PENDEKATAN POSITIVISME AYER TENTANG KEBERADAAN TUHAN
( Oleh: Zulkifli )
A. PENDAHULUAN
Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para
manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan.[1]
Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan
kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.[2]
Salah satu materi pokok dalam filsafat
ketuhanan adalah pembuktian keberadaan Tuhan. Dengan membuktikan keberadaan
Tuhan akan dapat memperkuat kepercayaan kita kepada-Nya. Kepercayaan adanya
Tuhan adalah dasar utama dalam paham keagamaan. Menurut kajian filsafat,
prestasi dalam pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan
saja, dan tidak sampai pada substansi tentang Tuhan.[3]
Dalam membuktikan keberadaan Tuhan ini
terdapat berbagai pendekatan, antara lain pendekatan positivisme, empirisme,
rasionalisme, dan pendekatan idealisme. Masing-masing dari
pendekatan-pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika pendekatan yang lebih dulu muncul dikritik
oleh pendekatan setelahnya, dan begitu seterusnya. Ada juga yang membuat sebuah
pendekatan dengan memadukan dua pendekatan yang sebelumnya. Sehingga bisa dikatakan
bahwa antara pendekatan yang satu dengan pendekatan yang lainnya memiliki
korelasi yang signifikan, baik yang menolak maupun yang menyempurnakan
pendekatan sebelumnya.
Misalnya, pertarungan
antara rasionalisme dan empirisme, dalam sejarah perkembangan filsafat modern,
merupakan reaksi yang muncul terhadap upaya memahami realitas. Para filsuf yang
mengutamakan rasio manusia menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh melalui rasio
manusia sendiri.
Aliran rasionalisme ini dirintis oleh Rene
Descartes (1596-1650), yang kemudian diikuti oleh filsuf
lainnya seperti Nicolas Malebranche (1638-1715), Baruch Spinoza (1632-1677), Gottfried
Wilhelm von Leibniz (1646-1716) dan Friedrich August Wolf (1759-1824). Aliran
ini menganggap bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh
dalam rasio sendiri dan bersifat a priori. Pengetahuan ini bersifat transendental
karena mengatasi pengamatan empiris yang bersifat khusus dan berubah-ubah.[4]
Pada bagian lain, aliran empirisme mengutamakan peranan pengalaman
empiris yang menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh hanya melalui
pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan. Aliran ini berpendirian bahwa
pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya melalui pengamatan empiris dan karenanya bersifat aposteriori. Tokoh-tokoh
aliran ini antara lain Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George
Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776).[5]
Konflik kedua aliran tersebut di atas pada gilirannya berpuncak
pada pembersihan pengetahuan dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Puncak
pembersihan itu, berawal dari lahirnya positivisme yang dirintis oleh August Comte
(1798-1857). Positivisme Comte telah mengabaikan dua tahap pemikiran lain sebelumnya yang disusun
Comte sendiri, yaitu tahap teologis dan metafisis. Pada abad 1920-an,
filsafat positivisme
Comte tersebut mengalami perkembangan dramatis terutama dengan hadirnya kaum
positivis logis. Kaum positivis logis memusatkan diri pada bahasa dan makna.[6]
Terhadap
realitas (objek
pengetahuan), kaum positivis logis beranggapan bahwa kaum idealis dan
materialis tak pernah berhenti untuk melihat secara hati-hati dari makna
bahasa yang mereka pakai. Positivisme logis
sendiri dipengaruhi oleh beberapa aliran filsafat dalam cara pandangnya seperti
positivisme, empirisme, serta logika simbolik dan analisa bahasa.[7]
Para filsuf positivis mengklaim bahwa kekacauan dengan semua
pendekatan-pendekatan metafisika terhadap realitas, adalah karena bahasa yang mereka
pakai secara esensial tanpa makna. Bagi kaum positivis logis, semua metafisika secara literal
adalah nonsense, tanpa makna. Berkaitan dengan problem makna dan bahasa dalam positivisme
logis, maka pada makalah ini penulis akan membahas pemikiran Alfred Jules
Ayer, yang merupakan
salah seorang tokoh terkemuka dari filsuf yang tergolong ke dalam positivisme
logis.
