Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR'AN

2012/05/14

SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR'AN


SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR’AN DAN MUSHAF RESMI
Oleh: Zulkifli, S.Pd.I*

A.    PENDAHULUAN
Al-Qur’an  adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang diberi pahala orang yang membacanya.[1] Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Qur’an telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan al-Qur’an oleh Nabi Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitasi teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3 H/ 9 dan abad ke-4 H/ 10 serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar al-Qur’an di Mesir pada 1342 H/ 1923, kitab suci kaum muslimin ini masih menyimpan sejumlah misteri dalam berbagai tahapan perjalanan kesejarahannya.
Salah satu yang sangat dibanggakan umat Islam dari dahulu hingga saat ini adalah keotentikan al-Qur’an yang merupakan warisan Islam terpenting dan paling berharga. Meskipun mushaf yang kita kenal sekarang ini berdasarkan rasm Utsman bin Affan, akan tetapi sebenarnya ia tidak begitu saja muncul sebagai sebuah karya besar yang hampa dari proses panjang yang telah dilalui pada masa-masa sebelumnya.
Proses itu dimulai pada masa Rasullullah Saw. Setiap kali menerima wahyu al-Qur’an, Rasulullah Saw langsung mengingat, menghafalnya, dan memberitahukan serta membacakannya kepada para sahabat, agar mereka mengingat dan menghafalnya.
Selain dihafal, wahyu al-Qur’an yang baru turun ditulis oleh juru tulis wahyu, seperti Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qays, Amir bin Fuhairah, Amr bin al-‘Ash, dan Zubair bin al-Awwam.[2]
Setelah Rasulullah Saw wafat, tonggak estafet pemeliharaan al-Qur’an dilanjutkan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, dan Utsman bin Affan. Upaya-upaya tersebut muncul bersifat reaktif atas kondisi yang dihadapi umat Islam yang dipandang dapat mengancam keutuhan dan keaslian al-Qur’an.
Abu Bakar al-Siddiq mengemban tugas pemeliharaan al-Qur’an dengan melakukan penghimpunan naskah-naskah al-Qur’an yang berserakan menjadi satu mushaf. Faktor pendorong usaha penghimpunan tersebut, adanya kekhawatiran hilangnya sesuatu dari al-Qur’an disebabkan banyak para sahabat penghafal al-Qur’an yang gugur di medan perang Yamamah. Perang ini terjadi tahun 12 H antara kelompok muslim melawan kelompok yang menyatakan diri keluar dari Islam (murtad) di bawah pimpinan Musailamah al-Kazzab. Dalam pertempuran tersebut 70 orang penghafal al-Qur’an gugur.[3]
Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab belum tampak persoalan mengenai mushaf di atas, tetapi setelah periode Utsman bin Affan baru mencuat persoalan yang serius tentang qira’at, terutama sesudah Islam meluas sampai ke Syiria, Armenia, dan Azarbeijan. Bahkan kondisinya lebih kronis karena sudah mengarah kepada fanatisme golongan. Masing-masing mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan. Kondisi yang rawan tersebut akhirnya mengharuskan adanya pembukuan al-Qur’an standar dalam rangka menjaga otentisitas al-Qur’an sekaligus mereduksi dan mengantisipasi konflik internal sekitar qira’at. Sejak masa ini umat Islam dalam al-Qur’an berpegang pada bentuk bacaan yang sesuai dengan mushaf utsmani.[4] Dan hingga saat ini mushaf Utsmani tetap menjadi mushaf resmi umat Islam di seluruh dunia.

B.     SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR’AN
Dalam sebagian besar literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, istilah yang dipakai untuk menunjukkan arti penulisan, pembukuan atau kodifikasi al-Qur’an adalah jum’u al-Qur’an, artinya pengumpulan al-Qur’an. Sementara hanya sebagian kecil literatur yang memakai istilah kitabat al-Qur’an, artinya penulisan al-Qur’an serta tadwin al-Qur’an, artinya pembukuan al-Qur’an.[5]
Apabila mencermati pembahasan yang terdapat di berbagai literatur di atas, sesungguhnya istilah-istilah yang mereka gunakan mempunyai maksud yang sama, yaitu proses penyampaian wahyu yang turun oleh Rasulullah kepada para sahabat, pencatatan atau penulisannya, sampai dihimpunnya catatan-catatan tersebut dalam satu mushaf yang utuh dan tersusun secara tertib.[6]
Ada tiga fase dalam pengumpulan al-Qur’an, yaitu pada masa Rasulullah, masa khalifah Abu Bakar al-Siddiq, dan masa khalifah Utsman bin Affan. Berikut akan dijelaskan proses pengumpulan al-Qur’an dari tiap-tiap fase tersebut.
