MENGEMBALIKAN “CITRA BIRU”
AL-RAISIYAH
(OLEH: ZULKIFLI)
Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga yang melaksanakan kegiatan
pembelajaran yang didasarkan atas syariah Islam. Ini menjadi tujuan mulia
didirikannya sebuah pondok pesantren tidak terkecuali pondok pesantren
Al-Raisiyah, yang didirikan untuk mengembangkan pendidikan agama bagi
masyarakat Sekarbela khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Pada awal
berdirinya, pondok pesantren Al-Raisiyah lebih banyak mengajarkan
pelajaran-pelajaran agama seperti: Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Nahwu,
Sharaf, Balaghah, Tafsir, dan sebagainya. Meskipun ada beberapa pelajaran umum
seperti: Matematika, Bahasa Indonesia dan Ilmu Pengetahuan Sosial, namun
alokasi waktunya sangat minim. Dan semua pelajaran agama itu dulunya diajarkan
memakai kitab kuning (kitab berbahasa Arab yang tidak memiliki baris).
Dalam perkembangannya, pondok pesantren Al-Raisiyah dibagi menjadi dua
jenjang pendidikan yaitu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Sejalan
dengan pembagian jenjang pendidikan ini, kurikulum di pondok pesantren
Al-Raisiyah disesuaikan dengan kurikulum dari Departemen Agama Kota Mataram dan
pelajaran-pelajaran agama itupun tidak lagi memakai kitab kuning.
Namun, yang perlu diperhatikan bahwa di dalam pondok pesantren
Al-Raisiyah, aspek afektif atau akhlak lebih ditekankan. Hal ini didasarkan
pada tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagaimana diterangkan dalam
sebuah hadits
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Hanya sanya aku (Muhammad) diutus untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak”
Akhlak merupakan tingkah laku manusia. Akhlak diklasifikasikan menjadi
dua macam yaitu akhlak mahmudah (terpuji) dan akhlak mazmumah (tercela).
Namun dalam konteks ini, kata “akhlak” dipakai secara khusus untuk akhlak mahmudah
(terpuji) saja.
Di samping merupakan salah satu misi utama diutusnya Rasulullah SAW, akhlak
merupakan penentu keeksistensian dan kemajuan sebuah bangsa (lembaga). Hal ini
sudah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu hadits beliau yang
berbunyi:
إنما الأمم الأخلاق ما بقيت فإن
هموا ذهبت أخلاقهم ذهبوا
“Hanya
saja bangsa itu kekal, selama berakhlak. Bila akhlak lenyap, maka lenyap
pulalah bangsa itu.”
Dewasa ini, pondok pesantren Al-Raisiyah tampak mengalami perubahan. Pada
awalnya pondok ini sangat menekankan perilaku dan penampilan islami di
lingkungan pondok, baik itu kepala sekolah, guru, maupun siswa. Tidak ada
perbedaan antara guru dan siswa, semuanya tanpa kecuali wajib mengikuti
peraturan yang berlaku, terlebih lagi yang terkait dengan sikap (akhlak).
Namun, beberapa tahun ini, tradisi yang sudah membudaya di pondok mulai
terkikis. Sebagai contoh banyak guru yang tidak mengenakan kopiah, tidak
mengucapkan salam ketika masuk ruangan, dan lain sebagainya.
Hal inilah yang mengilhami penulis untuk mengambil tema “Mengembalikan
Citra Biru Al-Raisiyah” dalam tulisan ini dengan tujuan sebagai bahan muhasabah
(introspeksi diri) kita sebagai warga ponpes Al-Raisiyah, dengan mengukur
sampai sejauh mana perubahan yang kita lakukan? Apakah perubahan itu ke arah
yang lebih baik? Atau malah perubahan yang kita lakukan itu lebih buruk dari
semula?
Kita akui memang pondok kita ini dari tahun ke tahun mengalami kemajuan.
Hal ini nampak jelas dengan bangunan-bangunan yang bagus, adanya perpustakaan,
semakin banyaknya buku-buku pelajaran, adanya persiapan perangkat pembelajaran
(seperti program tahunan, program semester, rincian minggu efektif, KKM,
silabus, dan RPP) dari para guru, adanya laboratorium, dan tersedianya
media-media pembelajaran meskipun masih sederhana.
