Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: ZAKAT

2011/10/10

ZAKAT


ISYARAT AL-QUR’AN UNTUK MEMBANGUN KESEJAHTERAHAN MASYARAKAT MELALUI KEWAJIBAN ZAKAT

A.    LATAR BELAKANG
Semua umat Islam meyakini dan mengakui bahwasanya Islam merupakan agama rahmatan lil ‘aalamiin, yang mengajarkan kepada setiap umatnya untuk mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram, dan harmonis antara si miskin dan si kaya kapan dan dimanapun berada. Namun, realitasnya, kondisi umat Islam sendiri masih jauh dari ideal, misalnya tingkat kemampuan ekonomi umat Islam masih rendah dan belum merata.  Keadaan tersebut terjadi karena potensi-potensi  yang dimiliki umat belum belum termanfaatkan dan dikembangkan secara optimal sehingga tidak mampu mengubah taraf kehidupan umat ke arah yang lebih baik. Zakat adalah salah satu di antara lima pilar yang menegakkan bangunan Islam. Di dalamnya terdapat dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi kepatuhan atau ketaatan dalam konteks hubungan antara hamba dan sang Pencipta, dan sekaligus dimensi kepedulian terhadap sesama makhluk Allah, khususnya hubungan sosial sesama manusia.
Selain itu, zakat yang menjadi bagian dari rukun Islam, keberadaannya telah diatur sedemikian rupa dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga bila tidak dilaksanakan, yang bersangkutan bisa dikategorikan kufur. Salah satu potensi ajaran Islam yang belum ditangani dengan baik dan serius oleh pemerintah adalah zakat. Zakat merupakan ibadah yang bercorak sosial-ekonomi, sebagai kewajiban seorang muslim atau badan hokum yang dimilikinya untuk mengeluarkan sebagian hak miliknya kepada pihak yang berhak untuk menerimanya (mustahiq) agar tercipta pemerataan ekonomi yang berkeadilan.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi yang sangat luas. Bila dilihat dari sasarannya, zakat bukan hanya berdimensi sosial-agama, tetapi juga berdimensi sosial-politik . ini dapat dilihat dari sasaran zakat yang berdimensi pemerintah, yaitu penanganan muallaf (aspek dakwah) penegakan agama Allah (sabilillah). Oleh sebab itulah, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa dalam agama Islam harus ada jamaah dan kekuasaan yang mengumpulkan zakat melalui para petugasnya dan kemudian mengeluarkannya untuk menyebarkan dakwah menyebarkan agama Allah, yang termasuk ke dalam makna sabilillah.
Dalam zakat terdapat unsur gotong royong dan tolong  menolong. Sebab zakat dapat membantu orang-orang yang terjepit kebutuhan dan membantu menyelesaikan hutang bagi orang-orang yang sedang pailit. Zakat juga menolong orang-orang yang sedang dalam perantauan, pengungsi, sampai orang tua yang pikun atau jompo. Dengan zakat pula, dakwah Islam dapat diperluas cakupannya, termasuk untuk menjinakkan hati para muallaf. Misi zakat yang begitu idealis tersebut tidak dapat dipenuhi dengan baik tanpa adanya lembaga pengelolaan zakat yang dijalankan secara professional. Menurut Yusuf Qardhawi, zakat merupakan salah satu dari aturan jaminan sosial dalam Islam, dan Islam memperkenalkan aturan ini dalam ruang lingkup lebih luas dan mendalam yang mencakup semua segi kehidupan manusia.
Peran zakat sangat penting dalam usaha pemberdayaan potensi ekonomi umat. Agar pelaksanaannya dapat efektif, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa urusan zakat sebaiknya jangan dikerjakan sendiri oleh muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), melainkan dipungut oleh petugas zakat yang ditunjuk oleh Negara (dalam hal ini badan atau lembaga amil zakat).
Apabila zakat berjalan benar-benar dapat berjalan efektif, diharapkan terpenuhinya hak minimal kaum dhu’afaa’ serta berputarnya roda perekonomian umat, mendorong pemanfaatan dana diam, mendorong inovasi dan penggunaan IPTEK serta harmonisasi hubungan si kaya dan si miskin. Sehingga pada akhirnya kehidupan umat  yang ideal dan kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya akan terwujud.
Oleh karena itu, dalam karya tulis ilmiah ini penulis mencoba untuk menguraikan tentang Isyarat Al-Qur’an untuk Membangun Kesejahteraan Masyarakat melalui Kewajiban Zakat.
B.   
 A.    PANDANGAN  AL-QUR’AN TENTANG MAKNA DAN HUKUM ZAKAT