B. BIOGRAFI AYER
Alfred
Jules Ayer pernah belajar filologi klasik dan filsafat di Oxfrod. Sesudah itu
ia pergi ke Austria, tepatnya berkunjung ke Universitas di Wina. Kemudian ia
kembali ke Inggris dan diangkat
menjadi dosen di Oxfrod, hingga akhirnya setelah perang dunia II ia diangkat
sebagai professor di Universitas London (1946-1959).[8]
Salah satu buku yang ia terbitkan ialah Language, Truth and Logic (1936)
dimana buku ini terbit ketika usianya 25 tahun. Language, Truth and Logic
memuat sebagian besar pemikiran Ayer sehingga buku ini dikaitkan dengan
munculnya salah satu aliran baru dalam filsafat periode kontemporer, yakni positivisme
logis.[9]
Dalam kata pengantar
bukunya, Ayer mengakui bahwa pemikirannya telah dipengaruhi oleh dua tokoh
Lingkungan Wina yakni Moritz Schlick dan Rudolf Carnapp. Adapun
buku-buku Ayer yang lainnya adalah The Problem of Knowledge (1957),
The Foundations of Empirical Knowledge (1940), The Origins of Pragmatism
(1968), Russell and Moore, The Analytical Heritage (1971), Russell
(1972), Probability and Evidence (1972), The Central
Problems of Philosophy (1973), Philosophy in the 20th
Century (1982).[10]
Filsuf Universitas Oxford
ini terkenal karena memiliki komitmen kuat untuk meletakkan dasar yang kuat
bagi empirisme berupa data pengamatan yang menempatkannya pada aliran filsafat
fenomenalisme. Kampanye Ayer tentang fenomenalisme bahasa merebak pada awal
pemikirannya. Ayer menyebarkan pandangannya tentang skeptisisme, persepsi,
ingatan, dan identitas personal. Fenomenalisme berpendapat bahwa berbicara
tentang masalah objek material adalah sah, tetapi dapat salah jika kemudian
yang menjadi objek pengamatannya terletak di luar atau melebihi jangkauan
indra. Pandangan umum fenomenalisme mengatakan bahwa objek material menjadi
sebuah konstruksi logis data pengamatan. Namun, Ayer tidak sependapat dengan
pandangan ini. Ayer cenderung memilih pandangan bahwa pernyataan tentang objek
material dapat direduksi sebagai pernyataan tentang data pengamatan yang berupa
input yang diterima subjek dari lingkungan objek pengamatannya. Artinya, data
pengamatan mungkin saja diperoleh, walaupun dari objek yang tidak dapat diamati
atau tertangkap indra. Oleh karena fenomenologis, bagian yang tidak
terobservasi oleh indra akan ditambahkan dari data pengamatan yang muncul dari
lingkungan objek pengamatan. [11]
C. PENGERTIAN POSITIVISME LOGIS
Positivisme logis
merupakan kelanjutan dari aliran positivisme yang dipelopori oleh August Comte.
Oleh karena itu, sebelum membahas lebih jauh tentang positivisme logis, perlu
dijelaskan terlebih dahulu di dalam makalah ini tentang pengertian positivisme
secara umum.
Positivisme berasal dari
kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa
yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak
pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan
empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Maka filsafat pun
harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu pulalah positivisme menolak cabang
filsafat metafisika. Menanyakan “hakekat” benda-benda atau “penyebab yang
sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan
yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan
ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja, maksud
positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme.
Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan empirisme
Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber
pengetahuan, positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman
batiniah tersebut. Ia hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.[12]
Positivisme adalah aliran
filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang di luar fakta
atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.[13]
Positivisme kelanjutan
dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan
fungsi akal, adapun positivisme menggabungkan keduanya. Bagi positivisme,
pengalaman perlu untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin
agar akal mendapatkan suatu hukum yang bersifat
universal. Empirisme menerima pengalaman subjektif, sedangkan positivisme
terbatas pada pengalaman yang objektif saja.[14]
Apa yang diketahui secara
positif adalah segala yang tampak dan dapat diukur. Dengan demikian positivisme
membatasi filsafat dan ilmu pada bidang gejala-gejala saja. Gejala-gejala
disusun dalam hukum-hukum tertentu dengan melihat hubungan antara gejala
tersebut. Setelah hukum itu tersusun, barulah seseorang melihat ke masa depan
untuk mengembangkan ilmu.[15]
Positivisme memandang
agama sebagai gejala peradaban manusia primitif. August Comte, tokoh positivisme,
membagi perkembangan menurut tiga zaman atau tiga stadia, ini merupakan hukum
yang tetap. Ketiga zaman tersebut adalah zaman teologis, zaman metafisis, dan
zaman ilmiah atau positif.[16]
1. Zaman Teologis
Pada zaman teologis
manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kekuasaan
adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa
ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia,
tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari
makhluk-makhluk insani biasa. Zaman teologis ini sendiri dapat dibagi lagi
menjadi tiga periode. Ketiga periode tersebut adalah sebagai berikut:
Animisme. Tahap animisme
ini merupakan tahapan yang paling primitif, karena benda-benda sendiri
dianggapnya mempunyai jiwa.
Politeisme. Tahap
politeisme ini merupakan perkembangan dari tahap pertama, di mana pada tahap
ini manusia percaya pada banyak dewa yang masing-masing menguasai suatu lapang
tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya.
Monoteisme. Tahap
monoteisme ini lebih tinggi dari dua tahap sebelumnya. Karena pada tahap ini
manusia hanya memandang satu Tuhan.
2. Zaman Metafisis
Pada zaman ini kuasa-kuasa
adikodrati diganti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak, seperti
misalnya “kodrat” dan “penyebab”. Metafisika pada zaman ini dijunjung tinggi.
3. Zaman Positif
Zaman ini dianggap Comte
zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya ialah karena pada zaman ini
tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat di
belakang fakta-fakta. Manusia ini telah membatasi diri dalam penyelidikannya
pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar observasi dan dengan
menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan relasi-relasi atau
hubungan-hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada
zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Hukum ketiga zaman ini
tidak saja berlaku bagi manusia. Misalnya: sebagai anak manusia berada pada
zaman teologis, pada masa remaja ini masuk zaman metafisis dan pada masa dewasa
ia memasuki zaman positif. Demikian pula ilmu pengetahuan berkembang mengikuti
tiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman
positif.
