Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: IJTIHAD TABI'IN

2012/05/13

IJTIHAD TABI'IN


IJTIHAD PADA MASA TABI’IN
Oleh: Zulkifli, S.Pd.I*

A.    PENDAHULUAN
Ijtihad berarti pengambilan hukum syara’ dari dalil dan sumber yang terperinci baik nash, qaidah universal, atau jiwa hukum yang umum. Di samping menjadi faktor pertumbuhan, pergerakan, perkembangan, dan pembaharuan, ijtihad juga menghidupkan hukum pada setiap masa. Ia merupakan kebutuhan hidup untuk menjaga eksistensi hukum Tuhan di setiap tempat, aplikasinya dapat diterima dan tidak ditolak oleh seorang pun, sesuai untuk menjawab tantangan dari setiap fenomena di manapun dan kapanpun, pemilik kekuasaan di atas segala peraturan dan undang-undang, pendapat-pendapat pemikiran dan solusi-solusi logis yang universal. Oleh karena itu, para fuqaha’ menghukumi bahwa ijtihad itu adakalanya fardu ain bagi mujtahid dalam tugas yang benar dengan dirinya sendiri, atau bila telah jelas teori dalam mengambil hukum permasalahan yang dikhawatirkan luput terhadap jalan hukum yang lain. Dan adakalanya fardu kifayah terhadap umat atau kelompok, sebagai contoh ideal dalam pandangan ulama, imam, dan pemimpin mereka.[1]
Ijtihad sudah mulai muncul pada masa Rasulullah yang dikenal dengan istilah ijtihadur Rasul. Kemudian dilanjutkan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, imam mazhab yang empat, dan seterusnya.
Adapun Tabi'in merupakan masa peralihan dari masa sahabat Nabi dan masa tabi’ tabi’in.  Di  satu  pihak masa itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang lebih mengarah pada spesialisasi.
Yang disebut Tabi'in ialah kaum muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim di tangan para Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan masa Tabi' al-Tabi'in, yakni kaum Muslim generasi ketiga, dianggap sebagai masa-masa paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan suasana yang disebut salaf (Klasik). 

B.     PENGERTIAN IJTIHAD TABI’IN
Ijtihad tabi’in merupakan sebuah frase yang terdiri dari dua kata yaitu kata “ijtihad” dan kata “tabi’in”. Sehingga dalam pembahasan ini, akan dipaparkan terlebih dahulu tentang pengertian dari kedua kata (ijtihad dan tabi’in) tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya lebih mempermudah pemahaman tentang ijtihad tabi’in itu sendiri.
Kata “ijtihad” adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu الاجتهاد , yang merupakan bentuk masdar dari اجتهد yang artinya kerajinan/ketekunan.[2] Akar kata اجتهد itu sendiri adalah جهد yang terdiri dari tiga huruf (ج هـ د). Dalam Lisan Al-Arab disebutkan bahwa kata جهد berasal dari جهد - جَهدا yang berarti  المشقة (kesulitan) atau جهد – جُهدا  yang berarti  الطاقة (daya kemampuan).[3] Sehingga bisa dikatakan, ijtihad secara bahasa berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu atau melakukan sesuatu, atau berarti pula bersungguh-sungguh. Adapun menurut istilah yang dimaksud dengan ijtihad adalah sebagai berikut[4]:
بـذ ل الـفـقـيه وســعـه فى اســتـنـباط الا حـكام الـعـمـلـيـة من أدلـتهـاالـتـفـصـيـليـة
Pengerahan kemampuan seorang faqih dalam menggali hukum-hukum yang bersifat amali dari dalil-dalinya secara rinci.
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa Ijtihad menurut para ahli Ushul ialah[5]:
بذل الجهد للوصول إلى الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من الأدلة الشرعية
 “Mengerahkan segala daya untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara’.”
