IJTIHAD PADA MASA TABI’IN
Oleh:
Zulkifli, S.Pd.I*
A.
PENDAHULUAN
Ijtihad berarti pengambilan hukum syara’ dari dalil dan sumber yang
terperinci baik nash, qaidah universal, atau jiwa hukum yang umum. Di samping
menjadi faktor pertumbuhan, pergerakan, perkembangan, dan pembaharuan, ijtihad juga
menghidupkan hukum pada setiap masa. Ia merupakan kebutuhan hidup untuk menjaga
eksistensi hukum Tuhan di setiap tempat, aplikasinya dapat diterima dan tidak
ditolak oleh seorang pun, sesuai untuk menjawab tantangan dari setiap fenomena
di manapun dan kapanpun, pemilik kekuasaan di atas segala peraturan dan
undang-undang, pendapat-pendapat pemikiran dan solusi-solusi logis yang
universal. Oleh karena itu, para fuqaha’ menghukumi bahwa ijtihad itu
adakalanya fardu ain bagi mujtahid dalam tugas yang benar dengan dirinya sendiri,
atau bila telah jelas teori dalam mengambil hukum permasalahan yang
dikhawatirkan luput terhadap jalan hukum yang lain. Dan adakalanya fardu
kifayah terhadap umat atau kelompok, sebagai contoh ideal dalam pandangan
ulama, imam, dan pemimpin mereka.[1]
Ijtihad sudah mulai muncul pada masa Rasulullah yang dikenal dengan istilah
ijtihadur Rasul. Kemudian dilanjutkan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’
tabi’in, imam mazhab yang empat, dan seterusnya.
Adapun Tabi'in merupakan masa peralihan
dari masa sahabat Nabi dan masa tabi’ tabi’in.
Di satu pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa
sahabat Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan
munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan
penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang lebih mengarah pada
spesialisasi.
Yang disebut
Tabi'in ialah kaum muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim di tangan para
Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in
itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa Tabi' al-Tabi'in, yakni kaum Muslim generasi ketiga, dianggap sebagai masa-masa
paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan
suasana yang disebut salaf (Klasik).
B.
PENGERTIAN
IJTIHAD TABI’IN
Ijtihad tabi’in merupakan sebuah frase yang terdiri dari dua kata yaitu
kata “ijtihad” dan kata “tabi’in”. Sehingga dalam pembahasan ini, akan
dipaparkan terlebih dahulu tentang pengertian dari kedua kata (ijtihad dan
tabi’in) tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya lebih mempermudah pemahaman
tentang ijtihad tabi’in itu sendiri.
Kata “ijtihad” adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu الاجتهاد , yang merupakan bentuk masdar
dari اجتهد yang artinya kerajinan/ketekunan.[2] Akar kata اجتهد itu sendiri adalah جهد yang terdiri dari tiga huruf (ج هـ د). Dalam Lisan Al-Arab
disebutkan bahwa kata جهد berasal dari جهد - جَهدا yang berarti المشقة (kesulitan) atau جهد – جُهدا yang berarti
الطاقة (daya kemampuan).[3] Sehingga bisa dikatakan, ijtihad secara bahasa berarti
mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu atau melakukan sesuatu,
atau berarti pula bersungguh-sungguh. Adapun menurut istilah yang dimaksud
dengan ijtihad adalah sebagai berikut[4]:
بـذ ل الـفـقـيه وســعـه فى
اســتـنـباط الا حـكام الـعـمـلـيـة من أدلـتهـاالـتـفـصـيـليـة
“Pengerahan
kemampuan seorang faqih dalam menggali hukum-hukum yang bersifat amali dari
dalil-dalinya secara rinci.”
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa Ijtihad menurut para ahli Ushul ialah[5]:
بذل الجهد للوصول إلى
الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من الأدلة الشرعية
“Mengerahkan segala daya untuk menghasilkan
hukum syara’ dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara’.”
Secara singkat, ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai
tujuan yang dimaksud, yaitu mengetahui hukum.[6] Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari’at.
