SISI LAIN DARI HARI RAYA QURBAN
(Buletin At-Tajdid, Edisi
II,
25 Nopember
2009 M / 8 Dzulhijjah
1430 H)
BY: Zulkifli, S.Pd.I
Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu hari besar Islam
di mana pada hari itu gema takbir, tahmid, taqdis, dan tahlil
berkumandang di setiap penjuru dunia Islam sampai menerobos ke angkasa raya.
Itu suatu pertanda kebesaran dan keagungan sang Pencipta yaitu Allah SWT.
Ucapan TAKBIR, adalah mendidik hati kaum muslimin
agar jangan bersifat angkuh dan sombong, apapun pangkat dan jabatan yang
dipikul di atas pundaknya, bagaimanapun banyak harta benda dan kekayaan yang
dimiliki, namun dia menyadari bahwa dirinya itu sangat kecil, lemah, dan
terbatas. Hanya Allahlah Yang Maha Besar dan Maha Agung.
Ucapan TAHMID, adalah menganjurkan kita untuk
senantiasa memuji dan mensyukuri nikmat
karunia Allah yang dianugerahkan kepada kita. Hanya Allahlah yang paling berhak
untuk dipuji dan disanjung.
Ucapan TAQDIS, adalah suatu peringatan kepada kita
semua sesungguhnya Allah SWT Maha Suci dari sekutu-sekutu-Nya dan Maha Suci
dari sifat-sifat kekurangan. Tidak ada suatu makhluk pun yang bersifat cukup
dan sempurnya. Seluruh makhluk adalah faqir karena semuanya sangat berhajat
kepada pertolongan dan perlindungan Allah SWT.
Ucapan TAHLIL, adalah mengajarkan kita untuk
selalu ingat kepada Allah SWT di setiap hembusan nafas dan kedipan mata. Tahlil
mendidik kita untuk bertauhid atau mengesakan Allah. Tahlil dapat menebus
dosa-dosa yang telah kita lakukan dan memberatkan timbangan amal kebajikan
kita.
Hari Raya Idul Adha atau sering disebut hari Raya Qurban,
karena pada hari itu sangat dianjurkan kepada kaum muslimin yang memiliki
kelebihan untuk melaksanakan ibadah qurban sebagaimana diperintahkan kepada
Nabi Ibrahim AS.
Adapun sejarah diperintahkannya berkurban itu dimulai
pada masa Nabi Ibrahim AS. Saat itu Nabi Ibrahim AS mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih
Ismail puteranya yang baru menginjak usia remaja. Sebagai seorang ayah yang
dikaruniai seorang putera yang sejak puluhan tahun diharap-harapkan dan
didambakan, seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyampung
kelangsungan keturunannya, seorang putera yang menjadi buah hati tumpuan
harapannya, tiba-tiba harus dijadikan qurban dan harus direnggut nyawanya oleh
tangan si ayah sendiri.
Namun ia
sebagai seorang Nabi, pesuruh Allah dan pembawa agama yang seharusnya menjadi
contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah,
menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas
cintanya kepada anak, isteri, harta benda dan lain-lain. Ia harus melaksanakan
perintah Allah yang diwahyukan melalui mimpinya, apa pun yang akan terjadi
sebagai akibat pelaksanaan perintah itu.
Nabi
Ismail sebagai anak yang saleh yang sangat taat kepada Allah dan bakti kepada
orang tuanya, ketika diberitahu oleh ayahnya maksud kedatangannya kali ini
tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang ia berkata kepada ayahnya: "Wahai
ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau
akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada
perintah. Kemudian dipeluknyalah Ismail dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim
seraya berkata: "Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada
Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk
melaksanakan perintah Allah."
Saat
penyembelihan yang mengerikan telah tiba. Diikatlah kedua tangan dan kaki
Ismail, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah parang tajam yang
sudah tersedia dan sambil memegang parang di tangannya, kedua mata nabi Ibrahim
yang tergenang air mata berpindah memandang dari wajah puteranya ke parang yang
mengkilat di tangannya, seakan-akan pada masa itu hati beliau menjadi tempat
pertarungan antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang
rasul di pihak yang lain. Pada akhirnya dengan memejamkan matanya, parang
diletakkan pada leher Nabi Ismail dan penyembelihan dilakukan. Akan tetapi apa
daya, parang yang sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul dileher
Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana
diharapkan.