Menjadi sumber filosofis
bagi positivisme, terutama pada masalah pandangan objektif mereka terhadap ilmu
pengetahuan. Empirisme
yang didukung filsuf Inggris ini (Locke, Hume, Berkeley) meyakini bahwa
realitas adalah segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh indera. Lebih dari itu,
seiring dengan perkembangan zaman, positivisme mengembangkan paham empiris ini
lebih ekstrim lagi, yakni menyatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah
ilmu-ilmu positif atau sains yang berangkat dari fakta-fakta empiris.[17]
Dalam perkembangannya,
pada abad ke-20 M muncullah sebuah aliran filsafat ilmu pengetahuan yakni positivisme logis, dimana positivisme
logis (neopositivisme) ini berkembang di Lingkungan Wina, Austria. Di antara tokoh
positivisme logis yang akan dibahas pada
makalah ini adalah Alfred Jules Ayer. Penulis rasa perlu
untuk mengemas pemikiran A.J Ayer dalam makalah ini karena beliaulah yang
berperan besar dalam perkembangan positivisme logis. A.J. Ayer-lah yang
memperkenalkan positivisme logis yang berkembang di Lingkungan Wina untuk
dikenalkan di negara-negara lain yang berbahasa Inggris.[18]
Adapun pengertian positivisme
logis adalah sebuah aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal
yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi
antara istilah-istilah. Menurut positivisme logis, filsafat ilmu murni mungkin
hanya sebagai suatu analisis logis tentang bahasa ilmu. Fungsi analisis ini, di
satu pihak, mengurangi “metafisika” (yaitu filsafat dalam arti tradisional), dan
di lain pihak, meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.[19]
Ayer berpendapat bahwa pernyataan
tentang objek material dapat direduksi sebagai pernyataan tentang data
pengamatan yang berupa input yang diterima subjek dari lingkungan objek
pengamatannya. Artinya, data pengamatan mungkin diperoleh dari komponen objek
yang tidak dapat diamati atau tertangkap indra, tetapi melalui data pengamatan
yang muncul dari lingkungan objek pengamatan.[20]
Positivisme
logis merupakan salah satu aliran baru dalam perkembangan filsafat di abad
20-an. Persamaan positivisme klasik dan
positivisme logis ialah keduanya sama-sama menjunjung tinggi sains dan metode
ilmiah dalam mendapatkan pengetahuan yang objektif-rasional. Sedangkan
perbedaannya adalah apabila positivisme klasik lebih menaruh perhatian
pada bidang pengaturan sosial masyarakat secara
ilmiah dan adanya gerak kemajuan evolutif dalam alam, maka positivisme logis
lebih memfokuskan diri pada logika dan bahasa sains. Filsafat menurut
positivisme logis harus bertindak sebagai hamba sains. Fungsi pokok filsafat
bagi positivisme logis ialah melakukan kajian sains tentang metodologi sains
dan melakukan klarifikasi sehingga kerancuan dalam penggunaan bahasa dapat
dihindarkan.[21]
Dalam
positivisme logis perhatian yang paling utama difokuskan pada masalah adanya
garis demarkasi (garis batas) antara kalimat yang bermakna (sense) dan
yang tidak bermakna (non sense). Para filsuf positivisme logis tidak
memperhatikan kebenaran suatu ucapan, akan tetapi lebih mengutamakan makna dari
ucapan-ucapan. Ada dua kategori yang dikemukakan positivisme logis untuk mengetahui suatu ucapan itu
benar-benar bermakna, yaitu: Pertama, suatu kalimat bisa jadi benar atau salah
berdasarkan istilah-istilah yang dipergunakan. Tidak perlu adanya verifikasi,
kita hanya membutuhkan analisis saja dengan berdasarkan realitas inderawi.
Kategori yang kedua ialah pernyataan-pernyataan yang kebenaran atau
kesalahannya tidak bisa ditentukan dengan menganalisis, tetapi hanya bisa
dilakukan dengan memverifikasi fakta-fakta.
A.J
Ayer sebagai seorang tokoh positivisme logis, menurutnya hanya bermakna suatu
ucapan yang berupakan observation-statement artinya pernyataan yang
menyangkut realitas inderawi; dengan kata lain, suatu ucapan yang dilakukan
berdasarkan observasi, atau sekurang-kurangnya berhubungan dengan observasi.
Bahwa suatu pernyataan akan bermakna apabila pernyataan tersebut sesuai dengan
realitas inderawi. Untuk menguatkan pandangan ini, maka Ayer mengemukakan
adanya prinsip verifikasi sebagai tolok ukurnya. Dengan begitu akan
diketahui bahwa pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diverifikasi dan
dianalisis secara logika adalah pernyataan yang tidak bermakna. Seperti dalam
buku Language, Truth and Logic, ia mengatakan: “Sebagian besar
perbincangan yang dilakukan
oleh para filsuf sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan juga tidak ada gunanya”. Kita tahu bahwa para filsuf sebagian banyak
memperbincangkan persoalan metafisika, demikian juga dengan munculnya idealisme
di Inggris pada abad modern. Menurut Ayer, itu semua merupakan hal yang tidak
bermakna sama sekali karena hal-hal tersebut (terutama berkaitan dengan metafisika)
tidak bisa dibuktikan secara empiris. Pandangan empiristik telah
mempengaruhi Ayer, hal ini terlihat pada pengajuan prinsip verifikasi yang
dikemukakan olehnya. Jadi common sense adalah acuan utama dalam
positivisme logis Alfred Jules Ayer.