Banyak dalil yang menunjukkan anjuran untuk melaksanakannya, baik secara
ekplisit maupun implisit.[7] Di antara
dalil – dalil tersebut adalah firman Allah:
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”[8]
¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Dari as-Sunnah
kita temukan banyak hadits yang memberikan justifikasi tentang keharusan
ijtihad. Di antaranya adalah hadits yang dijadikan istidlal oleh imam Syafi’i dari ‘Amr bin
al-‘Ash, ia mendengar Rasulullah bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله
أجران وإذا حكم فاجتهد فأخطأ فله أجر (رواه البخاري ومسلم)
“Jika seorang hakim menghukumi
dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala, jika ia menghukumi
dangan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala”.[10]
Dan juga hadits Mu’az bin Jabal, tatkala mendapatkan pembekalan dari
Rasulullah SAW sebelum diutus sebagai qadhi ke daerah Yaman. Ketika Rasulullah
menanyakan, apa yang dijadikannya dasar pengambilan keputusan, Mu’adz menjawab,
Al-Qur’an, kemudian sunnah Rasul-Nya, dan ijtihad sebagai jalan terakhir, bila
tidak ditemukannya penjelasan dalam dua sumber syari’at tadi.[11]
Adapun Tabi’in merupakan generasi penerus dari para sahabat. Meraka
merupakan murid-murid dari para sahabat Rasul SAW. Mereka dinamai dengan nama
“Tabi’in” itu merupakan penamaan langsung dari al-Qur’an kepada mereka.[12]
Sebagaimana firman Allah SWT:
cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ Ìôfs? $ygtFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ
“Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”[13]
Berdasarkan ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa penamaan “tabi’in”
itu merupakan penyebutan langsung dari Allah SWT kepada mereka. Itu merupakan
nama yang paling mulia bagi mereka dan tidak ada yang lebih mulia dari itu.
Masa tabi’in adalah suatu masa setelah masa sahabat dan merupakan
kelanjutan dari masa sahabat tersebut. Mereka sebenarnya telah lahir pada masa
sahabat Rasulullah SAW. Para tabi’in telah mewarisi riwayat, hukum, fatwa,
ijtihad, dan metode istinbat dari para sahabat. Mereka telah memahami illat-illat
maqashidiyah dan maslahiyah mereka dan sebagainya. Hal itu dapat
membantu mereka untuk mengikuti jejak para sahabat dan memudahkan mereka untuk
menjelaskan beraneka ragam hukum yang berbeda-beda.
Para tabi’in telah mendapatkan kekayaan riwayat dan ijtihad dari para
sahabat, sehingga mereka mempunyai dua tugas penting, yaitu[14]:
1. Menggabungkan dua
kekayaan itu. Para tabi’in harus mengumpulkan riwayat-riwayat dari
hadits-hadits Rasul SAW, lalu mengumpulkan perkataan-perkataan para sahabat dan
ijtihad-ijtihad mereka. Ini tergolong mudah karena setiap tabi’in itu merupakan
murid dari para sahabat atau kebanyakan orang itu biasanya mentransfer ilmunya
kepada generasi setelahnya. Di antara para sahabat itu ada yang mempunyai
beberapa murid, seperti Abdullah bin Umar yang juga telah mengeluarkan beberapa
murid, diantaranya Sa’id bin Musayyab, Nafi’ yang merupakan keluarganya, dan
Salim anaknya sendiri, dan seterusnya. Setiap sahabat itu ada orang yang khusus
mempelajari ilmu mereka dan kebanyakan murid-murid mereka itu adalah dari anak
keturunnya mereka sendiri, bukan dari orang-orang Arab. Para tabi’in itulah
yang menjadi murid-murid dan menempati posisi para sahabat dalam perjumpaan
dengan Rasul SAW. Mereka menjadikan perkataan-perkataan sahabat itu sebagai
hujjah.
2. Mereka harus berijtihad
terhadap suatu perkara yang belum diketahui penjelasannya dari para sahabat,
tidak terdapat suatu nash pun dari Al-Qur’an dan sunnah yang membahas perkara
itu. Maka mereka punya hak untuk berijtihad setelah mempertimbangkan
hadits-hadits dan fatwa-fatwa, serta mereka tidak boleh keluar dari manhaj
sahabat yang telah menggambarkannya kepada mereka dan kepada orang-orang yang datang
setelah mereka.
Pada poin yang kedua dari tugas tabi’in di atas disebutkan dengan jelas
bahwa para tabi’in itu harus berijtihad terhadap suatu perkara yang belum
diketahui penjelasannya dari para sahabat dan tidak terdapat juga suatu nash
pun dari al-Qur’an dan hadits yang membahas perkara itu. Namun, sebelum
membahas lebih lanjut tentang ijtihad-ijtihad yang pernah dilakukan oleh para
tabi’in, merupakan suatu keniscayaan untuk dijelaskan terlebih dahulu tentang
definisi ijtihad tabi’in itu sendiri.