Dalam
keadaan bingung dan sedih hati, karena gagal dalam usahanya menyembelih
puteranya, datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya:
"Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah
Kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikan." Kemudian sebagai
tebusan ganti nyawa Ismail yang telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan
Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing yang telah tersedia di sampingnya dan
segera dipotong leher kambing itu oleh beliau dengan parang yang tumpul di
leher puteranya Ismail itu. Dan inilah asal permulaan sunnah berqurban yang
dilakukan oleh umat Islam pada tiap hari raya Idul Adha di seluruh pelosok
dunia.
Penulis
yakin bahwa penjelasan di atas sudah sering disampaikan oleh para Khatib di
dalam khotbah Idul Adha. Akan tetapi, ada sisi lain yang sering kita lupakan
dalam memaknai Hari Raya Qurban yaitu penerapan nilai-nilai qurban di dalam
kehidupan kita sehari-hari. Berqurban (baca “berkorban”) tidak hanya terbatas
pada harta benda, tapi lebih luas dari itu, berkorban mencakup tenaga, pikiran,
dan perasaan.
Berkorban
tenaga, berarti kita mengerahkan tenaga yang kita miliki untuk berdakwah demi
kemajuan Islam, misalnya: sebagai seorang guru seyogianya mengorbankan
tenaganya demi mencapai hasil pembelajaran yang maksimal. Hal ini harus
dilakukan dengan ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, bukan untuk
kenaikan gaji atau penambahan tunjangan.
Berkorban
pikiran, sebagai seorang guru, menyumbangkan atau mengorbankan pikiran demi
kemajuan pendidikan sudah menjadi hal yang lazim. Dalam proses pembelajaran,
seorang guru dituntut untuk berpikir maju dan kreatif demi memperoleh
pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan mandiri (PAIKEM).
Begitu
juga, sebagai seorang guru mengorbankan perasaan adalah suatu hal yang tak bisa
terelakkan karena dalam proses belajar mengajar, pasti terdapat berbagai
problem. Baik itu problem yang berasal dari siswa, problem dari sekolah, maupun
problem yang datang dari diri guru itu sendiri. Problem-problem itu tidak
terhenti di dalam kelas saja, tetapi sering sekali problem-problem itu
mengganggu ketenangan seorang guru, menyakiti perasaannya, dan bahkan selalu
menjadi beban pikirannya. Sebagai seorang guru yang profesional, hal semacam
ini harus disikapi dengan bijak, berpikiran positif, dan mencari solusi-solusi
terbaik demi kelancaran proses pembelajaran.
Jangan
sampai terjadi sebaliknya, misalnya, seorang guru yang mengajar di sekolah
swasta yang notabene gajinya itu “pas-pasan” tidak mau memaksimalkan tenaga dan
pikirannya untuk kemajuan pendidikan di sekolah tersebut. Apalagi sebagai guru
negeri yang ditugaskan mengajar di sekolah swasta, kemudian enggan melaksanakan
tugas dengan semestinya atau tidak mau bekerja maksimal karena beranggapan
bahwa bagaimanapun dia bekerja ekstra, toh juga tidak akan mendapatkan apa-apa
dari pihak sekolah, tidak akan menambah gajinya, dan tidak pula dapat menaikkan
pangkatnya. Bila virus seperti ini menyerang guru-guru kita di sekolah ini,
maka perubahan dan kemajuan sekolah yang selalu kita cita-citakan tidak akan
pernah terwujud.
Seyogianya
sebagai seorang guru rela mengorbankan tenaga, pikiran, dan perasaannya untuk
kemajuan sekolah dengan niat yang ikhlas semata-mata mengharapkan ridho Allah
SWT. Bukan karena ingin dipuji oleh orang lain, ingin dinaikkan gajinya, atau
ingin naik pangkat. Kalau pengorbanan itu kita lakukan dengan ikhlas, insya
Allah kita akan mendapatkan ganjaran yang lebih dari Allah SWT, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Semoga kita tergolong sebagai hambanya yang mukhlis.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
No comments:
Post a Comment