Ayer
juga memberikan batas-batas pada prinsip verifikasi yang diberlakukannya
sebagai tolak ukur. Baginya suatu pernyataan tidak hanya bisa dibuktikan secara
langsung, akan tetapi ada pula secara tidak langsung untuk memverifikasi
pernyataan, misalnya: fakta sejarah,
bahwa fakta sejarah tidak bisa diverifikasi secara
langsung, akan tetapi bisa diketahui melalui orang
yang bersaksi dan jujur atas apa yang disaksikannya. Jadi peran orang lain
sangat berpengaruh dalam penentuan pernyataan atas suatu kejadian yang kita
tidak tahu. Misalnya, “Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945″, jelas di sini kita sadar
bahwa kita tidak hidup pada zaman itu. Maka kita membutuhkan kesaksian banyak
orang mengenai hari kemerdekaan Indonesia.
Dalam positivisme logis terdapat
cara pandang yang menganggap bahwa hanya ada satu bentuk pengetahuan yaitu
pengetahuan yang berdasarkan dari pengalaman yang telah dilakukan observasi
sebelumnya serta dapat dilihat melalui bahasa logis dan matematis. Salah satu teori
positivisme logis yang terkenal yaitu teori pemberian makna yang dapat
dibuktikan. Teori ini berpendapat bahwa sebuah pertanyaaan dapat menjadi
bermakna ketika dapat dibuktikan atau diverifikasi secara empiris.[22]
D. BEBERAPA AJARAN POKOK POSITIVISME LOGIS
Beberapa ajaran pokok positivisme logis dapat dirinci
sebagai berikut[23]:
1.
Veribiabilitas, yang merupakan kriteria untuk
menentukan bahwa suatu pernyataan mempunyai arti kognitif. Arti kognitif suatu
pernyataan (sebagaimana dipertentangkan dengan aspek emotif atau aspek lain
dari arti) tergantung pada apakah pernyataan itu dapat diverifikasi atau tidak.
Suatu pernyataan berarti/ bermakna kalau dan hanya kalau, paling sedikit pada
prinsipnya, secara empiris dapat diverifikasi. Suatu pengalaman inderawi
dasariah (pengalaman positif) harus dicapai sebelum suatu pernyataan dapat
memiliki arti kognitif.
2. Semua pernyataan dalam matematika dan logika bersifat analitis (tautologi)
dan benar per definisi. Pernyataan-pernyataan itu secara niscaya merupakan
pernyataan benar yang berguna dalam menyelenggarakan pernyataan yang berarti/
bermakna secara kognitif. Konsep-konsep matematika dan logika tidak
diverifikasi tetapi merupakan kesepakatan definisional yang diterapkan pada
realitas.
3. Metode ilmiah merupakan sumber pengetahuan satu-satunya yang tepat tentang
realitas (ada upaya untuk menyusun suatu sistem yang menyeluruh dari semua ilmu
pengetahuan di bawah suatu metodologi logika-matematika-eksperiensial).
4. Filsafat merupakan analisis dan klarifikasi makna dengan logika dan metode
ilmiah (beberapa ahli positivisme logis berupaya untuk menghilangkan semua
filsafat yang tidak tersusun sebagaimana ilmu-ilmu logika-matematik).
5. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu kalkulus. Dengan formalisasi bahasa
dapat ditangani sebagai suatu kalkulus a) dalam memecahkan masalah-masalah
filosofis (atau memertahankan yang mana dari masalah-masalah itu merupakan hal
semu), dan b) dalam menjelaskan dasar-dasar ilmu. Kaum positivis dan empiris
logis telah melakukan usaha untuk menyusun bahasa artifisial, serta secara
formal sempurna bagi filsafat agar memperoleh dayaguna, kecepatan, dan
kelengkapan ilmu-ilmu fisika.
6. Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan itu
tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang berguna. Tidak
ada cara yang mungkin untuk menentukan kebenarannya (atau kesalahannya) dengan
mengacu pada pengalaman. Tidak ada pengalaman yang mungkin yang pernah dapat
mendukung pernyataan-pernyataan metafisik seperti: “Yang Tiada itu sendiri tiada”
(The Nothing it self nothings), Yang Mutlak menguasai waktu”, Allah
adalah Sempurna, Ada Murni tidak mempunyai ciri. Pernyataan-pernyataan
metafisik adalah pernyataan semu. Metafisika berisi ucapan-ucapan yang tak
bermakna.
7. Dalam bentuk positivisme ekstrim, pernyataan-pernyataan tentang eksistensi
dunia luar dan pikiran luar yang bebas dari pikiran kita sendiri, dianggap
tidak bermakna karena tidak ada cara empiris untuk mengadakan verifikasi
terhadapnya.
8.
Penerimaan terhadap suatu teori emotif dalam aksiologi.