Sejauh referensi yang pernah penulis baca, penulis belum menemukan
pengertian ijtihad tabi’in itu sendiri. Namun, berdasarkan pengertian tentang
ijtihad dan tabi’in yang telah dijelaskan di atas, penulis memberikan sebuah definisi
bahwa ijtihad tabi’in adalah pengerahan segala daya dan kemampuan yang
dilakukan oleh tabi’in untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalilnya yang rinci
di antara dalil syara’.
Menurut ahli seorang anggota Majma' Al-Buhust Al-Islamiyah
Universitas Al-Azhar, ijtihad yang terjadi pada masa tabi'in adalah ijtihad
mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan seorang mujtahid terlebih
dahulu dan yang secara langsung diarahkan untuk membahas, meneliti, dan
memahami yang benar.[15]
Di antara tabi’in yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15H – 94H) di
Madinah, Atha bin Abi Rabah (27H – 114H) di Mekah, Ibrahim An-Nakha’i (w. 76H)
di Kufah, Al-Hasan Al-Basri (21H/642 M – 110H/728 M) di Basrah, Makhul di Syam
(Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka kemudian menjadi guru-guru terkenal di
daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat.[16]
Para tabi’in ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi penerusnya yaitu
para tabi’ tabi’in. Para tabi’ tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan
dari para tabi’in sebagaimana halnya yang mereka terima dari para sahabat,
yaitu mengenai al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqih, dan rahasia-rahasia
tasyri’ (hukum Islam) serta metodenya. Kemudian selanjutnya pada generasi tabi’
tabi’in sebagai tempat belajar dan menerima informasi oleh generasi imam-imam
mujtahid yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal) dan
tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang hidup sezaman dengan mereka.[17]
Ketika tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir
periodenya, maka kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan
generasi mereka yaitu para tabi’in. Kemudian setelah periode tabi’in juga
berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan
dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu tabi’ tabi’in. Selanjutnya,
sesudah masa tabi’ tabi’in ini juga berakhir, maka para imam mujtahid yang
empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam
mengembangkan hukum Islam.
Adapun guru besar tasyri’ yang populer dari kalangan tabi’in antara lain:
1. Di Madinah[18]
a. Said bin Musayyab
al-Makhzumi (94 H/ 713 M)
b. Urwah bin Zubair bin Awwam
al-Asadi (94 H/ 713 M)
c. Abu Bakar bin Abd
al-Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumi (94 H/ 713 M)
d. Kharijah bin Zaid bin
Tsabit (94 H/ 713 M)
e. Ubaidullah bin Abdullah
bin Utbah bin Mas’ud (99 H/ 718 M)
f. Sulaiman bin Yasar Maula
Ummul Mu’minin Maimunah (104 H/ 723 M)
g. Al-Qasim bin Muhammad bin
Abu Bakar (106 H/ 725 M)
Mereka inilah
yang dikenal dengan tujuh fuqaha’ Madinah.
h. Ali bin Husain bin Ali
bin Abi Tholib al-Hasyimi (98 H/ 717 M)
i.
Salim bin Abdullah bin Umar (106 H/ 725 M)
j.
Nafi’ Maula Abdullah bin Umar (117 H/ 736 M)
2. Di Mekkah[19]
a. Ikrimah Maula Ibnu Abbas
(107 H/ 726 M)
b. Mujahid bin Jabir Maula
Bani Mahzum (103 H/ 722 M)
c. Atha’ bin Abi Rabah Maula
Quraisy (114 H/ 733 M)
d. Thaus bin Kausan (106 H/
725 M)
3. Di Kufah[20]
a. Al-Qamah bin Qais
al-Nakha’iy (62 H/ 681 M)
b. Syuraih bin Harits
al-Kindi (78 H/ 697 M)
c. Masruq bin Ajda’
al-Hamdani (63 H/ 682 M)
d. Ubaidah bin Amr
al-Silmani al-Muradi (92 H/ 711 M)
e. Al-Aswad bin Yazid
al-Nakha’iy (95 H/ 714 M)
f. Said bin Jubair Maula
Walibah (95 H/ 714 M)
g. Amir bin Syarahil
al-Sya’biy (104 H/ 723 M)
4. Di Mesir[21]
a. Yazid bin Abu Habib Maula
al-Azadi mufti Mesir (128 H/ 746 M)
b. Abu al-Khair Martsad bin
Abdullah al-Yaziniy mufti Mesir (90 H/ 709 M)
5. Di Basrah[22]
a. Al-Hasan al-Basri kepala
tabi’in yang besar (111 H/ 730 M)
b. Muhammad bin Sirrin Maula
Anas bin Malik (110 H/ 729 M)
c. Qatadah bin Di’amah
al-Dausiy (118 H/ 737 M)
d. Abu ‘Aliyah Rafi’ bin
Mahran al-Rayani (90 H/ 709 M)
e. Hasan bin Hasan Yasar
Maula Zaid bin Tsabit (110 H/ 729 M)