1.      Pengumpulan AI-Qur'an pada Masa Rasulullah
Kita telah mengetahui Al-Qur'an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Rasulullah menerima A1-Qur'an melalui malaikat Jibril kemudian beliau mem­bacakan serta mendiktekannya kepada para sahabat yang mendengarkannya. Pada periode pertama sejarah pengumpulan Al-Qur'an dapat dikatakan bahwa setiap ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur'an terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: pertama, pengumpulan dalam dada berupa hafalan dan penghayatan serta pengumpulan dalam catatan berupa penulisan kitab.[7]
Berkaitan dengan kondisi Nabi yang ummi, maka perhatian utama beliau adalah menghafal dan menghayati ayat-ayat yang diturunkan. Ibnu Abbas meriwayatkan, karena besarnya konsentrasi Rasul kepada hafalan, hingga ketika wahyu belum selesai disampaikan malaikat Jibril, Rasulullah menggerak-gerakkan kedua bibirnya agar dapat menghafalnya. Karena itu turunlah ayat: 
لا تحرك به لسانك لتعجل به. إن علينا جمعه وقرءانه. فإذا قرأناه فاتبع قرءانه. ثم إن علينا بيانه.  
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.[8]
Nabi Muhammad Saw setelah menerima wahyu langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabat agar mereka menghafalnya sesuai dengan hafalan Nabi, tidak kurang dan tidak lebih. Dalam rangka menjaga kemurnian al-Qur’an, selain ditempuh lewat jalur hafalan, juga dilengkapi dengan tulisan. Fakta sejarah menginformasikan bahwa segera setelah menerima ayat al-Qur’an, Nabi Saw memanggil para sahabat yang pandai menulis, untuk menulis ayat-ayat yang baru saja diterimanya disertai informasi tempat dan urutan setiap ayat dalam suratnya. Ayat-ayat tersebut ditulis di pelepah-pelepah kurma, batu-batu, kulit-kulit atau tulang-tulang.[9]
Penulisan pada masa ini belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni: pertama, tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan al-Qur’an menjadi satu mushaf mengingat Rasulullah masih hidup, dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian al-Qur’an. Kedua, al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila al-Qur’an baru bisa dikumpulkan dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. Ketiga, selama proses turun al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh.[10]
2.      Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar Al-Shiddiq
Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah sepeninggal Nabi Saw. Pada awal pemerintahan Abu Bakar, terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta pengikut-pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari Islam. Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin al-Walid segera menumpas gerakan itu. Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya, banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Qur’an.
Setelah syahidnya 70 huffazh, sahabat Umar ibn Khattab meminta kepada khalifah Abu Bakar, agar al-Qur’an segera dikumpulkan dalam satu mushaf. Dikhawatirkan al-Qur’an itu secara berangsur-angsur hilang, seandainya al-Qur’an itu hanya dihafal saja, karena para penghafalnya semakin berkurang.[11]
Semula khalifah Abu Bakar itu ragu-ragu untuk mengumpulkan  dan membukukan ayat-ayat al-Qur’an, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tapi setelah beliau shalat istikharah, kemudian beliau mendapat kesesuaian pendapat dengan usul sahabat Umar bin Khattab.