Secara singkat, ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai tujuan yang dimaksud, yaitu mengetahui hukum.[6] Ijtihad merupakan salah satu pilar pokok tegaknya syari’at. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran untuk melaksanakannya, baik secara ekplisit maupun implisit.[7] Di antara dalil – dalil tersebut adalah firman Allah:
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”[8]
¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[9]
Dari as-Sunnah kita temukan banyak hadits yang memberikan justifikasi tentang keharusan ijtihad. Di antaranya adalah hadits yang dijadikan istidlal oleh imam Syafi’i dari ‘Amr bin al-‘Ash, ia mendengar Rasulullah bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد فأخطأ فله أجر (رواه البخاري ومسلم)
“Jika seorang hakim menghukumi dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala, jika ia menghukumi dangan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala”.[10]
Dan juga hadits Mu’az bin Jabal, tatkala mendapatkan pembekalan dari Rasulullah SAW sebelum diutus sebagai qadhi ke daerah Yaman. Ketika Rasulullah menanyakan, apa yang dijadikannya dasar pengambilan keputusan, Mu’adz menjawab, Al-Qur’an, kemudian sunnah Rasul-Nya, dan ijtihad sebagai jalan terakhir, bila tidak ditemukannya penjelasan dalam dua sumber syari’at tadi.[11]
Adapun Tabi’in merupakan generasi penerus dari para sahabat. Meraka merupakan murid-murid dari para sahabat Rasul SAW. Mereka dinamai dengan nama “Tabi’in” itu merupakan penamaan langsung dari al-Qur’an kepada mereka.[12] Sebagaimana firman Allah SWT:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ  
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.[13]
Berdasarkan ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa penamaan “tabi’in” itu merupakan penyebutan langsung dari Allah SWT kepada mereka. Itu merupakan nama yang paling mulia bagi mereka dan tidak ada yang lebih mulia dari itu.
Masa tabi’in adalah suatu masa setelah masa sahabat dan merupakan kelanjutan dari masa sahabat tersebut. Mereka sebenarnya telah lahir pada masa sahabat Rasulullah SAW. Para tabi’in telah mewarisi riwayat, hukum, fatwa, ijtihad, dan metode istinbat dari para sahabat. Mereka telah memahami illat-illat maqashidiyah dan maslahiyah mereka dan sebagainya. Hal itu dapat membantu mereka untuk mengikuti jejak para sahabat dan memudahkan mereka untuk menjelaskan beraneka ragam hukum yang berbeda-beda.
Para tabi’in telah mendapatkan kekayaan riwayat dan ijtihad dari para sahabat, sehingga mereka mempunyai dua tugas penting, yaitu[14]:
1.      Menggabungkan dua kekayaan itu. Para tabi’in harus mengumpulkan riwayat-riwayat dari hadits-hadits Rasul SAW, lalu mengumpulkan perkataan-perkataan para sahabat dan ijtihad-ijtihad mereka. Ini tergolong mudah karena setiap tabi’in itu merupakan murid dari para sahabat atau kebanyakan orang itu biasanya mentransfer ilmunya kepada generasi setelahnya. Di antara para sahabat itu ada yang mempunyai beberapa murid, seperti Abdullah bin Umar yang juga telah mengeluarkan beberapa murid, diantaranya Sa’id bin Musayyab, Nafi’ yang merupakan keluarganya, dan Salim anaknya sendiri, dan seterusnya. Setiap sahabat itu ada orang yang khusus mempelajari ilmu mereka dan kebanyakan murid-murid mereka itu adalah dari anak keturunnya mereka sendiri, bukan dari orang-orang Arab. Para tabi’in itulah yang menjadi murid-murid dan menempati posisi para sahabat dalam perjumpaan dengan Rasul SAW. Mereka menjadikan perkataan-perkataan sahabat itu sebagai hujjah.
2.      Mereka harus berijtihad terhadap suatu perkara yang belum diketahui penjelasannya dari para sahabat, tidak terdapat suatu nash pun dari Al-Qur’an dan sunnah yang membahas perkara itu. Maka mereka punya hak untuk berijtihad setelah mempertimbangkan hadits-hadits dan fatwa-fatwa, serta mereka tidak boleh keluar dari manhaj sahabat yang telah menggambarkannya kepada mereka dan kepada orang-orang yang datang setelah mereka.