f. Abu Sya’tsa bin Zaid
teman Ibnu Abbas (93 H/ 712 M)
g. Muslim bin Yasar (108 H/
727 M)
h. Aiyub al-Shakhtiyani (131
H/ 749 M)
6. Di Syam/ Syiria[23]
a. Abd al-Rahman bin Gunmin
al-Asy’ariy (78 H)
b. Abu Idris al-Khulani
‘Aidzullah bin Abdullah (80 H)
c. Qabishah bin Dzu’aib (86
H)
d. Makhul bin Abu Muslim
(113 H)
e. Raja’ bin Hayah al-Kindi
(113 H)
f. Umar bin Abd al-Aziz bin
Marwah (101 H)
C. WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
Antara Islam
sebagai agama dan hukum terdapat
kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal di
Madinah nabi SAW. Yang melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan
yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh pada periode yang pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tak semuanya langsung bersifat kehukuman atau
legalistik sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika maka sejak nabi
di Makkah mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain
mendasari konsep-konsep sebagai berikut[24]:
1. Tentang harta
yang halal dan yang haram
2. Keharusan
menghormati hak milih sah orang lain
3. Mengurus harta
anak yatim secara benar
4. Perlindungan
terhadap kaum wanita dan janda
Pada masa para
sahabat yang kemudian disusul masa tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan
nabi itu berhasil digunakan atau diamalkan, menopang ditegakkannya kekuasaan
politik imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amodaria, dan
kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Liberia
sampai lembah sungai indus.
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa letak
kekuasaan Islam sifatnya yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman dan
peralihan tempat (صالح لكل الزمان والمكان).
Penetapan
hukum (al-Tasyri') Islam
merupakan salah satu dari berbagai segi
yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang memberi gambaran segi
ilmiah dari tugas suci tersebut. Penetapan hukum keagamaan murni seperti hukum
ibadah tak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Baik dari kitab ataupun sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang keluar dari
lingkaran tugas penyampaian (tabligh) dan penjelasan (tabyin)
tidaklah nabi berbicara atas kemauan sendiri, tidak lain itu adalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya seperti firman Allah:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[25]
Selanjutnya, ijtihad pada masa Tabi’in, dimana masa ini adalah masa sesudah
sahabat. Pada masa Tabi’in ini daerah kekuasaan Islam sudah semakin luas dan
kehidupan masyarakat dan umat Islam sudah semakin maju dan kompleks. Penganut
Islam bukan saja orang-orang Arab tetapi sudah berbaur dengan orang-orang atau
bangsa non Arab yang berbeda-beda bahasanya. Perkembangan ini menyebabkan
pengetahuan umat Islam akan sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah yang
berbahasa arab tidak sesempurna orang sebelumnya. Di samping itu permasalahan
kehidupan yang memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang menuntut
pelaksanaan ijtihad.[26]
Pada masa tabi’in ini, sekalipun mereka mengikuti cara yang sudah dirintis
oleh para sahabat, namun terdapat perbedaan-perbedaan itu terlihat dari pada ijtihad
yang mereka tempuh. Pada masa Tabi’in ini sudah
ada garisan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad, Tabi’in berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
sebagai rujukan utama. Selanjutnya menggunakan Ijma’ sahabat. Bila tidak
ditemukan dalam ijma’, mereka menggunakan pendapat-pendapat pribadi
hasil ijtihad sahabat yang mereka anggap kuat dalilnya. Di samping itu mereka
menggunakan ra’yu -- sebagaimana halnya yang dilakukan oleh para sahabat
sebelumnya. Dengan demikian pada masa tabi’in ini telah terlihat
langkah-langkah atau cara-cara yang ditempuh sebagai landasan ijtihad. Yang
tidak kalah pentingnya, seperti dijelaskan oleh Amir Syarifuddin[27],
bahwa para tabi’in juga menggunakan kemaslahatan umum sebagai landasan
dan rujukan berijtihad bila tidak mungkin menempuh cara-cara yang tidak
digariskan sebelumnya.