Nilai-nilai tidak ada secara tidak tergantung pada kemampuan manusia untuk
menetapkan nilai-nilai. Nilai-nilai tidak merupakan objek-objek di dunia, tidak
dapat ditemukan dengan percobaan, tidak dapat diperiksa, atau dialami
sebagaimana kita mengalami atau mengadakan verifikasi terhadap eksistensi
objek-objek. Nilai-nilai tidak absolut. Pernyataan mengenainya bukan pernyataan
empiris. “Pembunuhan jahat”, “Aborsi salah”, “Kau jangan mencuri”, semuanya
merupakan pernyataan yang sama sekali tidak mengandung isi empiris atau
deskriptif. Pernyataan-pernyataan jenis itu tidak secara langsung
mengkomunikasikan fakta-fakta atau informasi atau pengetahuan kognitif, dan
hanya menunjukkan hal-hal seperti: persetujuan kita, ketidaksejutuan kita,
penerimaan, tidak adanya penerimaan, keterikatan atau ketidakterikatan kita
untuk hal-hal tertentu.
E. PENOLAKAN POSITIVISME LOGIS TERHADAP METAFISIKA
Ayer mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metafisik tidak
mengandung arti ditinjau dari segi bahasa. Dan karenanya sekedar menghasilkan
omong kosong. Yang demikian ini merupakan hal yang penting sekali.
Jelas yang hendak dikerjakan Ayer tentunya menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metafisik
sama sekali tidak mengandung makna. Ini berarti bahwa Ayer harus dapat
menerangkan apakah yang dimaksud dengan istilah “pertanyaan yang bersifat
spesifik”, dan prinsip-prinsip apakah yang ia gunakan untuk menentukan suatu
pernyataan yang mengandung makna atau tidak mangandung makna. [24]
Dengan demikian jelas kiranya bahwa dalam hal ini kita hampir-hampir
memasuki kembali masalah epistemologi dan logika. Hendaknya diingat, yang
hendak dilakukan oleh Ayer ialah menunjukkan bahwa naturalisme, materialisme,
dan sebagainya merupakan pendirian-pendirian yang sesat. Sedangkan ia sendiri
mengatakan, orang bahkan tidak akan dapat mengatakan bahwa pendirian-pendirian
tersebut sesat, karena pelbagai mazhab tadi sesungguhnya sekedar menyatakan hal-hal yang sama sekali tidak mengandung
makna. Jadi tentunya orang sama sekali tidak perlu mengajukan bahan-bahan bukti
untuk menolak pendirian-pendirian di bidang metafisika. Yang penting sekedar
menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh aliran-aliran tadi tidak ada artinya.
Jelaslah, tuduhan kita terhadap para ahli metafisika bulanlah bahwa mereka
berusaha memahami suatu bidang yang tidak menguntungkan, melainkan bahwa mereka
membuat kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar sebuah kalimat dapat mempunyai arti ditinjau dari segi bahasa. [25]
Untuk mengukuhkan tuduhan-tuduhan tersebut, Ayer menampilkan tolok ukur
keadaan-dapat-diverifikasi (criterion of verifiability). Pada dasarnya
tolok ukur tersebut mengatakan bahwa suatu kalimat yang sifatnya sedemikian
rupa sehingga tidak dapat dilakukan verifikasi terhadap proposisi yang hendak
dinyatakannya, merupakan kalimat yang tidak mengandung makna. Selanjutnya
kemungkinan mengadakan verifikasi tersebut dibatasi dengan jalan menyebutkan
pengamatan-pengamatan yang sekiranya dengan memenuhi syarat-syarat tertentu
seseorang dapat menerima kebenaran suatu proposisi, atau menolak proposisi yang
mengandung kesesatan. Jika pengamatan-pengamatan tersebut dilakukan, maka
proposisi yang bersangkutan benar; jika tidak, maka proposisi itu sesat.
Kini perhatikanlah suatu proposisi metafisik seperti yang telah dibicarakan
di depan: “Segenap kenyataan bersifat material.” Pengamatan-pengamatan apakah
yang dapat diakibatkan oleh pernyataan tersebut yang dapat menyebabkan kita
menerimanya sebagai benar atau menolaknya sebagai sesat. Jika segenap kenyataan
diartikan keseluruhan alam semesta sebagai kesatuan, maka agaknya tidak akan
ada pengamatan yang dapat dilakukan dengan jalan pengalaman inderawi sebagai
akibat pernyataan tadi. Di pihak lain, jika yang dimaksudkan ialah, apa saja
dapat dikatakan nyata apabila, misalnya, mempunyai massa, maka pernyataan
tersebut merupakan (1) suatu definisi mengenai bagaimana caranya kita
menggunakan perkataan nyata; atau (2) suatu pernyataan empiris yang dapat
diverifikasi dengan jalan menimbang bobot suatu barang.
Tetapi kini perhatikanlah pernyataan yang lain: “Di balik segenap hal yang
menampak terdapat substansi yang terdalam.” Apakah ada sesuatu pengalaman
inderawi yang dapat mengambil keputusan masalah ini? Jawabannya pasti. “Tidak!”.
Karena (menurut definisi) segenap pengamatan inderawi menyangkut hal-hal yang
menampak belaka, berarti tidak satupun pengamatan inderawi yang dapat melangkah
sampai ke balik hal-hal yang menampak. Akibatnya, segenap pernyataan mengenai
substansi terdalam harus ditinggalkan dan dianggap tidak mengandung makna. [26]
F. KEBERADAAN TUHAN DALAM PENDEKATAN POSITIVISME LOGIS
Secara intelektual, efek pertimbangan moral yang keliru terhadap filsafat
menghalangi kemajuan sampai tingkat yang luar biasa. Menurut Russell[27]
filsafat tidak bisa membuktikan kebenaran ataupun kesalahan dogma-dogma
keagamaan, namun sejak masa Plato kebanyakan filsuf menganggap bahwa
menghasilkan “bukti-bukti” keabadian dan keberadaan Tuhan adalah bagian dari
urusan mereka.