Di dalam Al-Qur’an lebih dari 70 ayat yang menjelaskan tentang zakat. Adapun dalam karya tulis ilmiah ini, penulis akan memaparkan beberapa ayat saja yang penulis anggap cukup untuk mewakili penjelasan tentang makna dan hokum zakat. Berikut beberapa ayat Al-Qur’an
1.      QS. Al-Baqarah ayat 43:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
2.      QS. At-Taubah ayat 103:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
3.      QS. Ar-Ruum ayat 39:
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipat gandakan (hartanya).”
Berdasarkan pandangan para ahli tafsir, kata zakat berasal dari bahasa Arab zakaa-yazkii-zaakiatan-zakaatan, yang mengandung arti barakah, tumbuh, berkembang, suci, bersih, baik, dan terpuji. Yusuf Qardhawi memberikan penjelasan, bahwa zakat dalam bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah disebut juga dengan shadaqah. Dikatakan zakat karena ia menyucikan tanggung jawab melaksanakan kewajiban, menyucikan jiwa dari kotoran kikir dan tamak, dan menyucikan harta dari hak orang lain yang berada di dalamnya, sehingga barakahlah hidup dan penghidupan orang yang melaksanakannya, karena baik dan terpuji pekertinya, dan kemudian menjadi barakah dan tumbuh berkembang ekonomi sosialnya. Dikatakan shadaqah karena mengeluarkan sebagian harta yang pada hakikatnya merupakan milik orang lain, merupakan bukti kebenaran iman orang yang berzakat dan bukti bahwa ia membenarkan agama dan hari kemudian.
Ada beberapa istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu: shadaqah, al-haq, al-fara’idh, al-infaq, tha’am al-miskin, dan al-ma’un. Akan tetapi yang paling banyak dipergunakan adalah istilah shadaqah, karena memang zakat itu adalah istilah lain dari shadaqah fardhu.
Menurut istilah, zakat adalah nama bagi kadar tertentu dari harta benda tertentu yang wajib dizakatkan kepada golongan tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Adapun hokum melaksanakan zakat adalah wajib berdasarkan ayat Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’.
Firman Allah yang artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu tentu kamu akan mendapatkan pahalanya pada sisi Allah.  Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 110).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban zakat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam karya tulis yang singkat ini. Selain ayat Al-Qur’an, terdapat juga beberapa hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang kewajiban zakat, diantaranya Nabi bersabda yang artinya: “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan haji ke baitullah, dan berpuasa pada bulan ramadhan.” (HR. Bukhari Muslim).
Adapun Ijma’, maka kaum muslimin di setiap masa telah Ijma’ (sepakat) akan wajibnya zakat. Juga para sahabat telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayarnya dan menghalalkan darah dan harta mereka karena zakat termasuk syi’ar Islam yang agung.
B.     PEMBAGIAN DAN PROSENTASE ZAKAT DALAM ISLAM
Secara garis besar zakat dibagi menjadi dua macam yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Berikut penjelasan dari masing-masing zakat tersebut:
1.      Zakat Fitrah
Zakat fitrah merupakan zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Zakat fitrah hanya dikeluarkan pada bulan Ramadhan dan selambat-lambatnya sebelum orang selesai mengerjakan shalat ‘Ied. Adapun prosentase zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah satu sha’ (kurang lebih 2,5 kg) makanan pokok penduduk setempat. Zakat fitrah bertujuan untuk membersihkan diri si muzakki (orang yang mengeluarkan zakat).
2.      Zakat Maal
Zakat maal adalah zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara hokum (syara’). Zakat maal diwajibkan ketika harta telah mencapai nishab (nilai minimal suatu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya) dan haul (genap setahun). Zakat maal bertujuan untuk membersihkan harta si muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dari hak-hak si mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Zakat maal ada beberapa macam yaitu: zakat binatang ternak, zakat emas dan perak/ zakat uang, zakat perdagangan, zakat pertanian, zakat madu dan produksi hewani, zakat barang tambang dan hasil laut, zakat pabrik, gedung, dll, zakat pencarian dan profesi, serta zakat saham dan obligasi. Namun, dalam karya tulis yang singkat ini, penulis hanya membahas masalah zakat emas dan perak serta zakat pencarian dan profesi.
