bagi-Nya merasakan manfaat, mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan kenikmatan. Tidak bisa terkena rasa sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak memiliki sedikitpun sifat lemah dan kurang, Maha Suci dari sentuhan wanita, beristri dan beranak.
Berdasarkan kutipan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka, melahirkan ide-ide berikut[19]:
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut. Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Sifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat. Sebagaimana pandangan Asya’irah. Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat). Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’), yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
هو عالم بذاته لا بعلمه, و قادر بذاته لا بقدرته و مريد بذاته لا بارادته
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.
Berbeda dengan jumhur Mu’tazilah, al-’Allaf berpendapat agak berbeda, dia mengatakan: “Allah Mengetahui dengan Ilmu, Ilmu itu adalah Dzat-Nya, Allah Berkuasa dengan Kuasa, Kuasa itu adalah Dzat-Nya, dan Berkehendak dengan Kehendak (iradah), Kehendak itu adalah Dzat-Nya”. Pendapat ini tidak berbeda dengan jumhur Mu’tazilah dari sisi bahwa sifat-sifat itu pada dasarnya adalah ‘ain dzat, namun pendapat ini dikritik, karena memiliki arti, bahwa Ilmu Allah adalah Allah, sementara menurut logika “orang yang mengetahui ”bukanlah “ilmu/pengetahuan” itu sendiri.
Itu diantara sedikit perbedaan dikalangan Mu’tazilah tentang sifat Allah, namun pada intinya mereka semua bersepakat menolak pendapat Asya’irah yang mengatakan bahwa Sifat Allah itu suatu tambahan terhadap Dzat (za’idah ‘ala al-dzat).
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk
Di atas dijelaskan bahwa Mu’tazilah tidak mengingkari Sifat yang Qadim jika yang dimaksudkan adalah ‘ain dzat, yang mereka ingkari adalah bahwa jika Sifat itu membawa kepada banyaknya yang Qadim, yaitu jika Sifat itu za’idah ‘ala dzat (tambahan terhadap Dzat) atau wara’ dzat (di belakang/luar Dzat).
Ketika berbicara tentang Kalam (Firman Allah), mereka mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib. Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu. Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Adapun firman Allah yang berbunyi:
zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
“… dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”[20]
Maka Mu’tazilah mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa as. mendengar Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat (baca: di sorga), membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”[21] (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Mereka mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.
Mereka juga mentakwil ayat:
ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4
“Allah cahaya langit dan bumi …”[22]
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.
Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun bawah dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) sebagaimana firman Allah:
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
“Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.”[23]
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya. Tujuannya tetap satu, yaitu Tanzih.
2. Al-’Adl (Keadilan)
Secara etimologi, al-’adl (العدل) merupakan bentuk mashdar dari ‘adala (عدل) – ya’dilu (يعدل) yang berarti berbuat adil, bisa digunakan dengan makna perbuatan (baca: berbuat adil), bisa juga digunakan dengan makna pelaku (baca: orang yang adil). Sedangkan dari sisi terminologi, jika Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah SWT adil, maka maksudnya adalah bahwa seluruh perbuatan-Nya baik (hasan), Dia tidak melakukan suatu yang buruk (qabih), dan Dia tidak pernah melalaikan kewajiban-Nya[24].
Konsep keadilan Tuhan versi Mu’tazilah masih berkaitan erat dengan konsep Tanzih mereka, yaitu bahwa sangat tidak sesuai sekali dengan konsep Tanzih jika Allah SWT menghukum manusia atas dosa yang tidak pernah diinginkannya, karena yang seperti ini adalah zalim, dan zalim merupakan sifat makhluk, bukan sifat Khaliq (Tuhan), dimana Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Konsep keadilan Tuhan ini juga berlandaskan pada konsep mereka tentang prinsip kebebasan (hurriyah), usaha (ikhtiyar), dan pengingkaran mereka terhadap prinsip paksaan (jabr), dengan arti kata semua ini berlandaskan pada konsep teologis tentang Qadar.