Pada masa Tabi’in ini corak dan karakter ijtihad yang berkembang
mengarah kepada dua bentuk yaitu:
1.
Kalangan yang lebih
banyak menggunakan hadits atau sunnah dibanding dengan penggunaan ra’yu.
Cara ijtihad seperti ini berkembang di kalangan tabi’in dan ulama
Madinah, dengan tokoh senteralnya ialah Said Ibnu al-Musayyab. Dari sinilah
kemudian berkembang menjadi Madrasah Madinah.
2.
Kalangan yang banyak
menggunakan ra’yu dibandingkan dengan penggunaan as-sunah. Cara ijtihad
seperti ini berkembang di kalangan ulama Kufah dan Irak dengan tokoh
senteralnya adalah Ibrahim An-Nakha’i. Dari sinilah lahir sekolah dikenal
dengan Madrasah Kufah.
Kegiatan dan gerakan ijtihad pada masa tabi’in ini ditandai dengan dua hal
yaitu ; Pertama, dilihat dari segi persoalan yang dihadapi, maka
obyek ijtihad terkait dengan pemahaman terhadap nash itu sendiri dan memberikan
jawaban kepada persoalan-persoalan baru yang muncul ketika itu. Kedua
dilihat dari segi karakteristik atau bentuk ijtihad ketika ini terdapat dua
arah yang pada gilirannya menjadi dua bentuk yang berbeda, yaitu ijtihad yang
lebih banyak menggunakan hadits yang selanjutnya melahirkan Ahlu al-Hadits
dan ijtihad yang lebih banyak menggunakan ra’yu yang kemudian melahirkan
golongan ahlu al-ra’yi.
Masa Tabi’in ini dikenal dengan masa perantara antara masa sahabat dengan
masa munculnya imam-imam mujtahid atau ulama, karena metoda ijtihad yang
dilakukan sahabat diperdalam dan dipolakan dalam masa Tabi’in ini. Hasil yang
telah dicapai pada masa tabi’in inilah yang dikembangkan secara sistematis oleh
para imam mujtahid kemudian.
D.
METODE IJTIHAD TABI’IN
Metode ijtihad yang digunakan oleh tabi’in adalah sama dengan metode
ijtihadnya sahabat, yaitu berpedoman kepada sumber-sumber utama fiqih yang empat,
yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Maka jika seorang faqih itu ditanya
tentang hukum suatu masalah, pertama-tama ia meneliti di dalam nash-nash
Al-Qur’an, bila ditemukan di sana suatu nash yang jelas, maka ia menggunakan
nash itu dan menghukumi masalah atau kejadian itu sesuai tuntutan nash
tersebut. Jika tidak ditemukan dalam nash itu, ia meneliti di dalam sunnah Nabi
SAW, bila ditemukan di dalamnya suatu kebaikan, sunnah amaliyah, atau sunnah
taqririyah, ia mengambil dengannya. Kemudian ia melihat dalam ijma’ ulama’,
setelah itu qiyas. Lalu ia menyimpulkan suatu illat sesuai dengan tuntutan
ijtihadnya dari cara mengambil illat (metode istinbathnya).[28]
Imam Syafi’i berkata: Allah tidak menjadikan untuk seorang pun setelah
Rasulullah SAW untuk berkata kecuali dari segi ilmu yang telah ada sebelumnya
dan dari segi ilmu setelahnya, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, atsar dan
apa-apa yang disifatkan dari qiyas.[29]
Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga
muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah
tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka
sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari beberapa metode yang dikembangkan para sahabat ini, muncullah dalam
fiqih Islam Madrasah al-Hadits (Madrasah = aliran) dan Madrasah al-Ra’yu.
Madrasah al-Hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan
Madrasah al-Madinah. Sedangkan Madrasah al-Ra’yu dikenal dengan sebutan
Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.[30]
Ini merupakan rukun-rukun ijtihad, yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan
qiyas.[31]
Imam Syafi’i meringkas rukun-rukun ijtihad itu, akan tetapi, selain imam
Syafi’i malah menambah dengan mengamalkan pendapat yang selaras dengan jiwa
hukum Islam. Para tabi’in berpegang kepada metode yang kedua ini.
Seorang tabi’i, apabila dalam ijtihadnya tidak menemukan suatu hukum
terhadap suatu kejadian di dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’, ia melihat
dan memilih dari perkataan-perkataan Sahabat. Ia mengikuti dalil dan pemikiran
sahabat, dan ia merasakan kepuasan tersendiri, bukan sekedar taqlid atau
mengikuti saja.