a.       Zakat emas dan perak
Emas dan perak, baik dalam bentuk harta simpanan seperti bejana, patung, dan lain-lain maupun dalam bentuk perhiasan yang ada unsur berlebih-lebihan bila telah mencapai nishab dan haul, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Nishab emas adalah 20 dinar atau setara dengan 85 gram emas, sedangkan nishab perak sebesar 200 dirham atau setara 595 gram perak. Adapun prosentase zakat emas dan perak adalah 2,5%. Apabila hartanya itu tidak dalam bentuk emas, tetapi dalam bentuk uang, maka nishab hartanya itu senilai dengan harga 85 gram emas dan prosentase zakatnya yang wajib dikiluarkan juga sama yaitu 2,5%.
b.      Zakat pencarian dan profesi
Zakat pencarian dan profesi memang masih menjadi perdebatan para ulama. Ada yang mewajibkan zakatnya dan ada pula yang tidak mewajibkannya. Di antara yang mewajibkan zakat pencarian dan profesi itupun masih masih berbeda pendapat dalam hal menentukan waktu mengeluarkan zakat tersebut. Terlepas dari itu semua, perlu kita perhatikan bahwa penghasilan yang paling menyolok dewasa ini adalah apa yang diperoleh dari pencarian dan profesi, seperti: guru, dosen, dokter, perawat, pengacara, hakim, konsultan, anggota dewan, bupati, walikota, gubernur, presiden, artis, selebritis, dan sebagainya bila semua jenis pencarian dan profesi seperti ini tidak diwajibkan zakatnya rasanya tidak adil. Petani yang notabenenya saat sekarang ini berpenghasilan rendah masih tetap diwajibkan zakat hasil pertaniannya setiap kali panen. Sementara dokter spesialis yang setiap hari mendapatkan puluhan juta rupiah dari pasiennya, pengacara yang sekali saja menangani kasus bisa mendapatkan puluhan bahkan ratusan juta dari kliennya, begitu juga dengan konsultan, artis, dan selebritis dan selebritis bisa meraih pendapatan puluhan juta sekali tampil. Sangatlah ironis bila kita memandang sebelah mata terhadap zakat pencarian dan profesi ini. Padahal di dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa segala hasil usaha yang baik-baik wajib dikeluarkan zakatnya. Termasuk pendapatan para pekerja dari gaji atau pendapatan dari profesi sebagai dokter, konsultan, seniman, akunting, notaris, artis, selebritis dan sebagainya. Oleh karena itu, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pencarian dan profesi itu wajib dizakatkan.
Setelah menetapkan harta penghasilan dari pencarian dan profesi adalah wajib zakat, Yusuf Qardhawi menjelaskan pula berapa besar nishab untuk jenis harta ini, yaitu 85 gram emas seperti besarnya nishab uang. Demikian pula dengan prosentase zakatnya adalah seperempat puluh (2,5%) sesuai dengan nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu.
Sekarang perlu kita perhatikan bahwa orang-orang yang memiliki profesi itu menerima gaji pendapatan mereka tidak teratur, bisa setiap hari seperti dokter, atau pada saat-saat tertentu seperti advokat, kontraktor, dan penjahit, atau secara regular mingguan atau bulanan seperti kebanyakan para pegawai. Bila nishab di atas ditetapkan untuk setiap kali upah, gaji yang diterima, berarti kita akan membebaskan kebanyakan golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup senishab bahkan akan mencapai beberapa nishab. Adapun waktu penyatuan dari penghasilan itu yang dimungkinkan dan dibenarkan oleh syariat itu adalah satu tahun. Dimana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji pegawainya berdasarkan urutan tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.
Jangan lupa bahwa yang diukur nishabnya adalah penghasilan bersih, yaitu penghasilan yang telah dikurangi dengan kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut tanggungannya, dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran hutang. Bila penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam setahun atau kurang dalam setahun dan telah mencapai nishab, maka wajib zakat dikeluarkan 2,5%-nya. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima penghasilan tersebut, maka dia tidak wajib lagi mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat doble zakat).