Pada waktu munaqasyah antara khalifah Abu Bakar dengan sahabat Umar diundang pula penulis wahyu pada zaman Rasul yang paling ahli yaitu Zaid bin Tsabit. Kemudian ia menyetujui pula akan gagasan itu. lalu dibentuklah sebuah tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Zaid keberatan, tetapi akhirnya juga dapat diyakinkan.[12] Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman, dan kecerdasan serta kehadirannya pada masa pembacaan Rasulullah Saw yang terakhir kalinya.[13]
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama dalam penulisan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi Saw dan hafalan para sahabat.[14] Di samping itu, untuk lebih hati-hati, catatan-catatan dan tulisan al-Qur’an tersebut baru benar-benar diakui berasal dari Nabi Saw bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim Zaid pernah suatu kali menjumpai kesulitan, mereka tidak menemukan naskah ayat 128-129 surah at-Taubah:
 لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم. فإن تولوا فقل حسبي الله لا إله إلا هو عليه تكولت وهو رب العرش العظيم
Padahal, banyak sahabat penghafal al-Qur’an termasuk Zaid sendiri jelas-jelas menghafal ayat tersebut. Akhirnya, naskah ayat tersebut ditemukan juga di tangan seorang yang bernama Abu Khuzaimah al-Anshari.
Hasil kerja Zaid yang telah berupa mushaf al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ke tangan Umar ibn Khattab. Sepeninggal Umar mushaf disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas, diketahui bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang memerintahkan penghimpunan al-Qur’an. Umar bin al-Khattab adalah pelontar idenya serta Zaid bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja besar penulisan al-Qur’an secara utuh dna sekaligus menghimpunnya ke dalam satu mushaf.
Dalam masalah pengumpulan al-Qur’an ini, sedikitnya ada tiga pertanyaan yang perlu mendapat perhatian[15]:
1.      Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan al-Qur’an padahal masalahnya sudah jelas baik dan diwajibkan oleh Islam?
Hal ini karena Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah terhadap usaha menghayati dan menghafal al-Qur’an, dan mencukupkan diri dengan hafalan yang tidak mantap. Dan dikhawatirkan mereka hanya berpegang dengan apa yang ditulis pada mushaf, sehingga akhirnya mereka lemah untuk menghafal al-Qur’an.
 2.      Mengapa Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua?
Karena Zaid adalah orang yang betul-betul mempunyai pembawaan dan kemampuan yang tidak dimiliki sahabat yang lain, dalam hal mengumpulkan al-Qur’an. Ia adalah sahabat yang hafidz, ber-IQ tinggi, sekretaris wahyu yang menyaksikan sajian akhir wahyu, wara’ serta besar tanggung jawabnya, lagi sangat teliti.
3.      Apakah maksud kata-kata Zaid bin Tsabit: “Sampai aku menemukan akhir surat at-Taubah dari Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak ada pada orang lain.”
Hal tersebut tidak berarti bahwa ayat ini tidak ada pada hafalan Zaid dan sahabat-sahabat yang lain, karena mereka menghafalnya. Akan tetapi, beliau bermaksud hendak mengkompromikan antara hafalan dan tulisan serta dalam rangka kehati-hatian. Dan karena langkah lurus itulah, sempurna pulalah al-Qur’an.
Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar ini adalah[16]:
1.      Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2.      Meniadakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh.
3.      Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4.      Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah.
3.      Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan Utsman, wilayah negara Islam telah meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu itu, Islam sudah tersebar ke beberapa wilayah di Afrika, Syiria dan Persia. Para penghafal al-Qur’an pun akhirnya menjadi tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat di kalangan kaum muslimin mengenai bacaan (qira’at) al-Qur’an.[17]
Para pemeluk Islam di masing-masing daerah mempelajari dan menerima bacaan al-Qur’an dari sahabat ahli qira’at di daerah yang bersangkutan. Penduduk Syam misalnya, belajar al-Qur’an pada Ubay bin Ka’ab. Warga Kufah berguru pada Abdullah bin Mas’ud sementara penduduk yang tinggal di Basrah berguru dan membaca al-Qur’an dengan qira’at Abu Musa al-Asy’ari.[18]
Versi qira’at yang dimiliki dan diajarkan oleh masing-masing ahli qira’at satu sama lain berlainan. Hal ini rupanya menimbulkan dampak negatif di kalangan umat Islam waktu itu. Masing-masing saling membanggakan versi qira’at mereka dan saling mengakui bahwa versi qira’at mereka yang paling baik dan benar.