Tidak ada seorangpun dari tabi’in itu yang menyalahi perkataan sahabat.
Jikalau tidak di dalam perkataan sahabat suatu pendapatpun sebagaimana tidak
didapatkannya di dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’, maka tabi’in itu
berijtihad dan menyimpulkan hukum Allah dengan apa yang telah ia ijtihadkan.
Mereka menggunakan qiyas, istishlah (berbuat berdasarkan maslahah mursalah),
‘urf, atau seumpamanya. Oleh sebab itu, dijelaskan bahwa metode tabi’in dalam
berijtihad didasarkan pada tiga pondasi berikut ini[32]:
1. Mengikuti Al-Qur’an dan
As-Sunnah
2. Mengikuti para sahabat
3. Menyesuaikan dengan
keadaan pada masa itu
E.
KARAKTERISTIK IJTIHAD TABI’IN
Karakteristik yang terpenting dari ijtihad tabi’in itu adalah sebagai
berikut:
1.
Keaslian dan tidak ada taqlid
Para tabi’in baik yang ada
di Madinah, Kufah, Basrah, ataupun yang lainnya, mereka semua berijtihad dalam
menyimpulkan hukum syar’i dari dalil-dalil dan sumber-sumber yang asli dari
Al-Qur’an, Sunnah, dan yang lainnya. Dengan teori sendiri secara mandiri tidak
ada seorang pun yang taqlid dalam ijtihad mereka dari para sahabat dalam
perkara yang ditemukan dari pendapat-pendapat individual. Karena bagi seorang
mujtahid itu tidak boleh taqlid kepada mujtahid yang lain. Para sahabat
menetapkan ijtihad-ijtihad mereka kepada tabi’in. Dan terkadang tabi’in
memiliki pendapat yang berbeda dari mazhab sahabat. Contohnya: Masruq menyalahi
Ibnu Abbas dalam hal tebusan dengan menyembelih anaknya. Masruq mewajibkan satu
ekor kambing saja, sedangkan Ibnu Abbas mewajibkan seratus ekor unta. Masruq
berkata: tidaklah anak itu lebih mulia dari pada Ismail AS. Maka Ibnu Abbas
menerima perkataan Masruq[33].
2.
Memahami nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan luas dan tidak statis terhadap
makna tekstual nash itu
Tabi’in tidak menempuh
ijtihad dengan ra’yu (akal) seperti yang dilakukan oleh sahabat, kecuali jika
mereka tidak menemukan nash terkait dengan hukum kejadian itu di dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Biasanya mereka lebih memilih tidak berfatwa dengan akal
dalam banyak keadaan. Dan bila berijtihad, mereka tidak bersifat statis
terhadap zhahir nash, atau berpegang dengan makna tekstual nash. Mereka
berhenti dengan memilih nash-nash yang sesuai dengan tuntutan hikmah dan akal
itu bisa memperluas kedalaman pikiran. Mereka mengetahui bahwa hukum-hukum
syara’ tidak terbatas terhadap sesuatu yang ditunjukkan oleh nash secara
tekstual. Sesungguhnya mereka mengambil hukum juga dari makna-makna dan
illat-illat yang dibangun atasnya. Dalam konteks maqashid, yaitu: pentasyri’an
yang diinginkan oleh pembuat hukum untuk menetapkannya. Esensi dari maqashid
ini ialah: menjaga terhadap ushul al-Khamsah yang bersifat
universal dan urgen, yaitu memelihara agama, jiwa, hati, dan mu’amalah dibangun
untuk menjaga maslahah dan menolak kerusakan. Maka setiap sesuatu yang punya kebaikan
atau manfaat, maka ia termasuk masyru’ matlub (syari’at yang
dikehendaki), dan setiap sesuatu yang terdapat di dalamnya kemudaratan atau
kerusakan, maka itu namanya larangan yang tercegah. Dan di mana saja ditemukan
maslahah kemudian syari’at Allah dan agamanya[34].
3.
Mengamalkan maslahah mursalah
Maslahah mursalah menurut
istilah ulama ushul adalah kemaslahatan yang oleh syari’ tidak dibuatkan hukum
untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau
tidaknya kemaslahatan itu. Ia disebut mutlak (umum) karena tidak dibatasi oleh
bukti dianggap atau bukti disia-siakan.[35]
Seperti: fatwa fuqaha tabi’in tentang garansi dari pekerja atau buruh.