C.    PERANAN ZAKAT DALAM MEMBANGUN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyah yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam yang keberadaannya dianggap ma’lum min ad-dien bi adl-dlarurah atau diketahui secara tomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keIslaman seseorang.
Adapun sasaran zakat sangat dari segi sosial adalah sangat jelas dan tidak diragukan lagi. Cukuplah kita memperhatikan para mustahiq zakat yang sudah disebutkan di dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Berdasarkan ayat ini, jelas bagi kita, ada sasaran yang mempunyai identitas agama yang bersifat politis, karena ia berhubungan dengan Islam, yang bersifat agama dan pemerintahan, dan hal ini disyari’atkan dengan bagian para muallaf yang dibujuk hatinya dan mereka yang sedang dalam perjalanan.
Dua sasaran ini menetapkan bahwa bagi agama Islam ini harus ada jama’ah dan daulah/kekuasaan, yang mengumpulkan zakat melalui para petugasnya kemudian mengeluarkannya untuk menyebarkan dakwahnya menegakkan kalimahNya dan membelanya dari musuh-musuhnya. Hal itu dilakukan dengan pembujukan hati dan berdakwah pada golongan tertentu, karena itu termasuk di dalam makna “sabilillah”.
Dalam sasaran zakat (QS. 9:60) ada yang bersifat identitas sosial, seperti menolong orang-orang yang lemah, seperti: fakir miskin, orang yang berutang, dan ibnu sabil. Menolong mereka meskipun sifatnya pribadi, akan tetapi memiliki dampak sosial, karena masing-masing saling berkaitan erat, sebab secara pasti antara pribadi dengan masyarakat akan saling berpengaruh, bahkan masyarakat itu tidak lain merupakan kumpulan pribadi-pribadi.
Zakat adalah salah satu bagian dari aturan jaminan sosial di dalam Islam, di mana aturan jaminan sosial ini tidak dikenal Barat, kecuali dalam ruang lingkup sempit, yaitu jaminan pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan fakir.
Islam memperkenalkan aturan ini dalam ruang lingkup yang lebih dalam dan lebih luas, yang mencakup segi kehidupan material dan spiritual seperti jaminan akhlak, pendidikan, jaminan politik, jaminan pertahanan, jaminan pidana, jaminan ekonomi, jaminan kemanusiaan, jaminan kebudayaan, dan jaminan sosial.
Jaminan sosial, kalau demikian, adalah aturan yang lebih mencakup berbagai segi kehidupan dan perhubungan manusia secara keseluruhan, sedangkan zakat merupakan satu bagian berbagai macam bagian ini. Ini mencakup apa yang sekarang disebut “Asuransi Sosial” dan “Tanggungjawab Sosial”. Beda antara keduanya adalah, bahwa pada asuransi setiap orang mempunyai bagian sesuai dengan modalnya dalam pandangan pengurusnya, ketika ia sudah mulai lemah selamanya atau sementara. Sedangkan dalam tanggungjawab sosial, pengusahalah yang menentukan ukuran yang bersifat umum, tanpa mengikutsertakan masyarakat dalam bagian yang telah ditentukan.
Selain sebagai jaminan sosial, zakat juga dapat dilihat dari segi ekonomi yaitu merangsang si pemilik harta kepada amal perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari mereka. Ini terutama jelas sekali pada zakat uang, dimana Islam melarang menumpukkannya, menahannya dari peredaran dan pengembangan.
Pada intinya, Islam telah menegakkan tiga prinsip dasar, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ayat mustahiq zakat, yaitu: prinsip pertama, menyempurnakan kemerdekaan bagi setiap individu masyarakat, dalam hal ini ada nash yang mewajibkan memerdekakan budak belian dari penghambaan antara sesame manusia. Prinsip kedua, membangkitkan semangat pribadi manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya dalam menyerahkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, baik mental maupun materialnya atau menolak sesuatu yang buruk yang dikhawatirkan akan terjadi. Prinsip ketiga, memelihara akidah dan pendidikan yang dimaksudkan untuk menyucikan dasar-dasar fitrah manusia, dan terutama untuk menghubungkan manusia dengan Allah, memberikan pandangan kepada seseorang tentang hakikat tujuan hidupnya dan tentang kehidupan akhiratnya yang pasti manusia akan kembali kepadanya, tidak bisa tidak, karena kepastiannya yang bersifat ajali. Ini dinyatakan dalam firman Allah : “Wa fii sabiilillaah (dan dalam jalan Allah).”
Jadi, zakat berperan sangat penting dalam membangun kesejahteraan masyarakat baik dari segi kehidupan material maupun spiritual, seperti: jaminan akhlak, pendidikan, jaminan politik, jaminan pertahanan, jaminan pidana, jaminan ekonomi, jaminan kebudayaan, dan jaminan sosial.