Melihat kenyataan yang memprihatinkan ini Utsman segera mengundang para sahabat dari Anshar dan Muhajirin bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah serius tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar mushaf Abu Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Mushaf-mushaf itu nantinya dikirim ke berbagai kota atau daerah untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin terutama manakala terjadi perselisihan qira’at al-Qur’an antar mereka.
Untuk terlaksananya tugas tersebut, khalifah Utsman menunjuk satu tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn al-‘As dan Abdurrahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Keempat orang ini adalah para penulis wahyu. Tim ini bertugas menyalin mushaf al-Qur’an yang tersimpan di rumah Hafsah, karena dipandang sebagai mushaf standar.
Hasil kerja tim tersebut berjudul empat mushaf al-Qur’an standar. Tiga diantaranya dikirim ke Syam, Kufah, dan Basrah dan satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk Utsman sendiri yang nantinya dikenal sebagai al-Mushaf al-Imam.[19] Adapun mushaf yang semula dari Hafsah dikembalikan lagi kepadanya. Ada juga riwayat yang mengatakan jumlah pengadaan mushaf  sebanyak 5 buah, ada lagi yang menyebut 7 buah dan dikirim selain tiga tempat di atas ke Mekkah, Yaman, dan Bahrain. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan al-Qur’an dapat diselesaikan secara tuntas, Utsman memerintahkan semua mushaf al-Qur’an yang berbeda dengan hasil kerja “panitia empat” ini segera dibakar.[20]
Tentang jumlah mushaf yang ditulis, berapapun jumlahnya tidak menjadi persoalan. Yang pasti, upaya tersebut telah berhasil melahirkan mushaf baku sebagai rujukan kaum muslimin dan menghilangkan perselisihan serta perpecahan di antara mereka. Beberapa karakteristik mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Utsman ibn ‘Affan antara lain[21]:
1.      Ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir.
2.      Tidak memuat ayat-ayat yang mansukh.
3.      Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-Qur’an yang kita kenal sekarang. Tidak seperti mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Abu Bakar yang hanya disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut urutan turun wahyu.
4.      Tidak memuat sesuatu yang tidak tergolong al-Qur’an, seperti yang ditulis sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing mushafnya, sebagai penjelasan atau keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu.
5.      Dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisyi sekalipun pada mulanya diizinkan membacanya dengan menggunakan dialek lain.
Bila kita cermati tujuan pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar ialah mengumpulkan seluruh al-Qur’an menjadi satu, supaya sesuatu darinya tidak ada yang hilang. Sementara tujuan penyalinan Utsman ke dalam beberapa mushaf adalah membikin mushaf yang disepakati oleh seluruh ummat untuk penyeragaman mushaf dan pembatasan bacaan. Karena dikhawatirkan nanti di kemudian hari ada penyelewengan. Bentuk tulisan Utsmani ini adalah sesuai dan persis dengan bentuk tulisan mushaf kumpulan Abu Bakar dan tulisan di zaman Nabi Saw.[22]

C.    PENYEMPURNAAN TULISAN AL-QUR’AN
Sepeninggal Utsman, mushaf al-Qur’an belum diberi tanda baca seperti baris (harakat) dan tanda pemisah ayat. Karena daerah kekuasaan Islam semakin meluas ke berbagai penjuru yang berlainan dialek dan bahasanya, dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam memelihara umat dari kekeliruan membaca dan memahami al-Qur’an.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa khalifah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abu al-Aswad al-Duali, yang memberi harakat atau baris yang berupa titik merah pada mushaf al-Qur’an. Untuk “a” (fathah) di sebelah atas huruf, “u” (dhummah) di depan huruf dan “i” (kasrah) di bawah huruf. Sedangkan syiddah berupa huruf lipat dua dengan dua titik di atas huruf.