Abu Zahrah mengutip al-Mas’udi yang menjelaskan tentang konsep keadilan ini menurut versi Mu’tazilah[25]:
“Keadilan Tuhan maksudnya adalah bahwa Allah SWT tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia (af’al al-’ibad), melainkan mereka bebas memilih untuk melaksanakan perintah-Nya atau melanggarnya dengan qudrah (kemampuan/potensi) yang telah diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT hanya memerintahkan sesuatu yang Dia ingini (sukai), dan hanya melarang sesuatu yang Dia benci. Dia menguasai atas setiap kebaikan yang diperintahkan-Nya (wala kulla hasanah amara biha), dan Dia terbebas dari semua keburukan yang dilarang-Nya (bari’ min sayyi’ah naha ‘anha). Dia tidak membebani mereka (manusia) dengan sesuatu yang tidak sanggup mereka pikul, dan tidak menginginkan bagi mereka sesuatu yang tidak sanggup mereka lakukan. Dan siapapun tidak akan mampu menahan dan melepas (melakukan) sesuatu kecuali dengan kemampuan (qudrah) yang diberikan Allah padanya, Dia pemilik qudrah tersebut, bukan mereka, Dia bisa menghilangkannya jika Dia berkehendak. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memaksa seluruh makhluk untuk taat pada-Nya, dan memaksa mereka untuk tidak berbuat maksiat pada-Nya, akan tetapi Dia tidak melakukan hal itu, karena itu akan menghilangkan makna mihnah (ujian) dan balwa (musibah).”
Kelanjutan dari prinsip-prinsip di atas melahirkan beberapa ide-ide khas Mu’tazilah, diantaranya:
a. Allah menciptakan makhluk atas dasar tujuan dan hikmah kebijksanaan, ini selanjutnya merupakan salah satu inti sari dari pendapat Mu’tazilah bahwa semua perbuatan Allah ada sebab dan tujuannya (af’alullah mu’allalah).
b. Allah tidak menghendaki keburukan dan tidak pula memerintahkannya, ini merupakan salah satu isi konsep al-Shalih wa al-Ashlah (yang baik dan yang terbaik) dalam teologis Mu’tazilah.
c. Manusia mempunyai kemampuan (qudrah) untuk mewujudkan/ menciptakan perbuatannya, sebab dengan cara demikian, dapat dipahami adanya perintah-perintah Allah, janji dan ancaman-Nya, dosa dan pahala, sorga dan neraka, ujian dan musibah yang diberikan-Nya, pengutusan Rasul-Rasul, dan tidak ada kezaliman pada Allah. Ini adalah konsep yang mereka sepakati dalam masalah Qadha (ketetapan) dan Qadar (takdir) Allah, serta kaitannya dengan masalah perbuatan manusia yang sebelumnya telah diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah, oleh sebab konsep ini pula mereka terkadang disebut Qadariyah.
d. Allah harus (mesti) mengerjakan yang baik dan yang terbaik. Karena itu, menjadi kewajiban Allah untuk menciptakan manusia, memerintahkan manusia dan membangkitkannya kembali, ini juga bagian dari konsep al-Shalih wa al-Ashlah, dan juga berkaitan dengan konsep Luthf (rahmat Allah), dimana Allah menciptakan Luthf sebagai potensi bagi manusia untuk mengikuti rahmat dan hidayah Allah, tetapi meskipun demikian manusia tetap saja pilihan-pilihan manusia yang tampak dalam tindakan dan perbuatannya adalah ciptaan manusia bukan ciptaan Allah.
e. Sebagai salah satu bukti keadilan Allah dan kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya, Allah SWT menciptakan akal bagi manusia, yang bisa membedakan baik dan buruk. Dari sisi ini kemudian lahirlah konsep Mu’tazilah yang berkaitan dengan posisi dan fungsi akal bagi manusia, yaitu bahwa manusia yang berakal dengan akalnya mampu membedakan antara sesuatu yang baik dan yang buruk, sebelum datangnya Syari’at, bahkan lebih dari itu mampu untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah), jika dia tidak menggunakan akalnya untuk mengenal Allah maka dia berhak dihukum selama-lamanya.
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam akan memberikan siksa, pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian, siapa yang berbuat baik makan dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik yang tidak mendapatkan pahala[26].
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi.
Ini pada hakikatnya adalah bantahan terhadap pandangan Murji’ah dalam masalah perbuatan manusia (khususnya dosa besar) bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sedikitpun kepada keimanan, sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh pada kekufuran seseorang. Dalam pandangan Mu’tazilah pendapat Murji’ah ini telah menganggap ancaman Allah sebagai sebuah permainan belaka, tidak serius.