KESIMPULAN
Zakat berasal dari bahasa Arab zakaa-yazkii-zaakiatan-zakaatan, yang mengandung arti barakah, tumbuh, berkembang, suci, bersih, baik, dan terpuji. Sedangkan menurut istilah, zakat adalah nama bagi kadar tertentu dari harta benda tertentu yang wajib dizakatkan kepada golongan tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Adapun hokum melaksanakan zakat adalah wajib berdasarkan ayat Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’.
Zakat dibagi menjadi dua macam yaitu zakat fitrah dan zakat maal. Zakat fitrah merupakan zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Zakat fitrah hanya dikeluarkan pada bulan Ramadhan dan selambat-lambatnya sebelum orang selesai mengerjakan shalat ‘Ied. Adapun prosentase zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah satu sha’ (kurang lebih 2,5 kg) makanan pokok penduduk setempat. Sedangkan Zakat maal adalah zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara hokum (syara’). Zakat maal diwajibkan ketika harta telah mencapai nishab (nilai minimal suatu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya) dan haul (genap setahun). Zakat maal bertujuan untuk membersihkan harta si muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dari hak-hak si mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Zakat maal ada beberapa macam yaitu: zakat binatang ternak, zakat emas dan perak/ zakat uang, zakat perdagangan, zakat pertanian, zakat madu dan produksi hewani, zakat barang tambang dan hasil laut, zakat pabrik, gedung, dll, zakat pencarian dan profesi, serta zakat saham dan obligasi. Adapun prosentase dari zakat emas, perak, uang ataupun zakat profesi adalah 2,5%.
Zakat berperan sangat penting dalam membangun kesejahteraan masyarakat baik dari segi kehidupan material maupun spiritual, seperti: jaminan akhlak, pendidikan, jaminan politik, jaminan pertahanan, jaminan pidana, jaminan ekonomi, jaminan kebudayaan, dan jaminan sosial.



DAFTAR REFERENSI

Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayatul Akhyar (Penj. Syarifudin Anwar & Mishbah Musthafa). Surabaya: Bina Iman. Cet. ii, 1995.
Al-Khatib, Muhammad Asy-Syarbini. Al-Iqna’. Surabaya: Nurul Huda, tt.
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al-Anshari. Al-Jaami’ Li Ahkam Al-Qur’an. Mesir: Daar Al-Fikr, tt.
Permono, Sjechul Hadi. Formula Zakat: Menuju Kesejahteraan Sosial. Surabaya: CV. Aulia, 2005.
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat (Penj. Salman Harun dkk). Jakarta: Pustaka Lintera AntaNusa. Cet ix, 2006.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. iv, 2010.


No comments:

Post a Comment