Usaha selanjutnya dilakukan pada masa Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (65-68 H). Dua orang murid Abu al-Aswad al-Duali yaitu Nasar ibn Ashim dan Yahya ibn Ya’mar memberi tanda untuk beberapa huruf yang sama seperti “ba”, “ta”, dan “tsa”.[23]
Dalam berbagai sumber diriwayatkan bahwa ‘Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H) memerintahkan kepada seorang yang berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif (mad) pada dua ribu kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya, “kanat” menjadi “kaanat”. Adapun penyempurnaan tanda-tanda baca yang lain dilakukan oleh Imam        Khalil ibn Ahmad pada tahun 162 H.[24]

D.    OTENTISITAS DAN INTEGRITAS MUSHAF UTSMANI
Mushaf Utsmani, secara doktrinal, dipandang telah mencakup keseluruhan wahyu ilahi yang diterima Muhammad yang semestinya dimasukkan ke dalam kompilasi tersebut. Tetapi, sejumlah riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa ini juga memberitakan eksistensi sejumlah wahyu lainnya yang tidak terekam secara tertulis di dalamnya. Material-material ekstra qur’anik ini sebagian besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar para ulama tentang nasikh-mansukh. Sebagian lagi direkam dalam kumpulan hadits qudsi, yang sejak awal Islam telah dipandang sebagai bukan bagian al-Qur’an, sekalipun sama-sama bersumber dari tuhan.
Secara garis besarnya, terdapat tiga kategori utama dalam berbagai bahasan tentang nasikh-mansukh[25]:
1.      Wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya di dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilawah)
2.      Wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih terdapat di dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah)
3.      Wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm).
Dari ketiga kategori di atas, hanya kategori pertama dan terakhir yang relevan serta berkaitan secara langsung dengan masalah otentisitas dan integritas mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini –yakni mushaf Utsmani- karena keduanya sama-sama menyiratkan tidak direkamnya sejumlah wahyu secara tertulis ke dalam mushaf tersebut. Sekalipun demikian, wahyu-wahyu yang dinyatakan “terhapus” ini sebagiannya masih sempat direkam dalam sejumlah hadits serta riwayat lainnya.
Kategori yang pertama-tama akan dibahas di sini adalah bagian-bagian wahyu yang teksnya masih sempat direkam di dalam sejumlah prophetologia, tetapi baik bacaan maupun hukumnya dinyatakan terhapus (naskh al-hukm wa al-tilawah). Di dalam riwayat-riwayat kategori ini, terdapat rujukan yang jelas tentang eksistensinya sebagai bagian al-Qur’an pada masa tertentu. Yang paling sering disebut, sekalipun dengan sejumlah perbedaan yang tajam antara satu dengan lainnya, adalah ayat berikut:
لو ان لابن آدم واديان من مال لابتغى واديا ثالثا ولا يملأ جوف ابن آدم الا التراب ويتوب الله من تاب
“Seandainya anak Adam (manusia) memiliki dua gunungan harta kekayaan, maka ia akan meminta tambah untuk ketiga kalinya dua gunungan harta kekayaan itu, tetapi hanya debu yang akan memenuhi perutnya. Dan Allah akan mengampuni orang-orang yang kembali (bertaubat) kepada-Nya.”[26]
Dalam mushaf Ubay, ayat ini disisipkan di antara ayat 24 dan 25 surat 10. Sejumlah sahabat Nabi, di antaranya Abu Musa al-Asy’ari, seperti dikemukakan beberapa riwayat, memandangnya sebagai bagian al-Qur’an yang diwahyukan Tuhan, tetapi pada masa belakangan telah dinasakh. Penjelasan tradisional juga mengungkapkan gagasan yang sama sehubungan dengan eksistensi ayat/hadits itu. namun dari segi rima (taqfiyah), nampaknya ayat tersebut tidak cocok ditempatkan di sini, seandainya pernah diposisikan demikian, karena ayat-ayat sebelum dan sesudahnya rata-rata berima dalam –un – kecuali ayat 25 yang berima dalam im (in). Lebih jauh kata-kata yang digunakannya secara jelas menunjukkan asal usulnya sebagai hadits. Bahkan ungkapan ibn Adam, sebagaimana ditunjukkan Schwally, merupakan ungkapan yang asing bagi al-Qur’an. Di samping itu, dalam riwayat Bukhari dari Ibn Zubayr, ayat di atas hanya disebut sebagai hadits Nabi, bukan wahyu al-Qur’an.[27]
Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Umar ibn Khattab, ketika menjabat sebagai khalifah pernah bertanya kepada Abdurrahman ibn Auf apakah ia mengenal ayat berikut ini:
جاهدوا كما جاهدتم اول مرة
“Berjuanglah seperti kalian telah berjuang untuk pertama kalinya.”