Sesungguhnya asal dalam penyifatan pekerja atau buruh yang sudah dianggap
sebagai orang yang amanah, ia tidak akan memberikan garansi kecuali bila
kerusakan itu disengaja atau karena lalai. Sebagaimana juga dengan sabda Nabi :
“Tidak ada garansi bagi orang yang sudah diberikan amanah.”[36]
Akan tetapi, para buruh itu meremehkan dalam memelihara dan menjaga harta orang
lain. Berdasarkan kepada urgennya
garansi terhadap sesuatu yang rusak karena tangan mereka sendiri, dengan tujuan
memelihara bagi kemaslahatan, menjaga harta kekayaan, dan memberikan tanggung
jawab kepada buruh itu supaya bersungguh-sungguh dalam menjaga dan memelihara
harta tersebut, maka tidaklah memberikan kemaslahatan bagi manusia kecuali
dengan dengan hal itu, sehingga garansi dari pekerja itu merupakan kemaslahatan
yang masuk dalam jenis sesuatu yang dianggap umum oleh syari’. Faidahnya adalah
mengutamakan kemaslahatan umum di atas kemaslahatan khusus dalam setiap
kejadian yang tidak ada nashnya secara jelas.[37]
4.
Pembaharuan dan perkembangan
Sumber fatwa pada masa
tabi’in itu mengalami masa perubahan dan pergantian seiring dengan bergantinya
adat istiadat masyarakat dan keadaan zaman. Di antara fatwa tabi’in yang baru
adalah tidak menerima persaksian dari kalangan kerabat.[38]
5.
Menolak kerusakan dan kemudharatan
Yang perlu diketahui
bahwa mencegah kerusakan itu lebih diutamakan dari pada membawa kemaslahatan.
Memberikan keamanan dari mudharat dan kerusakan. Contohnya adalah fatwa Urwah
bin Zaid seorang fuqaha’ Madinah, yaitu bahwa tidak diterima taubatnya seorang
penyamun sebelum dia dihadapkan kepada sultan pemegang kekuasaan.[39]
6.
Merubah hukum sesuai dengan perubahan zaman
Pendapat tabi’in seperti
pendapat para sahabat yang mengatakan bahwa hukum itu berubah seiring perubahan
adat istiadat, tempat, dan waktu. Contohnya: wanita dilarang untuk ke masjid
pada zaman tabi’in, berbeda pada zaman sahabat yang membolehkan wanita ke
masjid. Karena keadaan pada masa sahabat itu mereka masih wara’, tapi pada
zaman tabi’in, seiring dengan berkembangnya wilayah islam dan orang fasiq juga
bertambah banyak. Mereka terang-terangan tidak mengamalkan perintah untuk
menundukkan pandangan.[40]
7.
Mengambil dasar kebolehan (mubah) ketika tidak ada nash
Segala sesuatu yang tidak
memiliki nash itu adalah boleh. Qaidah ushuliyah ini diterima dan diamalkan
oleh sahabat, kemudian diambil dan diamalkan oleh tabi’in sebagai qaidah untuk
memudahkan umat Islam dan menjauhkannya dari pemikiran yang keras dan sempit.
Contohnya: dibolehkannya mendengar music jika tidak bercampur antara perempuan
dan laki-laki.[41]
8.
Pendapat-pendapat yang berani.
Sebagian dari mujtahid
tabi’in berani untuk memaparkan fatwanya. Ini dapat kita lihat dari fatwa yang
dikeluarkan oleh Urwah bin Zaid, yaitu mengenai tidak diterimanya taubat
seorang penyamun sebelum ia dihakimi oleh sultan.[42]
F.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan
bahwa ijtihad yang terjadi pada masa para tabi'in adalah ijtihad yang bersifat
mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa adanya ikatan pendapat seorang
mujtahid terlebih dahulu. Adapun metode yang digunakan oleh tabi’in sama dengan metode yang digunakan
oleh sahabat, yaitu berpedoman kepada sumber-sumber fiqih yang utama yaitu: Al-Qur’an,
sunnah, ijma’ dan qiyas. Letak bedanya adalah tabi’in itu selain mengikuti
al-Qur’an dan Sunnah, mereka juga mengikuti perkataan sahabat. Adapun
karakteristik ijtihad tabi’in adalah di samping mengikuti ijtihad sahabat mereka
juga memperbaharui ijtihad itu. Di satu sisi mereka adalah pengikut para
sahabat dan di sisi lain mereka sebagai mujaddid (pembaharu). Ijtihad tabi’in itu
bersifat elastis, efektif, dinamis, dan responsif terhadap tuntutan hidup
modern. Karakteristik ijtihad tabi’in yang lain adalah mereka berpedoman
terhadap tafsir nash yang luas, menjelaskan hukum-hukum syari’ah, tidak
bersifat statis terhadap makna tekstual al-Qur’an. Mereka memulai perubahan
hukum yang bukan termasuk hukum dasar atau hukum asli sesuai dengan perubahan
zaman dan ilmu pengetahuan, dan memperbaharui kemaslahatan dengan tetap
memelihara dan mensucikan hukum-hukum selama mempunyai dasar dan qaidah
kulliyah (universal).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 1965. Ushul al-Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr
al-Arabi.