Adanya Tuhan bukanlah obyek dari intuisi yang ketat. Hal ini tak dapat
dipahami selain dengan suatu cara yang tak langsung, lewat suatu putusan.[28]
Dengan mempelajari filsafat ketuhanan dapatlah diketahui sistem dan metode para
filsuf yang jujur yang mempunyai arah yang sama dalam mencari Tuhan. Mereka
kadang-kadang menempuh jalan yang berbeda, tetapi akhirnya sampai ke tempat
tujuan dengan kesimpulan yang sama: Tuhan Ada dan Maha Esa.[29]
Filsafat ketuhanan adalah hikmah (kebijaksanaan) menggunakan akal-pemikiran
dalam menyelediki Ada dan Esa-Nya Tuhan.[30] Kajian
tentang keberadaan Tuhan ini merupakan suatu hal yang niscaya dalam filsafat
ketuhanan. Beberapa tokoh filsuf telah berusaha mengkaji keberadaan Tuhan
melalui berbagai pendekatan. Sebagian filsuf melalui pendekatannya mempercayai
dan bisa membuktikan tentang keberadaan Tuhan, tapi sebagian yang lain melalui
pendekatan yang berbeda justru tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan bahkan
mereka tidak mempercayai adanya Tuhan. Di antara filsuf yang tidak percaya akan
keberadaan Tuhan adalah Alfred Jules Ayer melalui pendekatan positivisme
logisnya.
Tuhan dalam anggapan kaum positivis adalah sesuatu yang metafisik. Dan
segala yang berbau metafisika menurut pandangan positivisme logis adalah tidak
ada karena keberadaannya tidak bisa diverifikasi dan tidak bisa dibuktikan
secara empiris.
Seorang positivis
membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, yang bisa diukur, dan yang bisa
dibuktikan kebenarannya. Karena Tuhan tidak bisa dilihat, diukur dan
dibuktikan, maka Tuhan tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu pernyataan
dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.[31]
Ukuran ini, dalam
efistemologi, disebut dengan teori korespondensi, yaitu suatu pernyataan
dinyatakan benar apabila cocok dengan fakta empiris. Sebaliknya, suatu
pernyataan dianggap salah bila tidak sesuai dengan data empiris, seperti api
tidak membakar.
Positivisme mengatakan
bahwa pada zaman dulu banyak pembicaraan yang tidak ada faedahnya dan tidak
mengandung arti. Contohnya, “Apa maksud Tuhan menciptakan alam?” Pertanyaan ini
merupakan pertanyaan yang kosong dan tidak berarti. Pernyataan yang demikian
bukan saja karena kita tidak dapat mengetahui maksud Tuhan karena kita manusia,
tetapi karena setiap susunan kata yang mengenai ketuhanan tidak mengandung arti
apapun.
G. KRITIK TERHADAP POSITIVISME LOGIS
Dalam
perkembangannya positivisme logis menuai beberapa kritikan. Diantara para
filsuf yang mengkritik aliran positivisme logis ialah Karl R. Popper, Ferdinand
de Saussure, W.V. Quine, dan Jacques Derrida.
Quine mengemukakan teorinya yang disebut indeterminacy
of meaning (teori ketidakbertentuan makna). Teori Quine ini mengemukakan
bahwa makna suatu kata tidak bisa ditentukan oleh pengamatan empiris, karena
tidak ada persetujuan yang sifatnya apriori-universal, melainkan
terbatas spasio-temporal. Misalnya, Democritos dan Albert Einstein
sama-sama menggunakan kata “atom”, namun makna kata “atom” pada Democritos
tidak sama dengan kata “atom” pada Albert Einstein, karena mereka berdua
memiliki konvensi tentang makna atom yang dibatasi oleh spasio-temporal
mereka masing-masing.[32]
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku
berjudul Logik
der Forschung (Logika
Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat
pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang
dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas
Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang
tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan
yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak
bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa,
karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu
akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada zaman itu
tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai
ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat
dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.[33]
Begitu
pula dengan Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistic dari Swiss.
Proyeknya ialah menciptakan ilmu bahasa yang mengkaji bahasa sebagai sesuatu
yang otonom. Ia juga seorang pengkritik positivisme logis. Adanya paham
realisme dalam pernyataan telah dibekukan oleh kaum positivisme logis yang
menganggap bahwa prinsip verifikasi adalah satu-satunya tolok ukur untuk
menentukan kebermaknaan suatu pernyataan tanpa peduli realitas sebenarnya.
Menanggapi hal ini Saussure mengkritik aliran positivisme logis tersebut.