Jawaban Abdurrahman ibn Auf adalah ayat tersebut merupakan salah satu ayat al-Qur’an yang terhapus. Penggunaan kosa kata dan struktur kalimatnya memang terlihat sangat quranik, tetapi keberadaan versi lainnya dari ayat tersebut lebih terelaborasi, membuat keraguan timbul sehubungan dengan asal usulnya sebagai wahyu al-Qur’an. [28]
Dan masih banyak lagi tentang ayat-ayat quranik yang lazimnya didiskusikan secara rinci dalam literatur-literatur nasikh-mansukh. Material-material tersebut biasanya dimasukkan ke dalam kategori pertama nasikh-mansukh: naskh al-hukm wa al-tilawah, yakni wahyu yang dihapus baik ketentuan hukum ataupun bacaannya.
 
E.     MUSHAF UTSMANI SEBAGAI MUSHAF RESMI
Adanya perbedaan dalam bacaan al-Qur’an sebenarnya bukan barang baru sebab Umar sudah mengantisipasi bahaya perbedaan ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibn Mas’ud ke Irak, setelah Umar diberitahu bahwa dia mengajarkan al-Qur’an dalam dialek Hudhail (sebagaiman Ibn Mas’ud mempelajarinya), dan Umar tampak naik pitam lalu berkata: “Al-Qur’an telah diturunkan dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail.”[29]
Dalam menanggapi hal ini komentar Ibn Hajar dirasa sangat penting. “Bagi kalangan umat Islam bukan Arab yang ingin membaca al-Qur’an,” katanya: “Pilihan bacaan yang paling tepat adalah berdasarkan dialek Quraisy. Sesungguhnya dialek Quraisy merupakan pilihan terbaik bagi kalangan muslim bukan Arab (sebagaimana semua dialek Arab sama susahnya bagi mereka).”[30]
Hudzaifah bin al-Yaman mengingatkan khalifah pada tahun 25 H dan pada tahun itu juga Utsman menyelesaikan masalah perbedaan dalam bacaan al-Qur’an sekaligus meminta pendapat mereka tentang bacaan dalam beberapa dialek tertentu lebih unggul sesuai dengan afiliasi kesukuan. Ketika ditanya pendapatnya sendiri beliau menjawab: “Saya tahu bahwa kita ingin menyatukan manusia (umat Islam) pada satu mushaf (dengan satu dialek) maka tidak akan ada perbedaan dan perselisihan dan kami menyatakan sebagai usulan yang sangat baik.[31]
Terdapat dua riwayat tentang bagaimana Utsman melakukan tugas ini. Satu di antaranya (yang lebih masyhur) beliau membuat naskah semata-mata berdasarkan kepada shuhuf yang disimpan di bawah penjagaan Hafsah, bekas istri Nabi Muhammad Saw. Riwayat kedua yang tidak begitu terkenal menyatakan, Utsman terlebih dahulu memberi wewenang pengumpulan mushaf dengan menggunakan sumber utama, sebelum membandingkannya dengan shuhuf yang sudah ada. Kedua-dua versi riwayat sepaham bahwa shuhuf yang ada pada Hafsah memainkan peranan penting dalam pembuatan mushaf Utsmani.[32]
Berdasarkan pada riwayat yang pertama Utsman memutuskan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melacak shuhuf dari Hafsah, mempercepat penyusunan penulisan, dan memperbanyak naskah. Pada waktu itu, mushaf yang dibuat sendiri (independen) telah dibandingkan dengan shuhuf resmi yang sejak semula ada pada Hafsah.
Seorang bisa saja keheran-heranan mengapa khalifah Utsman bersusah payah mengumpulkan naskah tersendiri (otonom) sedang akhirnya dibandingkan juga dengan shuhuf. Alasannya yang paling mendekati kemungkinan barangkali sekedar upaya simbolik. Satu dasawarsa sebelumnya ribuan sahabat, yang sibuk berperang melawan orang-orang murtad di Yamamah dan di tempat lainnya, tidak bisa berpartisipasi dalam kompilasi shuhuf. Untuk menarik lebih banyak kompilasi bahan-bahan tulisan, naskah Utsman tersendiri (independen) memberi kesempatan kepada sahabat yang masih hidup untuk melakukan usaha yang penting ini.