, tt. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Mesir: Daar al-Firk al-Arabi.
,juz ii.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Forum Karya Ilmiah. 2004.
Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: PP. Lirboyo.
Ibnu Manzur. tt. Lisan
Al-Arab. Beirut: Daar al-Shaadir. Juz iii.
Khallaf, Abdul Wahab. 2002.
Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Terj. Wajdi Sayadi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
, 2010. Ilmu Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah.
al-Mahalli, Jalaluddin. tt. Syarah
al-Waraqat. Surabaya:
Al-Hidayah.
Munawwir, Ahmad Warson.
1997. Kamus al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka
Progresif.
Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah
Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Syahrastani, Abu al-Fath
Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad. 2005. Al-Milal wa An-Nihal.
Bairut: Daar al-Fikr.
Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. cet. ii,
Zuhaili, Wahbah. 2000. Ijtihad
al-Tabi’in. Damsik: Daar al-Maktabi.
* Makalah
ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam yang diampu oleh Dr. H.
Abu Yazid, LLM pada Program
S2 Kader Ulama Konsentrasi Aqidah dan Filsafat Hukum Islam Institut Agama Islam
Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.
[1]
Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in
(Damsik: Daar al-Maktabi, 2000), h. 7.
[2]
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al Munawwir
Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet.xiv,
h. 217.
[3]
Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, juz III
(Beirut: Daar al-Shaadir, tt), h. 133.
[5]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
(Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), h. 173.
[6]
Jalaluddin al-Mahalli, Syarah
al-Waraqat (Surabaya: Al-Hidayah, tt), h. 23.
[7]
Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis
Fiqih Islam (Kediri: PP. Lirboyo,
2004), h. 316.
[8]
QS. An-Nisaa’ (3): 105.
[9]
QS. Ar-Ruum (30): 21.
[10]
HR. Bukhari dan Muslim.
[11]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,
h. 173.
[12]
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib
al-Islamiyah, Juz ii (Mesir: Daar al-Firk al-Arabi, tt), h. 28.
[13]
QS. At-Taubah (9): 100.
[14]
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib
al-Islamiyah, h. 29.
[15] Kak Farih, Ijtihad pada Masa Tabi’in,
diakses 16 Nopember 2011 dari http://kak-farih. blogspot.com/2011/09/ijtihad-pada-masa-tabiin.html.
[16]
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), h. 84.
[17]
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan
dan Perkembangan Hukum Islam, terj. Wajdi Sayadi (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 74-75.
[18]
Ibid, h. 76.
[19]
Ibid, h. 77.
[20]
Ibid, h. 78.
[21]
Ibid, h. 78-79.
[22] Ibid, h. 79.
[23] Ibid, h. 80.
[24] Kak Farih, Ijtihad pada Masa Tabi’in,
diakses 16 Nopember 2011 dari http://kak-farih. blogspot.com/2011/09/ijtihad-pada-masa-tabiin.html.
[25]
QS. An-Najm (53): 3-4.
[26]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh.
Jilid II, (Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. ii, h. 245.
[27]
Ibid.
[28]
Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, h. 235
dalam Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in, h. 13.
[29]
Imam Syafi’i, al-Risalah, h. 508
dalam wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in, h. 13.
[30]
Dedi supriyadi, Sejarah Hukum Islam,
h. 84.
[31]
Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin
Abi Bakr Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal (Bairut- Libanon:
Daar al-Fikr, 2005), Juz II, h. 198.
[32]
Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in,
h. 14.
[33]
Ibid, h. 23.
[35]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,
h. 63.
[36]
HR. Baihaqi dari Abdullah bin Umar,
[37]
Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in,
h. 27.
[38]
Ibid, h. 27-28.
[39]
Ibid, h. 29.
[40]
Ibid, h. 30-31.
[41]
Ibid, h. 31.
[42]
Ibid, h. 33.
No comments:
Post a Comment