Pada poin yang kedua dari tugas tabi’in di atas disebutkan dengan jelas bahwa para tabi’in itu harus berijtihad terhadap suatu perkara yang belum diketahui penjelasannya dari para sahabat dan tidak terdapat juga suatu nash pun dari al-Qur’an dan hadits yang membahas perkara itu. Namun, sebelum membahas lebih lanjut tentang ijtihad-ijtihad yang pernah dilakukan oleh para tabi’in, merupakan suatu keniscayaan untuk dijelaskan terlebih dahulu tentang definisi ijtihad tabi’in itu sendiri.
Sejauh referensi yang pernah penulis baca, penulis belum menemukan pengertian ijtihad tabi’in itu sendiri. Namun, berdasarkan pengertian tentang ijtihad dan tabi’in yang telah dijelaskan di atas, penulis memberikan sebuah definisi bahwa ijtihad tabi’in adalah pengerahan segala daya dan kemampuan yang dilakukan oleh tabi’in untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara’.
Menurut ahli seorang anggota Majma' Al-Buhust Al-Islamiyah Universitas Al-Azhar, ijtihad yang terjadi pada masa tabi'in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan seorang mujtahid terlebih dahulu dan yang secara langsung diarahkan untuk membahas, meneliti, dan memahami yang benar.[15]
Di antara tabi’in yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15H – 94H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27H – 114H) di Mekah, Ibrahim An-Nakha’i (w. 76H) di Kufah, Al-Hasan Al-Basri (21H/642 M – 110H/728 M) di Basrah, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat.[16]
Para tabi’in ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi penerusnya yaitu para tabi’ tabi’in. Para tabi’ tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan dari para tabi’in sebagaimana halnya yang mereka terima dari para sahabat, yaitu mengenai al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqih, dan rahasia-rahasia tasyri’ (hukum Islam) serta metodenya. Kemudian selanjutnya pada generasi tabi’ tabi’in sebagai tempat belajar dan menerima informasi oleh generasi imam-imam mujtahid yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang hidup sezaman dengan mereka.[17]
Ketika tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya, maka kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu para tabi’in. Kemudian setelah periode tabi’in juga berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu tabi’ tabi’in. Selanjutnya, sesudah masa tabi’ tabi’in ini juga berakhir, maka para imam mujtahid yang empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.
Adapun guru besar tasyri’ yang populer dari kalangan tabi’in antara lain:
1.      Di Madinah[18]
a.       Said bin Musayyab al-Makhzumi (94 H/ 713 M)
b.      Urwah bin Zubair bin Awwam al-Asadi (94 H/ 713 M)
c.       Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Harits bin Hisyam al-Makhzumi (94 H/ 713 M)
d.      Kharijah bin Zaid bin Tsabit (94 H/ 713 M)
e.       Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (99 H/ 718 M)
f.       Sulaiman bin Yasar Maula Ummul Mu’minin Maimunah (104 H/ 723 M)
g.      Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (106 H/ 725 M)
Mereka inilah yang dikenal dengan tujuh fuqaha’ Madinah.
h.      Ali bin Husain bin Ali bin Abi Tholib al-Hasyimi (98 H/ 717 M)
i.        Salim bin Abdullah bin Umar (106 H/ 725 M)
j.        Nafi’ Maula Abdullah bin Umar (117 H/ 736 M)
2.      Di Mekkah[19]
a.       Ikrimah Maula Ibnu Abbas (107 H/ 726 M)
b.      Mujahid bin Jabir Maula Bani Mahzum (103 H/ 722 M)
c.       Atha’ bin Abi Rabah Maula Quraisy (114 H/ 733 M)
d.      Thaus bin Kausan (106 H/ 725 M)
3.      Di Kufah[20]
a.       Al-Qamah bin Qais al-Nakha’iy (62 H/ 681 M)
b.      Syuraih bin Harits al-Kindi (78 H/ 697 M)
c.       Masruq bin Ajda’ al-Hamdani (63 H/ 682 M)
d.      Ubaidah bin Amr al-Silmani al-Muradi (92 H/ 711 M)
e.       Al-Aswad bin Yazid al-Nakha’iy (95 H/ 714 M)
f.       Said bin Jubair Maula Walibah (95 H/ 714 M)
g.      Amir bin Syarahil al-Sya’biy (104 H/ 723 M)
4.      Di Mesir[21]
a.       Yazid bin Abu Habib Maula al-Azadi mufti Mesir (128 H/ 746 M)
b.      Abu al-Khair Martsad bin Abdullah al-Yaziniy mufti Mesir (90 H/ 709 M)