Namun kemajuan-kemajuan yang kita rasakan ini tidak serta merta membuat
citra pondok semakin baik di mata masyarakat. Bahkan banyak masyarakat terutama
orang tua-orang tua siswa mengeluhkan budaya yang ada di pondok saat ini,
seperti banyaknya guru yang datang terlambat, seringnya guru memulangkan siswa
sebelum waktunya, dan yang paling urgen adalah penampilan guru dan siswa yang
sekarang ini sering tidak memakai kopiah pada saat proses belajar mengajar
berlangsung. Entah itu disebabkan banyaknya guru yang spesifikasinya di bidang
umum atau faktor yang lain. Yang penting adalah kita menyadari bahwa kita
berada di lingkungan pondok pesantren yang semestinya berperilaku dan
berpenampilan islami.
Apakah perubahan seperti ini layak dikatakan sebuah kemajuan? Apakah
budaya islami yang sudah lama diwariskan oleh para Tuan Guru dan Asaatiidz
kita semakin baik? Ataukah kita masih merasa “ENGGAN” mengakui kemerosotan
budaya yang selama ini menjadi tradisi di pondok kita? Semua jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab dengan “JUJUR” oleh hati nurani kita
masing-masing.
Ada juga
perubahan-perubahan positif yang dibawa oleh para guru yang notabenenya
bergelar “SARJANA” seperti peningkatan kedisiplinan, penggunaan berbagai metode
pengajaran, dan pemanfaatan media-media pembelajaran. Namun hal itu juga tidak
menutup kemungkinan dapat menimbulkan sifat yang negatif bagi guru yang
bersangkutan seperti munculnya sifat riya, ujub, bahkan sifat takabbur sering
menjangkiti hati beberapa orang guru.
Para guru mungkin sudah merasa bangga dengan perubahan-perubahan yang
mereka sumbangkan untuk pondok, inovasi-inovasi yang mereka lakukan, sehingga
mereka merasa sangat berjasa terhadap kemajuan pondok, meskipun mereka “agak”
mulai meninggalkan tradisi-tradisi pondok. Silakan kita melakukan inovasi-inovasi
atau trobosan-trobosan baru yang lebih baik, tapi kita jangan sampai
mengabaikan kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah menjadi tradisi di pondok
pesantren sejak dulu. Mungkin kita perlu mengingat dan merenungi kembali sebuah
kai’dah ushul fiqh:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Melestarikan tradisi yang baik dan mengambil
hal baru yang lebih baik.”
Mari kita bersama-sama melestarikan tradisi-tradisi yang sudah menjadi
warisan dari para guru kita dahulu. Mari kita berupaya sekuat tenaga untuk
memberikan perubahan yang lebih baik serta melakukan inovasi-inovasi atau
trobosan-trobosan baru demi kemajuan pondok kita ini. Dan mari juga kita
meningkatkan kedisiplinan kita terutama bagi para guru agar kita bisa menjadi uswatun
hasanah (suri tauladan) bagi siswa-siswi kita. Jangan sampai kita yang
awalnya sangat disiplin dan mentaati peraturan pondok malah terpengaruh oleh
segelintir orang yang kurang disiplin sehingga semakin lama kita bukannya
semakin baik tapi malah semakin tidak disiplin, sering datang terlambat dan
pulang lebih cepat dari jadwal yang sudah ditentukan.
Sebagai penutup, penulis ingin mohon maaf dengan setulus hati kepada
Bapak/ Ibu guru bila dalam tulisan ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan,
tidak enak dibaca, ataupun menyinggung perasaan Bapak/ Ibu guru. Sekali lagi
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis tidak ada niat untuk
menyindir atau menyinggung pihak-pihak tertentu, tetapi tulisan ini bertujuan
sebagai bahan muhasabah kita bersama khususnya bagi para guru untuk
memajukan dan Mengembalikan “Citra Biru” Pondok Pesantren Al-Raisiyah. Wallahu
A’lamu Bishshawab.
No comments:
Post a Comment