Menurut Saussure, suatu pernyataan harus ada hubungan korespondensi antara
konsep (linguistic) dengan realitas (ektralinguistik). Saussure
juga merevolusi asumsi metafisis realisme (pandangan adanya dunia nyata
di luar yang dapat diketahui oleh benak manusia) dan menggantinya dengan relativisme
linguistic (pandangan bahwa apa yang dapat diketahui adalah system
konsep-konsep yang dihasilkan oleh struktur arbitrer bahasa).[34]
Para pengkritik Positivisme Logis
berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri
tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori
tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu
sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah
dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi
positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal
negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah
dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam
bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna
hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam)
akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan. [35]
Mengenai
hal yang berhubungan dengan metafisika, teologi, etika, dan estetika, kaum
positivisme logis termasuk A.J Ayer menganggap itu semua tidak bermakna. Hal
ini dikarenakan pandangannya yang bersifat empiristik yang mengacu
hanya pada common sense (akal sehat) telah menjadikannya anti terhadap
sesuatu yang bersifat non-sense. Semua itu hanya mitos belaka yang
muncul dari emosi manusia. Hal ini dikarenakan metafisika, etika, teologi dan
estetika tidak bisa diobeservasi untuk diverifikasi lebih lanjut. Oleh karena
itu, menurut Ayer pernyataan yang bersifat abstrak tersebut tidak bermakna, dan
itu semua hanya omong kosong belaka. [36]
Jadi, berkenaan dengan
pandangan positivisme logis Ayer yang mengutamakan adanya verifikasi sebagai
tolok ukur, terdapat beberapa kelemahan pada prinsip verifikasinya:
1.
Terlihat adanya semacam paksaan untuk memberlakukan tolok ukur secara
empiristik, sehingga sesuatu yang dianggap metafisis dikesampingkan bahkan bisa
tidak diakui.
2.
Penerapan prinsip verifikasi ke dalam teknik
analisis bahasa ternyata mengandung banyak kesukaran. Jikalau para penganut
positivisme logis menganggap sesuatu yang bersifat metafisis tidak bermakna
dengan melalui verifikasi sebagai tolok ukurnya, maka para filsuf pun berhak
mencurigai para filsuf positivisme logis dengan menanyakan, apakah prinsip
verifikasi itu sendiri dapat dikategorikan sebagai pernyataan yang bermakna?
Bagaimana cara melakukan verifikasi terhadap prinsip verifikasi itu sendiri?
Hal ini tidak pernah dipikirkan oleh para penganut positivisme logis.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prinsip verifikasi itu sendiri
sesungguhnya bersifat metafisik.
3.
Para teolog menolak penerapan prinsip verifikasi
ke dalam bahasa teolog. Sebab menurut Karl Bath, seorang teolog ternama, bahwa
pernyataan teologis bersifat otonom.
4.
Tolok ukur yang dikenakan prinsip verifikasi terhadap pernyataan-pernyataan
dalam bidang etika dengan alasan pernyataan semacam itu hanya merupakan
ungkapan rasa (ekspresi) semata, pada dasarnya dapat dikembalikan kepada fungsi
bahasa. Fungsi bahasa
tidak semata-mata kognitif, tetapi juga emotif, imperatif, bahkan
seremonial.
H. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas,
dapat disimpulkan hal-hal berikut ini, diantaranya: pertama, sebenarnya
yang menjadi focus pembahasan positivisme logis ialah mengenai kebermaknaan
suatu pernyataan (kalimat), bukan kebenarannya (realitas). Kedua, adalah Alfred
Jules Ayer seorang yang memperkenalkan positivisme di luar Lingkungan Wina
dengan teorinya tentang prinsip verifikasi sebagai tolok ukur sebuah pernyataan
agar suatu pernyataan bisa dikatakan bermakna. Syarat agar pernyataan bisa dibilang bermakna
ialah observation-statement dimana penerapan prinsip verifikasi berperan
sekaligus menentukan kebermaknaan suatu pernyataan. Ketiga, penerapan
prinsip verifikasi ini telah menuai kritik-kritik pedas dari beberapa filsuf,
antara lain: W.V. Quine (seorang neopragmatisme), Ferdinand de Saussure
(strukturalisme), Jacques Derrida (postkulturalisme) dan Karl R.Popper.
Harus diakui bahwa positivisme logis besar
pengaruhnya bagi perkembangan teori pengetahuan
kontemporer, filsafat ilmu dan khususnya filsafat agama. Dengan prinsip verifikasi dan penolakan terhadap
metafisika sebagai tanpa makna, telah membawa kemajuan
pesat di bidang ilmu-ilmu eksakta dan teknologi. Sumbangan positivisme logis bagi studi ilmu-ilmu lainnya (di luar
ilmu-ilmu alam) adalah memberikan parameter, ukuran-ukuran,
sehingga diperoleh makna sejati.
Di luar keberhasilan-keberhasilan positivisme logis
tersebut, kita pun perlu menyadari bahwa
kebermaknaan suatu realitas adalah tidak tunggal. Prinsip verifikasi dan
konfirmasi yang dijadikan
dasar pemaknaan suatu realitas jangan dijadikan dasar bagi pemaknaan realitas yang lainnya. Dengan demikian,
pengakuan pluralitas terhadap cara pemaknaan suatu
realitas menjadi penting untuk dikembangkan dalam kehidupan bersama. Seperti dalam membuktikan keberadaan Tuhan
dibutuhkan pendekatan yang lain karena melalui pendekatan positivisme logis
tidak dapat menemukan keberadaan Tuhan, karena kaum positivis menganggap Tuhan
itu adalah sesuatu yang metafisik dan segala yang bersifat metafisika itu tidak
ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Almatura, Yockie. 2011. Positivisme Logis: Sebuah
Kajian Singkat dalam http://filsafat.kompasiana.com/2011/04/10/positivisme-logis-sebuah-kajian-singkat/, diakses pada 17 Maret 2012.