Usaha Utsman yang sungguh-sungguh jelas tampak berhasil dan dilihat dari dua cara: pertama, tidak ada mushaf di wilayah muslim kecuali mushaf Utsmani yang telah menyerap ke darah daging mereka; dan kedua, mushaf atau kerangka teks Mushafnya dalam jangka waktu empat belas abad tidak bisa dirusak. Sesungguhnya manifestasi Kitab Suci al-Qur’an adalah benar-benar ajaib; interpretasi yang lain tidak berhasil. Khalifah berikutnya, mungkin meneruskan usaha nenek moyangnya, mengutus dan terus mengirim naskah mushaf yang resmi, tetapi tidak ada naskah yang dikirim yang bertentangan dengan standar universal Mushaf Utsmani.
Sampai hari ini terdapat banyak mushaf yang dinisbatkan langsung kepada Utsman, artinya bahwa mushaf-mushaf tersebut asli atau kopian resmi dari yang asli. Mushaf-mushaf itu ditulis pada kulit, bukan kertas, dan tampak sejaman. Teks-teks kerangkanya cocok satu sama lainnya dan sama dengan mushaf-mushaf dari abad pertama hijrah dan setelahnya, sampai pada mushaf-mushaf yang digunakan pada masa kita ini.[33]
Sebagai diketahui, mushaf Utsmani ditulis dengan kaidah-kaidah tersendiri, yang oleh beberapa kalangan dinilai ada penyimpangan dari aturan bahasa secara konvensional.[34] Mushaf Utsmani adalah mushaf yang telah disusun oleh tim atas instruksi dari Khalifah Utsman bin Affan pada masa kekhalifahannya. Meskipun kita tidak memungkiri bahwa terdapat berbagai pendapat yang meragukan keotentikan mushaf Utsmani. Namun, kenyataannya hingga saat ini umat Islam di seluruh dunia menjadikan mushaf Utsmani itu sebagai mushaf resmi.
 
F.     KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Sejarah pengumpulan al-Qur’an terbagi dalam tiga fase yaitu pada masa Rasulullah, Abu Bakar al-Shiddiq, dan Utsman bin Affan.
a.       Pada masa Rasulullah dikategorikan menjadi dua upaya untuk penghafalan dan untuk penulisan. Penulisan al-Qur’an pada masa ini, dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi dengan menertibkan ayat-ayatnya dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi. Ayat-ayat tersebut ditulis secara terpisah-pisah pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma, dan batu-batuan. Penulisan pada masa ini belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni: pertama, tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan al-Qur’an menjadi satu mushaf mengingat Rasulullah masih hidup, dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian al-Qur’an. Kedua, al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila al-Qur’an baru bisa dikumpulkan dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. Ketiga, selama proses turun al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh.
b.      Penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatan-catatan serta tulisan-tulisan yang ada menjadi satu mushaf, dengan tertib surat-suratnya menurut urutan turun wahyu. Faktor pendorongnya adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan hilangnya sesuatu dari al-Qur’an disebabkan banyaknya para sahabat penghafal al-Qur’an yang gugur di medan perang. Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa ini adalah: pertama, seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama. Kedua, meniadakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh. Ketiga, seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya. Keempat, dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah.
c.       Penulisan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan dilakukan untuk menyalin mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf dengan tertib ayat maupun suratnya sebagaimana yang ada sekarang. Faktor pendorong usaha tersebut adalah adanya perpecahan di kalangan kaum muslimin yang disebabkan adanya perbedaan qira’at al-Qur’an di antara mereka. Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa ini: Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir. Kedua, tidak memuat ayat-ayat yang mansukh. Ketiga, surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-Qur’an yang kita kenal sekarang. Tidak seperti mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Abu Bakar yang hanya disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut urutan turun wahyu. Keempat, tidak memuat sesuatu yang tidak tergolong al-Qur’an, seperti yang ditulis sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing mushafnya, sebagai penjelasan atau keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu. Kelima, dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisyi sekalipun pada mulanya diizinkan membacanya dengan menggunakan dialek lain.