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa seorang mukmin apabila meninggal dalam keadaan taat dan tobat, dia berhak untuk mendapatkan pahala. Juga berhak untuk mendapatkan pahala. Juga berhak untuk mendapatkan tafaddhul (karunia Tuhan), yaitu suatu pengertian lain di balik pahala. Dan apabila seorang mukmin meninggal tanpa bertobat lebih dahulu dari sesuatu dosa yang telah diperbuatnya, maka dia ditempatkan dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksa yang diterimanya lebih ringan dari pada siksa orang yang kafir. Inilah yang mereka sebut janji dan ancaman[27].
4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Seperti yang telah terdahulu, asas ini merupakan ide Washil bin ‘Atho’ ketika menanggapi masalah pelaku dosa besar, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak juga kafir melainkan fasik. Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya).[28]
5. Al-Amru bil Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menyuruh Kepada Kebaikan dan Melarang Keburukan)
Ini adalah dasar yang kelima dari al-ushul al-khamsah Mu’tazilah yang telah disepakati. Meraka telah mewajibkan hal itu kepada semua orang mukmin, sebagai penyebaran dakwah Islam dan untuk memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat, sekaligus menolak serangan orang-orang yang mencampuradukkan antara yang hak dan yang bathil yang dapat merusak terhadap kaum muslimin urusan agama mereka. Oleh karena itu, meraka berusaha itu membela kebenaran di depan maraknya kezindikan yang muncul pada awal masa Abbasiyah, yang dapat menghancurkan hakikat-hakikat Islam, dan dapat melepaskan sendi-sendi Islam satu persatu. Mereka juga berusaha mendebat ahli hadits dan ahli fiqih, dan mereka berusaha menggiring orang-orang kepada pendapat-pendapat mereka dengan memaparkan bukti dan dalil, atau dengan kekerasan dan kekuatan penguasa.[29]
Prinsip ini merupakan prinsip yang diakui dan menjadi kewajiban seluruh umat Islam, karena perintahnya jelas di dalam al-Qur’an dan Hadits. Dan yang ingin diwujudkan dengan adanya prinsip ini adalah untuk mewujudkan secara praktis prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan dalam tingkah laku sosial.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perkataan mu’tazilah berasal dari kata I’tazala, yang artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak mamakai akal sehingga mereka mendapat nama kaum rasionalis Islam.
2. Mu’tazilah adalah: aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atho’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atho’ dan ‘Amru bin Ubaid.
3. Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain.
4. Ide-ide teologis Mu’tazilah terkumpul dalam lima ajaran pokok yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah, yaitu: Al-Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Ma’ruf dan Melarang Kemunkaran).
[1] Mekalah ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam yang diampu oleh Prof. Dr. H. Moh. Baharun, MA.
[2] Salah seorang mahasiswa peserta Program Beasiswa S2 Kader Ulama Jurusan Aqidah dan Filsafat Hukum Islam pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Ibrahimy Sukorejo Situbondo Jawa Timur.
[3] Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 163.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2010), h. 40.
[5] Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal (Bairut- Libanon: Daar al-Fikr, 2005), h. 37-38.
[6] Abd. Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Bagdadi, Al-Farq Baina Al-Firaq, Tahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abd. Hamid (Mesir, Maktabah al-Ashriyah, tt), h. 129.
[7] Dikutip dari Harun Nasutioan, Teologi Islam, h. 41.
[8] Ibid.
[9] Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h. 165.
[10] Dikutip dari Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42.
[12] Ibid.
[13] Dikutip dari Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44.
[15] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz III (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, tt), cet. Vii, h. 21-22.
[16] Ibid, h. 22.
[17] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h. 168.
[18] Abu al-Hasan Isma’il al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Juz I (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, tt), h. 235-236.
[20] Q.S. An-Nisa (4): 164.
[21] Q.S. Al-Qiyaamah (75): 22-23.
[22] Q.S. An-Nuur (24): 35.
[23] Q.S. Thaha (20): 5.
[25] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Daar al-Fikr al-‘Arabi, 2009), h. 135.
[26] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, h. 171.
[27] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 35.
[28] Ibid, h. 38.
[29] Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, h. 137.
No comments:
Post a Comment