Ayer, Alfred Jules. 1936. Language, Truth and Logic.
New York: Penguin Books.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Bakhtiar, Amtsal. 2009. Filsafat Agama; Wisata
Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Rajawali Pers.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet.IV. dalam http://af008.wordpress.com /2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret 2012.
Hakim, Atang Abdul & Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat
Umum; Dari Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Huijbers, Theo. 1977. Manusia mencari Allah suatu Filsafat Ketuhanan.
Yogyakarta: Kanisius dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ ketuhanan, diakses pada 13 Maret 2012.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat, Penj.
Sorjono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Cet. IX.
Leahy, Louis SJ. 1993. Filsafat Ketuhanan
Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius.
Lili, Tjahyadi.
S.P. 2007. Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan.
Yogyakarta: Kanisius dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ketuhanan, diakses pada 13 Maret 2012.
Mustansyir,
Rizal. 2001. Filsafat
Analitik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dalam http://af008.wordpress.com/2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret 2012.
Pablo, Bona. 2009. Positivisme Logis Alfred Jules Ayer
dalam http://af008.wordpress.com/2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret 2012.
Praja, Juhaya S. 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan
Etika. Jakarta: Kencana. Cet.III.
Rasyidi, Muhammad. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan
Bintang.
Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat; Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, Penj. Sigit Jatmiko dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. III.
Samsuri. 2002. Bahasa Positivisme Logis dan
Maknanya Bagi Bahasa Agama: Kajian Pemikiran Rudolf Carnap; Makalah
Pascasarjana. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
Wikipedia Bahasa Indonesia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_
logis, diakses pada 13 Maret 2012.
Ya’qub, Hamzah. 1991. Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan
Wahyu. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Yuana, Kumara Ari. 2010. The Greatest Philosophers;
100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis.
Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Zenit, Iman. 2011. Filsafat Ketuhanan dalam http://www.jadilah.com/2011/11/ filsafat-ketuhanan.html, diakses pada 13 Maret 2012.
[1] Tjahyadi.
S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007) dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ketuhanan, diakses pada 13 Maret
2012.
[2] Theo
Huijbers., Manusia mencari Allah suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977) dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ketuhanan, diakses pada 13 Maret
2012.
[3] Iman Zenit, Filsafat Ketuhanan, http://www.jadilah.com/2011/11/filsafat-ketuhanan.html, diakses pada 13 Maret
2012.
[4] Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi:
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1990), h. 22 dalam Samsuri, Bahasa Positivisme Logis dan Maknanya Bagi Bahasa
Agama: Kajian Pemikiran Rudolf Carnap, Makalah Pascasarjana, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 2002), h. 1.
[7] Yockie Almatura, Positivisme Logis: Sebuah Kajian
Singkat, http://filsafat.kompasiana.
com/2011/04/10/positivisme-logis-sebuah-kajian-singkat/, diakses pada 17 Maret
2012.
[8] K.
Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2002), cet.IV, hal.33. dalam http://af008.wordpress.com/2009/01/02/ positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret
2012.
[9] Rizal
Mustansyir, Filsafat
Analitik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.79-80. dalam http://af008.wordpress.com/2009/01/02/ positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret
2012.
[10] K.
Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer ..., h. 39. dalam http://af008.wordpress.com /2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret
2012.
[11] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers; 100 Tokoh
Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis,
(Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), h. 326-327.
[12] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika,
(Jakarta: Kencana, 2008) Cet.iii, h. 133-134.
[13]
Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad
Saebani, Filsafat Umum; Dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h. 318.
[14] Amtsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan
Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 114.
[20] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers; 100 Tokoh
Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis,
(Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), h. 326.
[21] Bona Pablo, Positivisme Logis Alfred Jules Ayer, http://af008.wordpress.com/2009/01 /02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret
2012.
[22] Yockie Almatura, Positivisme Logis: Sebuah Kajian
Singkat, http://filsafat.kompasiana.
com/2011/04/10/positivisme-logis-sebuah-kajian-singkat/, diakses pada 17 Maret
2012.
[25] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Penj.
Sorjono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), cet. IX, h.
225-226.
[27]
Bertrand Russell, Sejarah
Filsafat Barat; Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga
Sekarang, Penj. Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet
iii, h. 1086.
[28] Louis
Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1993),
h. 133.
[29]
Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama...,
h. 15.
[30] Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama;
Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 9.
[32] Bona Pablo, Positivisme Logis Alfred Jules Ayer, http://af008.wordpress.com/2009/01 /02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret
2012.
[33]
Wikipedia Bahasa
Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis, diakses pada 13
Maret 2012.
[34] Bona Pablo, Positivisme Logis Alfred Jules Ayer, http://af008.wordpress.com/2009/01 /02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret
2012.
[35] Bona Pablo, Positivisme Logis Alfred Jules Ayer, http://af008.wordpress.com/2009/01 /02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/, diakses pada 5 Maret
2012.
[36]
Wikipedia Bahasa
Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis, diakses pada 13
Maret 2012.
No comments:
Post a Comment