SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR’AN DAN MUSHAF RESMI
Oleh: Zulkifli, S.Pd.I*
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalamullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang diberi pahala orang yang
membacanya.[1] Sejak
pewahyuannya hingga kini, al-Qur’an telah mengarungi sejarah panjang selama
empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan al-Qur’an
oleh Nabi Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang
telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitasi teks dan
bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3 H/ 9 dan abad ke-4 H/
10 serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar al-Qur’an di Mesir pada
1342 H/ 1923, kitab suci kaum muslimin ini masih menyimpan sejumlah misteri
dalam berbagai tahapan perjalanan kesejarahannya.
Salah satu yang sangat dibanggakan umat Islam dari dahulu
hingga saat ini adalah keotentikan al-Qur’an yang merupakan warisan Islam
terpenting dan paling berharga. Meskipun mushaf yang kita kenal sekarang ini
berdasarkan rasm Utsman bin Affan, akan tetapi sebenarnya ia tidak
begitu saja muncul sebagai sebuah karya besar yang hampa dari proses panjang
yang telah dilalui pada masa-masa sebelumnya.
Proses itu dimulai pada masa Rasullullah Saw. Setiap kali
menerima wahyu al-Qur’an, Rasulullah Saw langsung mengingat, menghafalnya, dan
memberitahukan serta membacakannya kepada para sahabat, agar mereka mengingat
dan menghafalnya.
Selain dihafal, wahyu al-Qur’an yang baru turun ditulis
oleh juru tulis wahyu, seperti Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qays, Amir bin Fuhairah, Amr bin al-‘Ash, dan
Zubair bin al-Awwam.[2]
Setelah Rasulullah Saw wafat, tonggak estafet
pemeliharaan al-Qur’an dilanjutkan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab,
dan Utsman bin Affan. Upaya-upaya tersebut muncul bersifat reaktif atas kondisi
yang dihadapi umat Islam yang dipandang dapat mengancam keutuhan dan keaslian
al-Qur’an.
Abu Bakar al-Siddiq mengemban tugas pemeliharaan
al-Qur’an dengan melakukan penghimpunan naskah-naskah al-Qur’an yang berserakan
menjadi satu mushaf. Faktor pendorong usaha penghimpunan tersebut, adanya
kekhawatiran hilangnya sesuatu dari al-Qur’an disebabkan banyak para sahabat
penghafal al-Qur’an yang gugur di medan perang Yamamah. Perang ini terjadi
tahun 12 H antara kelompok muslim melawan kelompok yang menyatakan diri keluar
dari Islam (murtad) di bawah pimpinan Musailamah al-Kazzab. Dalam pertempuran
tersebut 70 orang penghafal al-Qur’an gugur.[3]
Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab belum tampak
persoalan mengenai mushaf di atas, tetapi setelah periode Utsman bin Affan baru
mencuat persoalan yang serius tentang qira’at, terutama sesudah Islam meluas
sampai ke Syiria, Armenia, dan Azarbeijan. Bahkan kondisinya lebih kronis
karena sudah mengarah kepada fanatisme golongan. Masing-masing mengklaim paling
benar, bahkan saling mengkafirkan. Kondisi yang rawan tersebut akhirnya
mengharuskan adanya pembukuan al-Qur’an standar dalam rangka menjaga otentisitas
al-Qur’an sekaligus mereduksi dan mengantisipasi konflik internal sekitar
qira’at. Sejak masa ini umat Islam dalam al-Qur’an berpegang pada bentuk bacaan
yang sesuai dengan mushaf utsmani.[4]
Dan hingga saat ini mushaf Utsmani tetap menjadi mushaf resmi umat Islam di
seluruh dunia.
B. SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR’AN
Dalam sebagian besar literatur yang membahas
tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, istilah yang dipakai untuk menunjukkan arti
penulisan, pembukuan atau kodifikasi al-Qur’an adalah jum’u al-Qur’an,
artinya pengumpulan al-Qur’an. Sementara hanya sebagian kecil literatur yang
memakai istilah kitabat al-Qur’an, artinya penulisan al-Qur’an serta tadwin
al-Qur’an, artinya pembukuan al-Qur’an.[5]
Apabila mencermati pembahasan yang terdapat di
berbagai literatur di atas, sesungguhnya istilah-istilah yang mereka gunakan
mempunyai maksud yang sama, yaitu proses penyampaian wahyu yang turun oleh
Rasulullah kepada para sahabat, pencatatan atau penulisannya, sampai
dihimpunnya catatan-catatan tersebut dalam satu mushaf yang utuh dan tersusun
secara tertib.[6]
Ada tiga fase dalam pengumpulan al-Qur’an,
yaitu pada masa Rasulullah, masa khalifah Abu Bakar al-Siddiq, dan masa
khalifah Utsman bin Affan. Berikut akan dijelaskan proses pengumpulan al-Qur’an
dari tiap-tiap fase tersebut.
1.
Pengumpulan AI-Qur'an pada Masa Rasulullah
Kita telah mengetahui Al-Qur'an itu diturunkan secara
berangsur-angsur. Rasulullah menerima A1-Qur'an melalui malaikat Jibril
kemudian beliau membacakan serta mendiktekannya kepada para sahabat yang
mendengarkannya. Pada periode pertama sejarah pengumpulan Al-Qur'an
dapat dikatakan bahwa setiap ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain
beliau hafal sendiri juga dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan cara
tersebut Al-Qur'an terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW beserta
para sahabatnya.
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu: pertama, pengumpulan dalam dada berupa hafalan dan
penghayatan serta pengumpulan dalam catatan berupa penulisan kitab.[7]
Berkaitan dengan kondisi Nabi yang ummi, maka perhatian
utama beliau adalah menghafal dan menghayati ayat-ayat yang diturunkan. Ibnu
Abbas meriwayatkan, karena besarnya konsentrasi Rasul kepada hafalan, hingga
ketika wahyu belum selesai disampaikan malaikat Jibril, Rasulullah
menggerak-gerakkan kedua bibirnya agar dapat menghafalnya. Karena itu turunlah
ayat:
لا تحرك به لسانك لتعجل به. إن علينا جمعه وقرءانه. فإذا قرأناه فاتبع قرءانه. ثم إن علينا بيانه.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena
hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu. Kemudian,
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”[8]
Nabi Muhammad Saw setelah menerima wahyu
langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabat agar mereka
menghafalnya sesuai dengan hafalan Nabi, tidak kurang dan tidak lebih. Dalam
rangka menjaga kemurnian al-Qur’an, selain ditempuh lewat jalur hafalan, juga
dilengkapi dengan tulisan. Fakta sejarah menginformasikan bahwa segera setelah
menerima ayat al-Qur’an, Nabi Saw memanggil para sahabat yang pandai menulis,
untuk menulis ayat-ayat yang baru saja diterimanya disertai informasi tempat
dan urutan setiap ayat dalam suratnya. Ayat-ayat tersebut ditulis di pelepah-pelepah
kurma, batu-batu, kulit-kulit atau tulang-tulang.[9]
Penulisan pada masa ini belum terkumpul
menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni: pertama, tidak
adanya faktor pendorong untuk membukukan al-Qur’an menjadi satu mushaf
mengingat Rasulullah masih hidup, dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang
diduga akan mengganggu kelestarian al-Qur’an. Kedua, al-Qur’an
diturunkan berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila al-Qur’an baru bisa
dikumpulkan dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. Ketiga, selama
proses turun al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat al-Qur’an
yang mansukh.[10]
2. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar Al-Shiddiq
Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu
Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah sepeninggal Nabi Saw. Pada awal pemerintahan
Abu Bakar, terjadi kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta
pengikut-pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari Islam.
Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin al-Walid segera menumpas gerakan itu.
Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya, banyak sahabat
yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Qur’an.
Setelah syahidnya 70 huffazh, sahabat Umar ibn Khattab
meminta kepada khalifah Abu Bakar, agar al-Qur’an segera dikumpulkan dalam satu
mushaf. Dikhawatirkan al-Qur’an itu secara berangsur-angsur hilang, seandainya
al-Qur’an itu hanya dihafal saja, karena para penghafalnya semakin berkurang.[11]
Semula khalifah Abu Bakar itu ragu-ragu untuk
mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat
al-Qur’an, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tapi setelah
beliau shalat istikharah, kemudian beliau mendapat kesesuaian pendapat dengan
usul sahabat Umar bin Khattab.
Pada waktu munaqasyah
antara khalifah Abu Bakar dengan sahabat Umar diundang pula penulis wahyu pada
zaman Rasul yang paling ahli yaitu Zaid bin Tsabit. Kemudian ia menyetujui pula
akan gagasan itu. lalu dibentuklah sebuah tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit dalam rangka
merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Zaid keberatan,
tetapi akhirnya juga dapat diyakinkan.[12] Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit, mengingat
kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman, dan kecerdasan serta
kehadirannya pada masa pembacaan Rasulullah Saw yang terakhir kalinya.[13]
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia
tersebut dengan sangat hati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber
utama dalam penulisan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan
dicatat di hadapan Nabi Saw dan hafalan para sahabat.[14] Di samping itu, untuk lebih hati-hati,
catatan-catatan dan tulisan al-Qur’an tersebut baru benar-benar diakui berasal
dari Nabi Saw bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim Zaid pernah suatu kali menjumpai kesulitan,
mereka tidak menemukan naskah ayat 128-129 surah at-Taubah:
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم. فإن تولوا فقل حسبي الله لا إله إلا هو عليه تكولت وهو رب العرش العظيم
Padahal, banyak sahabat penghafal al-Qur’an termasuk Zaid
sendiri jelas-jelas menghafal ayat tersebut. Akhirnya, naskah ayat tersebut
ditemukan juga di tangan seorang yang bernama Abu Khuzaimah al-Anshari.
Hasil kerja Zaid yang telah berupa mushaf al-Qur’an
disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ke tangan
Umar ibn Khattab. Sepeninggal Umar mushaf disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas, diketahui bahwa Abu Bakar
adalah orang pertama yang memerintahkan penghimpunan al-Qur’an. Umar bin
al-Khattab adalah pelontar idenya serta Zaid bin Tsabit adalah pelaksana
pertama yang melakukan kerja besar penulisan al-Qur’an secara utuh dna
sekaligus menghimpunnya ke dalam satu mushaf.
Dalam masalah pengumpulan al-Qur’an ini, sedikitnya ada
tiga pertanyaan yang perlu mendapat perhatian[15]:
1. Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan al-Qur’an padahal
masalahnya sudah jelas baik dan diwajibkan oleh Islam?
Hal ini karena Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah terhadap
usaha menghayati dan menghafal al-Qur’an, dan mencukupkan diri dengan hafalan
yang tidak mantap. Dan dikhawatirkan mereka hanya berpegang dengan apa yang
ditulis pada mushaf, sehingga akhirnya mereka lemah untuk menghafal al-Qur’an.
2. Mengapa Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua?
Karena Zaid adalah orang yang betul-betul mempunyai pembawaan dan kemampuan
yang tidak dimiliki sahabat yang lain, dalam hal mengumpulkan al-Qur’an. Ia
adalah sahabat yang hafidz, ber-IQ tinggi, sekretaris wahyu yang menyaksikan
sajian akhir wahyu, wara’ serta besar tanggung jawabnya, lagi sangat teliti.
3. Apakah maksud kata-kata Zaid bin Tsabit: “Sampai aku menemukan akhir surat
at-Taubah dari Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak ada pada orang lain.”
Hal tersebut tidak berarti bahwa ayat ini tidak ada pada hafalan Zaid dan
sahabat-sahabat yang lain, karena mereka menghafalnya. Akan tetapi, beliau
bermaksud hendak mengkompromikan antara hafalan dan tulisan serta dalam rangka
kehati-hatian. Dan karena langkah lurus itulah, sempurna pulalah al-Qur’an.
1. Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf
berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2. Meniadakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh.
3. Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4. Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at)
sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah.
3. Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan Utsman, wilayah negara Islam telah
meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu itu, Islam
sudah tersebar ke beberapa wilayah di Afrika, Syiria dan Persia. Para penghafal
al-Qur’an pun akhirnya menjadi tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru,
yaitu silang pendapat di kalangan kaum muslimin mengenai bacaan (qira’at)
al-Qur’an.[17]
Para pemeluk Islam di masing-masing daerah mempelajari
dan menerima bacaan al-Qur’an dari sahabat ahli qira’at di daerah yang bersangkutan.
Penduduk Syam misalnya, belajar al-Qur’an pada Ubay bin Ka’ab. Warga Kufah
berguru pada Abdullah bin Mas’ud sementara penduduk yang tinggal di Basrah
berguru dan membaca al-Qur’an dengan qira’at Abu Musa al-Asy’ari.[18]
Versi qira’at yang dimiliki dan diajarkan oleh
masing-masing ahli qira’at satu sama lain berlainan. Hal ini rupanya
menimbulkan dampak negatif di kalangan umat Islam waktu itu. Masing-masing
saling membanggakan versi qira’at mereka dan saling mengakui bahwa versi
qira’at mereka yang paling baik dan benar.
Melihat kenyataan yang memprihatinkan ini Utsman segera
mengundang para sahabat dari Anshar dan Muhajirin bermusyawarah mencari jalan
keluar dari masalah serius tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar
mushaf Abu Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Mushaf-mushaf itu
nantinya dikirim ke berbagai kota atau daerah untuk dijadikan rujukan bagi kaum
muslimin terutama manakala terjadi perselisihan qira’at al-Qur’an antar mereka.
Untuk terlaksananya tugas tersebut, khalifah Utsman
menunjuk satu tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit,
Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn al-‘As dan Abdurrahman ibn al-Haris ibn Hisyam.
Keempat orang ini adalah para penulis wahyu. Tim ini bertugas menyalin mushaf
al-Qur’an yang tersimpan di rumah Hafsah, karena dipandang sebagai mushaf
standar.
Hasil kerja tim tersebut berjudul empat mushaf al-Qur’an
standar. Tiga diantaranya dikirim ke Syam, Kufah, dan Basrah dan satu mushaf
ditinggalkan di Madinah untuk Utsman sendiri yang nantinya dikenal sebagai
al-Mushaf al-Imam.[19] Adapun mushaf yang semula dari Hafsah
dikembalikan lagi kepadanya. Ada juga riwayat yang mengatakan jumlah pengadaan
mushaf sebanyak 5 buah, ada lagi yang
menyebut 7 buah dan dikirim selain tiga tempat di atas ke Mekkah, Yaman, dan
Bahrain. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan al-Qur’an dapat
diselesaikan secara tuntas, Utsman memerintahkan semua mushaf al-Qur’an yang
berbeda dengan hasil kerja “panitia empat” ini segera dibakar.[20]
Tentang jumlah mushaf yang ditulis, berapapun jumlahnya
tidak menjadi persoalan. Yang pasti, upaya tersebut telah berhasil melahirkan
mushaf baku sebagai rujukan kaum muslimin dan menghilangkan perselisihan serta
perpecahan di antara mereka. Beberapa karakteristik mushaf al-Qur’an yang
ditulis pada masa Utsman ibn ‘Affan antara lain[21]:
1. Ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang
mutawatir.
2. Tidak memuat ayat-ayat yang mansukh.
3. Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib sebagaimana al-Qur’an
yang kita kenal sekarang. Tidak seperti mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa
Abu Bakar yang hanya disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya
disusun menurut urutan turun wahyu.
4. Tidak memuat sesuatu yang tidak tergolong al-Qur’an, seperti yang ditulis
sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing mushafnya, sebagai penjelasan atau
keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu.
5. Dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisyi sekalipun pada
mulanya diizinkan membacanya dengan menggunakan dialek lain.
Bila kita cermati tujuan pengumpulan al-Qur’an pada masa
Abu Bakar ialah mengumpulkan seluruh al-Qur’an menjadi satu, supaya sesuatu
darinya tidak ada yang hilang. Sementara tujuan penyalinan Utsman ke dalam
beberapa mushaf adalah membikin mushaf yang disepakati oleh seluruh ummat untuk
penyeragaman mushaf dan pembatasan bacaan. Karena dikhawatirkan nanti di
kemudian hari ada penyelewengan. Bentuk tulisan Utsmani ini adalah sesuai dan
persis dengan bentuk tulisan mushaf kumpulan Abu Bakar dan tulisan di zaman
Nabi Saw.[22]
C. PENYEMPURNAAN TULISAN AL-QUR’AN
Sepeninggal Utsman, mushaf al-Qur’an belum diberi tanda
baca seperti baris (harakat) dan tanda pemisah ayat. Karena daerah kekuasaan
Islam semakin meluas ke berbagai penjuru yang berlainan dialek dan bahasanya,
dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam memelihara umat dari kekeliruan
membaca dan memahami al-Qur’an.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa khalifah
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abu al-Aswad al-Duali, yang
memberi harakat atau baris yang berupa titik merah pada mushaf al-Qur’an. Untuk
“a” (fathah) di sebelah atas huruf, “u” (dhummah) di depan huruf dan “i”
(kasrah) di bawah huruf. Sedangkan syiddah berupa huruf lipat dua dengan dua
titik di atas huruf.
Usaha selanjutnya dilakukan pada masa Khalifah Abdul Malik ibn Marwan
(65-68 H). Dua orang murid Abu al-Aswad al-Duali yaitu Nasar ibn Ashim dan
Yahya ibn Ya’mar memberi tanda untuk beberapa huruf yang sama seperti “ba”,
“ta”, dan “tsa”.[23]
Dalam berbagai sumber diriwayatkan bahwa ‘Ubaidillah bin
Ziyad (w. 67 H) memerintahkan kepada seorang yang berasal dari Persia untuk
menambahkan huruf alif (mad) pada dua ribu kata yang semestinya dibaca dengan
suara panjang. Misalnya, “kanat” menjadi “kaanat”. Adapun
penyempurnaan tanda-tanda baca yang lain dilakukan oleh Imam Khalil ibn Ahmad pada tahun 162 H.[24]
D. OTENTISITAS DAN INTEGRITAS MUSHAF UTSMANI
Mushaf Utsmani, secara doktrinal, dipandang telah mencakup keseluruhan
wahyu ilahi yang diterima Muhammad yang semestinya dimasukkan ke dalam
kompilasi tersebut. Tetapi, sejumlah riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa
ini juga memberitakan eksistensi sejumlah wahyu lainnya yang tidak terekam
secara tertulis di dalamnya. Material-material ekstra qur’anik ini sebagian
besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar para ulama tentang
nasikh-mansukh. Sebagian lagi direkam dalam kumpulan hadits qudsi, yang sejak
awal Islam telah dipandang sebagai bukan bagian al-Qur’an, sekalipun sama-sama
bersumber dari tuhan.
Secara garis besarnya, terdapat tiga kategori utama dalam berbagai bahasan
tentang nasikh-mansukh[25]:
1.
Wahyu yang terhapus baik hukum maupun
bacaannya di dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilawah)
2. Wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaannya masih
terdapat di dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah)
3.
Wahyu yang terhapus teks atau bacaannya,
tetapi hukumnya masih berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm).
Dari ketiga kategori di atas, hanya kategori pertama dan terakhir yang
relevan serta berkaitan secara langsung dengan masalah otentisitas dan
integritas mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini –yakni mushaf Utsmani-
karena keduanya sama-sama menyiratkan tidak direkamnya sejumlah wahyu secara
tertulis ke dalam mushaf tersebut. Sekalipun demikian, wahyu-wahyu yang
dinyatakan “terhapus” ini sebagiannya masih sempat direkam dalam sejumlah
hadits serta riwayat lainnya.
Kategori yang pertama-tama akan dibahas di sini adalah bagian-bagian wahyu
yang teksnya masih sempat direkam di dalam sejumlah prophetologia, tetapi baik
bacaan maupun hukumnya dinyatakan terhapus (naskh al-hukm wa al-tilawah). Di
dalam riwayat-riwayat kategori ini, terdapat rujukan yang jelas tentang
eksistensinya sebagai bagian al-Qur’an pada masa tertentu. Yang paling sering
disebut, sekalipun dengan sejumlah perbedaan yang tajam antara satu dengan
lainnya, adalah ayat berikut:
لو ان لابن آدم واديان من مال لابتغى واديا ثالثا ولا يملأ
جوف ابن آدم الا التراب ويتوب الله من تاب
“Seandainya anak Adam (manusia) memiliki dua gunungan
harta kekayaan, maka ia akan meminta tambah untuk ketiga kalinya dua gunungan
harta kekayaan itu, tetapi hanya debu yang akan memenuhi perutnya. Dan Allah
akan mengampuni orang-orang yang kembali (bertaubat) kepada-Nya.”[26]
Dalam mushaf Ubay, ayat ini disisipkan di antara ayat 24 dan 25 surat 10.
Sejumlah sahabat Nabi, di antaranya Abu Musa al-Asy’ari, seperti dikemukakan
beberapa riwayat, memandangnya sebagai bagian al-Qur’an yang diwahyukan Tuhan,
tetapi pada masa belakangan telah dinasakh. Penjelasan tradisional juga
mengungkapkan gagasan yang sama sehubungan dengan eksistensi ayat/hadits itu.
namun dari segi rima (taqfiyah), nampaknya ayat tersebut tidak cocok
ditempatkan di sini, seandainya pernah diposisikan demikian, karena ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya rata-rata berima dalam –un – kecuali ayat 25 yang berima
dalam im (in). Lebih jauh kata-kata yang digunakannya secara jelas menunjukkan
asal usulnya sebagai hadits. Bahkan ungkapan ibn Adam, sebagaimana ditunjukkan
Schwally, merupakan ungkapan yang asing bagi al-Qur’an. Di samping itu, dalam
riwayat Bukhari dari Ibn Zubayr, ayat di atas hanya disebut sebagai hadits
Nabi, bukan wahyu al-Qur’an.[27]
Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Umar ibn Khattab, ketika menjabat
sebagai khalifah pernah bertanya kepada Abdurrahman ibn Auf apakah ia mengenal
ayat berikut ini:
جاهدوا
كما جاهدتم اول مرة
“Berjuanglah seperti kalian telah berjuang untuk
pertama kalinya.”
Jawaban Abdurrahman ibn Auf adalah ayat tersebut merupakan salah satu ayat
al-Qur’an yang terhapus. Penggunaan kosa kata dan struktur kalimatnya memang
terlihat sangat quranik, tetapi keberadaan versi lainnya dari ayat tersebut
lebih terelaborasi, membuat keraguan timbul sehubungan dengan asal usulnya
sebagai wahyu al-Qur’an. [28]
Dan masih banyak lagi tentang ayat-ayat quranik yang lazimnya didiskusikan
secara rinci dalam literatur-literatur nasikh-mansukh. Material-material
tersebut biasanya dimasukkan ke dalam kategori pertama nasikh-mansukh: naskh
al-hukm wa al-tilawah, yakni wahyu yang dihapus baik ketentuan hukum
ataupun bacaannya.
E. MUSHAF UTSMANI SEBAGAI MUSHAF RESMI
Adanya perbedaan dalam bacaan al-Qur’an
sebenarnya bukan barang baru sebab Umar sudah mengantisipasi bahaya perbedaan
ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibn Mas’ud ke Irak, setelah
Umar diberitahu bahwa dia mengajarkan al-Qur’an dalam dialek Hudhail
(sebagaiman Ibn Mas’ud mempelajarinya), dan Umar tampak naik pitam lalu berkata:
“Al-Qur’an telah diturunkan dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan
dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail.”[29]
Dalam menanggapi hal ini komentar Ibn Hajar
dirasa sangat penting. “Bagi kalangan umat Islam bukan Arab yang ingin membaca
al-Qur’an,” katanya: “Pilihan bacaan yang paling tepat adalah berdasarkan
dialek Quraisy. Sesungguhnya dialek Quraisy merupakan pilihan terbaik bagi
kalangan muslim bukan Arab (sebagaimana semua dialek Arab sama susahnya bagi
mereka).”[30]
Hudzaifah bin al-Yaman mengingatkan khalifah
pada tahun 25 H dan pada tahun itu juga Utsman menyelesaikan masalah perbedaan
dalam bacaan al-Qur’an sekaligus meminta pendapat mereka tentang bacaan dalam
beberapa dialek tertentu lebih unggul sesuai dengan afiliasi kesukuan. Ketika
ditanya pendapatnya sendiri beliau menjawab: “Saya tahu bahwa kita ingin
menyatukan manusia (umat Islam) pada satu mushaf (dengan satu dialek) maka
tidak akan ada perbedaan dan perselisihan dan kami menyatakan sebagai usulan
yang sangat baik.[31]
Terdapat dua riwayat tentang bagaimana Utsman
melakukan tugas ini. Satu di antaranya (yang lebih masyhur) beliau membuat
naskah semata-mata berdasarkan kepada shuhuf yang disimpan di bawah
penjagaan Hafsah, bekas istri Nabi Muhammad Saw. Riwayat kedua yang tidak
begitu terkenal menyatakan, Utsman terlebih dahulu memberi wewenang pengumpulan
mushaf dengan menggunakan sumber utama, sebelum membandingkannya dengan shuhuf
yang sudah ada. Kedua-dua versi riwayat sepaham bahwa shuhuf yang ada
pada Hafsah memainkan peranan penting dalam pembuatan mushaf Utsmani.[32]
Berdasarkan pada riwayat yang pertama Utsman
memutuskan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melacak shuhuf dari
Hafsah, mempercepat penyusunan penulisan, dan memperbanyak naskah. Pada waktu
itu, mushaf yang dibuat sendiri (independen) telah dibandingkan dengan shuhuf
resmi yang sejak semula ada pada Hafsah.
Seorang bisa saja keheran-heranan mengapa
khalifah Utsman bersusah payah mengumpulkan naskah tersendiri (otonom) sedang
akhirnya dibandingkan juga dengan shuhuf. Alasannya yang paling
mendekati kemungkinan barangkali sekedar upaya simbolik. Satu dasawarsa
sebelumnya ribuan sahabat, yang sibuk berperang melawan orang-orang murtad di
Yamamah dan di tempat lainnya, tidak bisa berpartisipasi dalam kompilasi shuhuf.
Untuk menarik lebih banyak kompilasi bahan-bahan tulisan, naskah Utsman
tersendiri (independen) memberi kesempatan kepada sahabat yang masih hidup
untuk melakukan usaha yang penting ini.
Usaha Utsman yang sungguh-sungguh jelas tampak
berhasil dan dilihat dari dua cara: pertama, tidak ada mushaf di wilayah
muslim kecuali mushaf Utsmani yang telah menyerap ke darah daging mereka; dan kedua,
mushaf atau kerangka teks Mushafnya dalam jangka waktu empat belas abad tidak
bisa dirusak. Sesungguhnya manifestasi Kitab Suci al-Qur’an adalah benar-benar
ajaib; interpretasi yang lain tidak berhasil. Khalifah berikutnya, mungkin
meneruskan usaha nenek moyangnya, mengutus dan terus mengirim naskah mushaf
yang resmi, tetapi tidak ada naskah yang dikirim yang bertentangan dengan
standar universal Mushaf Utsmani.
Sampai hari ini terdapat banyak mushaf yang
dinisbatkan langsung kepada Utsman, artinya bahwa mushaf-mushaf tersebut asli
atau kopian resmi dari yang asli. Mushaf-mushaf itu ditulis pada kulit, bukan
kertas, dan tampak sejaman. Teks-teks kerangkanya cocok satu sama lainnya dan
sama dengan mushaf-mushaf dari abad pertama hijrah dan setelahnya, sampai pada
mushaf-mushaf yang digunakan pada masa kita ini.[33]
Sebagai diketahui, mushaf Utsmani ditulis
dengan kaidah-kaidah tersendiri, yang oleh beberapa kalangan dinilai ada
penyimpangan dari aturan bahasa secara konvensional.[34] Mushaf Utsmani adalah mushaf yang telah
disusun oleh tim atas instruksi dari Khalifah Utsman bin Affan pada masa
kekhalifahannya. Meskipun kita tidak memungkiri bahwa terdapat berbagai
pendapat yang meragukan keotentikan mushaf Utsmani. Namun, kenyataannya hingga
saat ini umat Islam di seluruh dunia menjadikan mushaf Utsmani itu sebagai
mushaf resmi.
F. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejarah pengumpulan al-Qur’an terbagi dalam tiga fase yaitu pada masa Rasulullah,
Abu Bakar al-Shiddiq, dan Utsman bin Affan.
a. Pada masa Rasulullah dikategorikan menjadi dua upaya untuk penghafalan dan
untuk penulisan. Penulisan al-Qur’an pada masa ini, dilakukan untuk mencatat
dan menulis setiap wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi dengan
menertibkan ayat-ayatnya dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk
Nabi. Ayat-ayat tersebut ditulis secara terpisah-pisah pada kepingan-kepingan
tulang, pelepah-pelepah kurma, dan batu-batuan. Penulisan pada masa ini belum terkumpul
menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni: pertama, tidak
adanya faktor pendorong untuk membukukan al-Qur’an menjadi satu mushaf
mengingat Rasulullah masih hidup, dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang
diduga akan mengganggu kelestarian al-Qur’an. Kedua, al-Qur’an
diturunkan berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila al-Qur’an baru bisa
dikumpulkan dalam satu mushaf setelah Nabi Saw wafat. Ketiga, selama
proses turun al-Qur’an, masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat al-Qur’an
yang mansukh.
b. Penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar dilakukan untuk menghimpun
dan menyalin kembali catatan-catatan serta tulisan-tulisan yang ada menjadi
satu mushaf, dengan tertib surat-suratnya menurut urutan turun wahyu. Faktor pendorongnya
adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan hilangnya sesuatu dari al-Qur’an
disebabkan banyaknya para sahabat penghafal al-Qur’an yang gugur di medan
perang. Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa ini adalah: pertama,
seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan
penelitian yang cermat dan seksama. Kedua, meniadakan ayat-ayat
al-Qur’an yang telah mansukh. Ketiga, seluruh ayat yang ada telah diakui
kemutawatirannya. Keempat, dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini
berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa
Rasulullah.
c. Penulisan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan dilakukan untuk menyalin
mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar menjadi beberapa mushaf dengan tertib
ayat maupun suratnya sebagaimana yang ada sekarang. Faktor pendorong usaha
tersebut adalah adanya perpecahan di kalangan kaum muslimin yang disebabkan
adanya perbedaan qira’at al-Qur’an di antara mereka. Adapun karakteristik
penulisan al-Qur’an pada masa ini: Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang
ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir. Kedua, tidak
memuat ayat-ayat yang mansukh. Ketiga, surat-surat maupun ayat-ayatnya
telah disusun dengan tertib sebagaimana al-Qur’an yang kita kenal sekarang.
Tidak seperti mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Abu Bakar yang hanya
disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut urutan
turun wahyu. Keempat, tidak memuat sesuatu yang tidak tergolong
al-Qur’an, seperti yang ditulis sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing
mushafnya, sebagai penjelasan atau keterangan terhadap makna ayat-ayat
tertentu. Kelima, dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek
Quraisyi sekalipun pada mulanya diizinkan membacanya dengan menggunakan dialek
lain.
2. Mushaf Utsmani adalah mushaf yang telah disusun oleh tim atas instruksi
dari Khalifah Utsman bin Affan pada masa kekhalifahannya. Meskipun kita tidak
memungkiri bahwa terdapat berbagai pendapat yang meragukan keotentikan mushaf
Utsmani. Namun, kenyataannya hingga saat ini umat Islam di seluruh dunia
menjadikan mushaf Utsmani itu sebagai mushaf resmi.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufiq Adnan. 2005. Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Alvabet. Cet. I.
Al-A’zami, M.M. 2008. The History of The
Qur’anic Text: from Revelation to Compilation. Penj. Sohirin Solihin dkk.
Jakarta: Gema Insani. Cet. III.
Birri, Maftuh Basthul. 1996. Mari Memakai
Al-Qur’an Rosm Utsmaniy. PP. Lirboyo Kediri, Madrasah Murottilil Qur’anil
Karim.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Jumanatul ‘Ali-Art.
Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an
Komprehensif. Yogyakarta: Gema Media.
Al-Munawwar, Said Agil Husin. 2002. Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki. Ed. Abdul Halim. Jakarta: Ciputat Press. Cet. II.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. tt. Al-Itqan fi
ulum al-Qur’an. Beirut: Daar al-Fikr.
Supiana & M. Kariman. 2002. Ulumul
Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika.
Al-Qaththan, Manna’. 1973. Mabahits fi ulum
al-Qur’an. Surabaya: Al-Hidayah.
Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah.
1957. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Mesir: ‘Isa al-Babi al-Halabi.
* Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas
Mata Kuliah Studi Al-Qur’an yang
diampu oleh Prof. DR. Rosikhan Anwar, M.Ag
dan DR. Wawan Juandi, MA. pada Program S2 Kader Ulama Konsentrasi Aqidah dan
Filsafat Hukum Islam Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.
[1]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum
al-Qur’an (Surabaya: Al-Hidayah, 1973), h. 21.
[2]
Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, al-‘Irfan
fi Ulum al-Qur’an, juz I, h. 246 dalam Said Agil Husin Al-Munawar,
Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.
15.
[3]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum
al-Qur’an, h. 125.
[4]
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 15.
[5]
Ahmad Adil Kamal, Ulum al-Qur’an, h. 34 dalam Said Agil Husin
Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 16.
[6]
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 15.
[7]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum
al-Qur’an, h. 118.
[8]
QS. Al-Qiyaamah (75): 17.
[9]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum
al-Qur’an, h. 123.
[10]
Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, al-‘Irfan
fi Ulum al-Qur’an, h. 248.
[11]
Muchotob Hamzah, Studi al-Qur’an
Komprehensif (Yogyakarta: Gema Media, 2003), h. 125.
[12]
Shubhi Shalih, Mabahits fi ulum al-Qur’an, h. 74 dalam Said Agil
Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 18.
[13]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulum
al-Qur’an, h. 124.
[14]
Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, h.
252 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, h. 18.
[15]
Muchotob Hamzah, Studi al-Qur’an
Komprehensif, h. 127-128.
[16]
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 19.
[17]
Ibrahim al-Ibyari, Tarikh al-Qur’an
(Kairo: Daar al-Qalam, 1965), h. 81 Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 20.
[18]
Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya
terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
1995), h. 56 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, h. 20.
[19]
Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah
al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (Mesir: ‘Isa al-Babi al-Halabi,
1957), Jilid I, h. 240 dalam Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 21.
[20]
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 21.
[21]
Ibid, h. 21-22.
[22]
Maftuh Basthul Birri, Mari Memakai al-Qur’an Rasm Utsmaniy (PP. Lirboyo
Kediri, Madrasah Murottilil Qur’anil Karim), h. 39.
[23] Ibid, h. 22.
[24] Shubhi Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, h. 106 dalam Said Agil Husin
Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, h. 23.
[25]
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an
(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 260.
[26] Teks
terambil dari Jeffery, Materials, h. 135 dalam Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah al-Qur’an, h. 261.
[27]
Bukhari, Shahih dalam Taufiq Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, h. 261.
[28]
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah
al-Qur’an, h. 263.
[29]
Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid ix, h.
9 dalam Al-A’zami, M.M., The History
of The Qur’anic Text: from Revelation to Compilation (Jakarta: Gema Insani,
2008), cet iii, h. 97.
[30]
Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid ix, h.
27 dalam Ibid, h. 98.
[31]
Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid x, h.
402 dalam Ibid, h. 98.
[32]
Al-A’zami, M.M., The History of The
Qur’anic Text: from Revelation to Compilation (Jakarta: Gema Insani, 2008),
cet iii, h. 98.
[33]
Al-A’zami, M.M., The History of The
Qur’anic Text, h. 120.
[34]
Supiana & M. Karman. Ulumul Qur’an
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h. 231.
mohon izin mengkopi...
ReplyDeleteterima kasih..