5.      Di Basrah[22]
a.       Al-Hasan al-Basri kepala tabi’in yang besar (111 H/ 730 M)
b.      Muhammad bin Sirrin Maula Anas bin Malik (110 H/ 729 M)
c.       Qatadah bin Di’amah al-Dausiy (118 H/ 737 M)
d.      Abu ‘Aliyah Rafi’ bin Mahran al-Rayani (90 H/ 709 M)
e.       Hasan bin Hasan Yasar Maula Zaid bin Tsabit (110 H/ 729 M)
f.       Abu Sya’tsa bin Zaid teman Ibnu Abbas (93 H/ 712 M)
g.      Muslim bin Yasar (108 H/ 727 M)
h.      Aiyub al-Shakhtiyani (131 H/ 749 M)
6.      Di Syam/ Syiria[23]
a.       Abd al-Rahman bin Gunmin al-Asy’ariy (78 H)
b.      Abu Idris al-Khulani ‘Aidzullah bin Abdullah (80 H)
c.       Qabishah bin Dzu’aib (86 H)
d.      Makhul bin Abu Muslim (113 H)
e.       Raja’ bin Hayah al-Kindi (113 H)
f.       Umar bin Abd al-Aziz bin Marwah (101 H)

C.    WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN
Antara Islam sebagai agama dan hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal di Madinah nabi SAW. Yang melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh pada periode yang pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika maka sejak nabi di Makkah mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep sebagai berikut[24]:
1.      Tentang harta yang halal dan yang haram
2.      Keharusan menghormati hak milih sah orang lain
3.      Mengurus harta anak yatim secara benar
4.      Perlindungan terhadap kaum wanita dan janda
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan nabi itu berhasil digunakan atau diamalkan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amodaria, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Liberia sampai lembah sungai indus.
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa letak kekuasaan Islam sifatnya yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat (صالح لكل الزمان والمكان).
Penetapan hukum (al-Tasyri') Islam merupakan salah satu dari berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci tersebut. Penetapan hukum keagamaan murni seperti hukum ibadah tak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Baik dari kitab ataupun sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang keluar dari lingkaran tugas penyampaian (tabligh) dan penjelasan (tabyin) tidaklah nabi berbicara atas kemauan sendiri, tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya seperti firman Allah:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[25]
Selanjutnya, ijtihad pada masa Tabi’in, dimana masa ini adalah masa sesudah sahabat. Pada masa Tabi’in ini daerah kekuasaan Islam sudah semakin luas dan kehidupan masyarakat dan umat Islam sudah semakin maju dan kompleks. Penganut Islam bukan saja orang-orang Arab tetapi sudah berbaur dengan orang-orang atau bangsa non Arab yang berbeda-beda bahasanya. Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan umat Islam akan sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa arab tidak sesempurna orang sebelumnya. Di samping itu permasalahan kehidupan yang memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang menuntut pelaksanaan ijtihad.[26]
Pada masa tabi’in ini, sekalipun mereka mengikuti cara yang sudah dirintis oleh para sahabat, namun terdapat perbedaan-perbedaan itu terlihat dari pada ijtihad yang mereka tempuh. Pada masa Tabi’in ini sudah  ada garisan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan ijtihad.  
Dalam melakukan ijtihad, Tabi’in berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan utama. Selanjutnya menggunakan Ijma’ sahabat. Bila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka menggunakan pendapat-pendapat pribadi hasil ijtihad sahabat yang mereka anggap kuat dalilnya. Di samping itu mereka menggunakan ra’yu -- sebagaimana halnya yang dilakukan oleh para sahabat sebelumnya. Dengan demikian pada masa tabi’in ini telah terlihat langkah-langkah atau cara-cara yang ditempuh sebagai landasan ijtihad. Yang tidak kalah pentingnya, seperti dijelaskan oleh Amir Syarifuddin[27], bahwa para tabi’in juga menggunakan kemaslahatan umum sebagai landasan dan rujukan berijtihad bila tidak mungkin menempuh cara-cara yang tidak digariskan sebelumnya.
Pada masa Tabi’in ini corak dan karakter ijtihad yang berkembang mengarah kepada dua bentuk yaitu:
1.      Kalangan yang lebih banyak menggunakan hadits atau sunnah dibanding dengan penggunaan ra’yu. Cara ijtihad seperti ini berkembang di kalangan tabi’in dan ulama Madinah, dengan tokoh senteralnya ialah Said Ibnu al-Musayyab. Dari sinilah kemudian berkembang menjadi Madrasah Madinah.
2.      Kalangan yang banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan penggunaan as-sunah. Cara ijtihad seperti ini berkembang di kalangan ulama Kufah dan Irak dengan tokoh senteralnya adalah Ibrahim An-Nakha’i. Dari sinilah lahir sekolah dikenal dengan Madrasah Kufah.
Kegiatan dan gerakan ijtihad pada masa tabi’in ini ditandai dengan dua hal yaitu ; Pertama, dilihat dari segi persoalan yang dihadapi, maka obyek ijtihad terkait dengan pemahaman terhadap nash itu sendiri dan memberikan jawaban kepada persoalan-persoalan baru yang muncul ketika itu. Kedua dilihat dari segi karakteristik atau bentuk ijtihad ketika ini terdapat dua arah yang pada gilirannya menjadi dua bentuk yang berbeda, yaitu ijtihad yang lebih banyak menggunakan hadits yang selanjutnya melahirkan Ahlu al-Hadits dan ijtihad yang lebih banyak menggunakan ra’yu yang kemudian melahirkan golongan ahlu al-ra’yi.
Masa Tabi’in ini dikenal dengan masa perantara antara masa sahabat dengan masa munculnya imam-imam mujtahid atau ulama, karena metoda ijtihad yang dilakukan sahabat diperdalam dan dipolakan dalam masa Tabi’in ini. Hasil yang telah dicapai pada masa tabi’in inilah yang dikembangkan secara sistematis oleh para imam mujtahid kemudian.

D.    METODE IJTIHAD TABI’IN
Metode ijtihad yang digunakan oleh tabi’in adalah sama dengan metode ijtihadnya sahabat, yaitu berpedoman kepada sumber-sumber utama fiqih yang empat, yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Maka jika seorang faqih itu ditanya tentang hukum suatu masalah, pertama-tama ia meneliti di dalam nash-nash Al-Qur’an, bila ditemukan di sana suatu nash yang jelas, maka ia menggunakan nash itu dan menghukumi masalah atau kejadian itu sesuai tuntutan nash tersebut. Jika tidak ditemukan dalam nash itu, ia meneliti di dalam sunnah Nabi SAW, bila ditemukan di dalamnya suatu kebaikan, sunnah amaliyah, atau sunnah taqririyah, ia mengambil dengannya. Kemudian ia melihat dalam ijma’ ulama’, setelah itu qiyas. Lalu ia menyimpulkan suatu illat sesuai dengan tuntutan ijtihadnya dari cara mengambil illat (metode istinbathnya).[28] Imam Syafi’i berkata: Allah tidak menjadikan untuk seorang pun setelah Rasulullah SAW untuk berkata kecuali dari segi ilmu yang telah ada sebelumnya dan dari segi ilmu setelahnya, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, atsar dan apa-apa yang disifatkan dari qiyas.[29]
Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari beberapa metode yang dikembangkan para sahabat ini, muncullah dalam fiqih Islam Madrasah al-Hadits (Madrasah = aliran) dan Madrasah al-Ra’yu. Madrasah al-Hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah. Sedangkan Madrasah al-Ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.[30]
Ini merupakan rukun-rukun ijtihad, yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas.[31] Imam Syafi’i meringkas rukun-rukun ijtihad itu, akan tetapi, selain imam Syafi’i malah menambah dengan mengamalkan pendapat yang selaras dengan jiwa hukum Islam. Para tabi’in berpegang kepada metode yang kedua ini.
Seorang tabi’i, apabila dalam ijtihadnya tidak menemukan suatu hukum terhadap suatu kejadian di dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’, ia melihat dan memilih dari perkataan-perkataan Sahabat. Ia mengikuti dalil dan pemikiran sahabat, dan ia merasakan kepuasan tersendiri, bukan sekedar taqlid atau mengikuti saja.
Tidak ada seorangpun dari tabi’in itu yang menyalahi perkataan sahabat. Jikalau tidak di dalam perkataan sahabat suatu pendapatpun sebagaimana tidak didapatkannya di dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’, maka tabi’in itu berijtihad dan menyimpulkan hukum Allah dengan apa yang telah ia ijtihadkan. Mereka menggunakan qiyas, istishlah (berbuat berdasarkan maslahah mursalah), ‘urf, atau seumpamanya. Oleh sebab itu, dijelaskan bahwa metode tabi’in dalam berijtihad didasarkan pada tiga pondasi berikut ini[32]:
1.      Mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah
2.      Mengikuti para sahabat
3.      Menyesuaikan dengan keadaan pada masa itu

E.     KARAKTERISTIK IJTIHAD TABI’IN
Karakteristik yang terpenting dari ijtihad tabi’in itu adalah sebagai berikut:
1.      Keaslian dan tidak ada taqlid
Para tabi’in baik yang ada di Madinah, Kufah, Basrah, ataupun yang lainnya, mereka semua berijtihad dalam menyimpulkan hukum syar’i dari dalil-dalil dan sumber-sumber yang asli dari Al-Qur’an, Sunnah, dan yang lainnya. Dengan teori sendiri secara mandiri tidak ada seorang pun yang taqlid dalam ijtihad mereka dari para sahabat dalam perkara yang ditemukan dari pendapat-pendapat individual. Karena bagi seorang mujtahid itu tidak boleh taqlid kepada mujtahid yang lain. Para sahabat menetapkan ijtihad-ijtihad mereka kepada tabi’in. Dan terkadang tabi’in memiliki pendapat yang berbeda dari mazhab sahabat. Contohnya: Masruq menyalahi Ibnu Abbas dalam hal tebusan dengan menyembelih anaknya. Masruq mewajibkan satu ekor kambing saja, sedangkan Ibnu Abbas mewajibkan seratus ekor unta. Masruq berkata: tidaklah anak itu lebih mulia dari pada Ismail AS. Maka Ibnu Abbas menerima perkataan Masruq[33]
2.      Memahami nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan luas dan tidak statis terhadap makna tekstual nash itu
Tabi’in tidak menempuh ijtihad dengan ra’yu (akal) seperti yang dilakukan oleh sahabat, kecuali jika mereka tidak menemukan nash terkait dengan hukum kejadian itu di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Biasanya mereka lebih memilih tidak berfatwa dengan akal dalam banyak keadaan. Dan bila berijtihad, mereka tidak bersifat statis terhadap zhahir nash, atau berpegang dengan makna tekstual nash. Mereka berhenti dengan memilih nash-nash yang sesuai dengan tuntutan hikmah dan akal itu bisa memperluas kedalaman pikiran. Mereka mengetahui bahwa hukum-hukum syara’ tidak terbatas terhadap sesuatu yang ditunjukkan oleh nash secara tekstual. Sesungguhnya mereka mengambil hukum juga dari makna-makna dan illat-illat yang dibangun atasnya. Dalam konteks maqashid, yaitu: pentasyri’an yang diinginkan oleh pembuat hukum untuk menetapkannya. Esensi dari maqashid ini ialah: menjaga terhadap ushul al-Khamsah yang bersifat universal dan urgen, yaitu memelihara agama, jiwa, hati, dan mu’amalah dibangun untuk menjaga maslahah dan menolak kerusakan. Maka setiap sesuatu yang punya kebaikan atau manfaat, maka ia termasuk masyru’ matlub (syari’at yang dikehendaki), dan setiap sesuatu yang terdapat di dalamnya kemudaratan atau kerusakan, maka itu namanya larangan yang tercegah. Dan di mana saja ditemukan maslahah kemudian syari’at Allah dan agamanya[34].
3.      Mengamalkan maslahah mursalah
Maslahah mursalah menurut istilah ulama ushul adalah kemaslahatan yang oleh syari’ tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Ia disebut mutlak (umum) karena tidak dibatasi oleh bukti dianggap atau bukti disia-siakan.[35] Seperti: fatwa fuqaha tabi’in tentang garansi dari pekerja atau buruh. Sesungguhnya asal dalam penyifatan pekerja atau buruh yang sudah dianggap sebagai orang yang amanah, ia tidak akan memberikan garansi kecuali bila kerusakan itu disengaja atau karena lalai. Sebagaimana juga dengan sabda Nabi : “Tidak ada garansi bagi orang yang sudah diberikan amanah.”[36] Akan tetapi, para buruh itu meremehkan dalam memelihara dan menjaga harta orang lain.  Berdasarkan kepada urgennya garansi terhadap sesuatu yang rusak karena tangan mereka sendiri, dengan tujuan memelihara bagi kemaslahatan, menjaga harta kekayaan, dan memberikan tanggung jawab kepada buruh itu supaya bersungguh-sungguh dalam menjaga dan memelihara harta tersebut, maka tidaklah memberikan kemaslahatan bagi manusia kecuali dengan dengan hal itu, sehingga garansi dari pekerja itu merupakan kemaslahatan yang masuk dalam jenis sesuatu yang dianggap umum oleh syari’. Faidahnya adalah mengutamakan kemaslahatan umum di atas kemaslahatan khusus dalam setiap kejadian yang tidak ada nashnya secara jelas.[37]
4.      Pembaharuan dan perkembangan
Sumber fatwa pada masa tabi’in itu mengalami masa perubahan dan pergantian seiring dengan bergantinya adat istiadat masyarakat dan keadaan zaman. Di antara fatwa tabi’in yang baru adalah tidak menerima persaksian dari kalangan kerabat.[38]
5.      Menolak kerusakan dan kemudharatan
Yang perlu diketahui bahwa mencegah kerusakan itu lebih diutamakan dari pada membawa kemaslahatan. Memberikan keamanan dari mudharat dan kerusakan. Contohnya adalah fatwa Urwah bin Zaid seorang fuqaha’ Madinah, yaitu bahwa tidak diterima taubatnya seorang penyamun sebelum dia dihadapkan kepada sultan pemegang kekuasaan.[39]
6.      Merubah hukum sesuai dengan perubahan zaman
Pendapat tabi’in seperti pendapat para sahabat yang mengatakan bahwa hukum itu berubah seiring perubahan adat istiadat, tempat, dan waktu. Contohnya: wanita dilarang untuk ke masjid pada zaman tabi’in, berbeda pada zaman sahabat yang membolehkan wanita ke masjid. Karena keadaan pada masa sahabat itu mereka masih wara’, tapi pada zaman tabi’in, seiring dengan berkembangnya wilayah islam dan orang fasiq juga bertambah banyak. Mereka terang-terangan tidak mengamalkan perintah untuk menundukkan pandangan.[40]
7.      Mengambil dasar kebolehan (mubah) ketika tidak ada nash
Segala sesuatu yang tidak memiliki nash itu adalah boleh. Qaidah ushuliyah ini diterima dan diamalkan oleh sahabat, kemudian diambil dan diamalkan oleh tabi’in sebagai qaidah untuk memudahkan umat Islam dan menjauhkannya dari pemikiran yang keras dan sempit. Contohnya: dibolehkannya mendengar music jika tidak bercampur antara perempuan dan laki-laki.[41]


8.      Pendapat-pendapat yang berani.
Sebagian dari mujtahid tabi’in berani untuk memaparkan fatwanya. Ini dapat kita lihat dari fatwa yang dikeluarkan oleh Urwah bin Zaid, yaitu mengenai tidak diterimanya taubat seorang penyamun sebelum ia dihakimi oleh sultan.[42]

F.     KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ijtihad yang terjadi pada masa para tabi'in adalah ijtihad yang bersifat mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa adanya ikatan pendapat seorang mujtahid terlebih dahulu. Adapun metode yang digunakan oleh tabi’in sama dengan metode yang digunakan oleh sahabat, yaitu berpedoman kepada sumber-sumber fiqih yang utama yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Letak bedanya adalah tabi’in itu selain mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, mereka juga mengikuti perkataan sahabat. Adapun karakteristik ijtihad tabi’in adalah di samping mengikuti ijtihad sahabat mereka juga memperbaharui ijtihad itu. Di satu sisi mereka adalah pengikut para sahabat dan di sisi lain mereka sebagai mujaddid (pembaharu). Ijtihad tabi’in itu bersifat elastis, efektif, dinamis, dan responsif terhadap tuntutan hidup modern. Karakteristik ijtihad tabi’in yang lain adalah mereka berpedoman terhadap tafsir nash yang luas, menjelaskan hukum-hukum syari’ah, tidak bersifat statis terhadap makna tekstual al-Qur’an. Mereka memulai perubahan hukum yang bukan termasuk hukum dasar atau hukum asli sesuai dengan perubahan zaman dan ilmu pengetahuan, dan memperbaharui kemaslahatan dengan tetap memelihara dan mensucikan hukum-hukum selama mempunyai dasar dan qaidah kulliyah (universal).




DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. 1965. Ushul al-Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.
          , tt. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Mesir: Daar al-Firk al-Arabi. ,juz ii.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Forum Karya Ilmiah. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri:  PP. Lirboyo.
Ibnu Manzur. tt. Lisan Al-Arab. Beirut: Daar al-Shaadir.  Juz iii.
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Terj. Wajdi Sayadi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
          , 2010. Ilmu Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah.
al-Mahalli, Jalaluddin. tt. Syarah al-Waraqat. Surabaya: Al-Hidayah.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad. 2005. Al-Milal wa An-Nihal. Bairut: Daar al-Fikr.
Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. cet. ii,
Zuhaili, Wahbah. 2000. Ijtihad al-Tabi’in. Damsik: Daar al-Maktabi.



*     Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam yang diampu oleh Dr. H. Abu Yazid, LLM pada Program S2 Kader Ulama Konsentrasi Aqidah dan Filsafat Hukum Islam Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.
[1]     Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in (Damsik: Daar al-Maktabi, 2000), h. 7.
[2]     Ahmad Warson Munawwir, Kamus al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet.xiv, h. 217.
[3]     Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, juz III (Beirut: Daar al-Shaadir, tt), h. 133.
[4]     Muhammad Abu Zahrah,  Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1965), h. 379.
[5]     Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), h. 173.
[6]     Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Waraqat (Surabaya: Al-Hidayah, tt), h. 23.
[7]     Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam (Kediri:  PP. Lirboyo, 2004), h. 316.
[8]     QS. An-Nisaa’ (3): 105.
[9]     QS. Ar-Ruum (30): 21.
[10]    HR. Bukhari dan Muslim.
[11]    Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 173.
[12]    Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Juz ii (Mesir: Daar al-Firk al-Arabi, tt), h. 28.
[13]    QS. At-Taubah (9): 100.
[14]    Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, h. 29.
[15]    Kak Farih, Ijtihad pada Masa Tabi’in, diakses 16 Nopember 2011 dari http://kak-farih. blogspot.com/2011/09/ijtihad-pada-masa-tabiin.html.
[16]    Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 84.
[17]    Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, terj. Wajdi Sayadi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 74-75.
[18]    Ibid, h. 76.
[19]    Ibid, h. 77.
[20]    Ibid, h. 78.
[21]    Ibid, h. 78-79.
[22]    Ibid, h. 79.
[23]    Ibid, h. 80.
[24]    Kak Farih, Ijtihad pada Masa Tabi’in, diakses 16 Nopember 2011 dari http://kak-farih. blogspot.com/2011/09/ijtihad-pada-masa-tabiin.html.
[25]    QS. An-Najm (53): 3-4.
[26]    Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jilid II, (Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. ii, h. 245.
[27]    Ibid.
[28]    Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, h. 235 dalam Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in, h. 13.
[29]    Imam Syafi’i, al-Risalah, h. 508 dalam wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in, h. 13.
[30]    Dedi supriyadi, Sejarah Hukum Islam, h. 84.
[31]    Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal (Bairut- Libanon: Daar al-Fikr, 2005), Juz II, h. 198.
[32]    Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in, h. 14.
[33]    Ibid, h. 23.
[34]    Ibid, h. 25.
[35]    Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 63.
[36]    HR. Baihaqi dari Abdullah bin Umar,
[37]    Wahbah Zuhaili, Ijtihad al-Tabi’in, h. 27.
[38]    Ibid, h. 27-28.
[39]    Ibid, h. 29.
[40]    Ibid, h. 30-31.
[41]    Ibid, h. 31.
[42]    Ibid, h. 33.

No comments:

Post a Comment