2.      Mushaf Utsmani adalah mushaf yang telah disusun oleh tim atas instruksi dari Khalifah Utsman bin Affan pada masa kekhalifahannya. Meskipun kita tidak memungkiri bahwa terdapat berbagai pendapat yang meragukan keotentikan mushaf Utsmani. Namun, kenyataannya hingga saat ini umat Islam di seluruh dunia menjadikan mushaf Utsmani itu sebagai mushaf resmi.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Taufiq Adnan. 2005. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Alvabet. Cet. I.
Al-A’zami, M.M. 2008. The History of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation. Penj. Sohirin Solihin dkk. Jakarta: Gema Insani. Cet. III.
Birri, Maftuh Basthul. 1996. Mari Memakai Al-Qur’an Rosm Utsmaniy. PP. Lirboyo Kediri, Madrasah Murottilil Qur’anil Karim.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gema Media.
Al-Munawwar, Said Agil Husin. 2002. Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ed. Abdul Halim. Jakarta: Ciputat Press. Cet. II.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. tt. Al-Itqan fi ulum al-Qur’an. Beirut: Daar al-Fikr.
Supiana & M. Kariman. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika.
Al-Qaththan, Manna’. 1973. Mabahits fi ulum al-Qur’an. Surabaya: Al-Hidayah.
Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah. 1957. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Mesir: ‘Isa al-Babi al-Halabi.


*    Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an yang diampu oleh Prof. DR. Rosikhan Anwar, M.Ag dan DR. Wawan Juandi, MA. pada Program S2 Kader Ulama Konsentrasi Aqidah dan Filsafat Hukum Islam Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.
[1]     Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum al-Qur’an (Surabaya: Al-Hidayah, 1973), h. 21.
[2]    Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, juz I, h. 246 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 15.
[3]    Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, h. 125.
[4]   Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 15.
[5]  Ahmad Adil Kamal, Ulum al-Qur’an, h. 34 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 16.
[6]     Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 15.
[7]     Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, h. 118.
[8]     QS. Al-Qiyaamah (75): 17.
[9]     Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, h. 123.
[10]    Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, h. 248.
[11]   Muchotob Hamzah, Studi al-Qur’an Komprehensif (Yogyakarta: Gema Media, 2003), h. 125.
[12]  Shubhi Shalih, Mabahits fi ulum al-Qur’an, h. 74 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 18.
[13]   Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum al-Qur’an, h. 124.
[14]  Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, h. 252 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 18.
[15]   Muchotob Hamzah, Studi al-Qur’an Komprehensif, h. 127-128.
[16]   Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 19.
[17]   Ibrahim al-Ibyari, Tarikh al-Qur’an (Kairo: Daar al-Qalam, 1965), h. 81 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 20.
[18]  Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995), h. 56 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,  h. 20.
[19]   Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Mesir: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1957), Jilid I, h. 240 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 21.
[20]   Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 21.
[21]   Ibid, h. 21-22.
[22]  Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai al-Qur’an Rasm Utsmaniy (PP. Lirboyo Kediri, Madrasah Murottilil Qur’anil Karim), h. 39.
[23]   Ibid, h. 22.
[24]   Shubhi Shalih, Mabahits fi Ulum  al-Qur’an, h. 106 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 23.
[25]   Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 260.
[26]  Teks terambil dari Jeffery, Materials, h. 135 dalam Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, h. 261.
[27]   Bukhari, Shahih dalam Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, h. 261.
[28]   Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, h. 263.
[29]   Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid ix, h. 9 dalam  Al-A’zami, M.M., The History of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet iii, h. 97.
[30]   Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid ix, h. 27 dalam Ibid, h. 98.
[31]   Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid x, h. 402 dalam Ibid, h. 98.
[32]   Al-A’zami, M.M., The History of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet iii, h. 98.
[33]   Al-A’zami, M.M., The History of The Qur’anic Text, h. 120.
[34]   Supiana & M. Karman. Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h. 231.

1 comment: