Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: TAUHID DAN EKONOMI

2012/05/09

TAUHID DAN EKONOMI


KONSEP TAUHID DAN IMPLEMENTASINYA DALAM MEMBANGUN TATANAN EKONOMI UMAT ISLAM
Oleh: Zulkifli, S.Pd.I*

A.    PENDAHULUAN
Agama mempunyai tiga pondasi pokok yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Iman, dalam konteks kekinian sering disebut dengan teologi, ilmu kalam, aqidah, atau tauhid. Adapun Islam, sering diekuivalenkan dengan syari’at atau fiqih. Sedangkan ihsan terkadang diistilahkan dengan tasauf atau akhlak.
Iman atau tauhid itu sendiri merupakan unsur utama dalam suatu agama. Ia merupakan ilmu yang bersifat global (kulli). Sedangkan ilmu-ilmu yang lain bersifat parsial (juz’i), sehingga ilmu-ilmu yang lain yang bersifat juz’i itu harus dilandasi dengan ilmu tauhid yang bersifat kulli.
Ilmu tauhid itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan yang berkaitan dengannya, seperti sifat-sifat Tuhan. Adapun hakikat tauhid dalam Islam itu sebenarnya adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik dalam ibadah, seperti shalat, puasa, membayar zakat, haji, dan sebagainya, juga dalam bermuamalah, seperti dalam hal ekonomi, politik, sosial maupun budaya.
Nilai-nilai tauhid dalam beribadah, tampak jelas dan merupakan sesuatu yang lumrah, karena ibadah itu pasti didasari oleh keimanan atau ketauhidan kepada Allah. Berbeda halnya dalam bermuamalah. Banyak orang yang tauhidnya mantap ketika beribadah kepada Allah, tetapi dalam bermuamalah, ia justru tidak menampakkan sedikitpun nilai-nilai tauhid yang ada pada dirinya. Banyak orang yang tidak pernah meninggalkan shalat, tapi jarang juga meninggalkan maksiat. Banyak orang yang rajin puasa, tapi tekun juga berkata dusta. Banyak orang yang sering mengerjakan ibadah haji dan umrah, tetapi sering juga menipu orang dalam bertijarah.
Problematika-problematika di atas adalah fenomena yang sering kita hadapi dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam kegiatan sosial ekonomi. Betapa banyak umat Islam yang tekun dalam beribadah, tetapi jarang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, tidak sehat dalam berpolitik, sering berlaku tidak jujur dalam bertijarah ataupun dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang lain, dan masih banyak kegiatan-kegiatan muamalah yang tidak didasari dengan nilai-nilai tauhid.
Umat Islam, seyogianya tidak hanya tekun dalam beribadah, tetapi juga harus benar dalam bermuamalah. Dengan kata lain, umat Islam itu di samping memiliki kesalehan ritual, juga harus memiliki kesalehan sosial. Umat Islam harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai ketauhidannya kepada Allah SWT dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis ingin membahas tentang Tauhid dan Tatanan Ekonomi Umat Islam, sebagai pedoman dasar bagi kita untuk mengimplementasikan nilai-nilai tauhid yang kita miliki dalam bentuk aktifitas sehari-hari terutama dalam kegiatan ekonomi. Dalam makalah ini, akan dibahas lebih awal tentang definisi tauhid itu sendiri, kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang Islam dan Konsep Ekonomi, dan selanjutnya akan dibahas tentang Implementasi Tauhid dalam Membangun Tatanan Ekonomi Umat Islam, dan diakhiri dengan kesimpulan dari isi makalah yang telah dibahas.
 
B.     DEFINISI TAUHID
Tauhid secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kalimat wahhada-yuwahhidu-tauhidan, artinya mengesakan. Sedangkan menurut istilah, tauhid adalah mengesakan Allah ta’ala dalam uluhiyah, rububiyah, nama-nama dan sifat-sifatNya[1].
Menurut Syaikh Muhammad Abduh[2],
التوحيد علم يبحث فيه عن وجود الله وما يجب أن يثبت له من صفات، وما يجوز أن يوصف به وما يجب أن ينفى عنه، وعن الرسل لإثبات رسالتهم وما يجب أن يكونوا عليه، وما يجوز أن ينسب إليهم وما يمتنع أن يلحق بهم.
“Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali yang wajib ditiadakan (mustahil) dari pada-Nya. Juga membahas tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisbatkan) pada diri mereka dan hal-hal yang terlarang (mustahil) menghubungkannya kepada diri mereka.“
Sayyid Husein Afandi al-Jisr al-Tarabulisi menerangkan[3]:
اعلم أن علم التوحيد هو علم يبحث فيه عن إثبات العقائد الدينية بالأدلة اليقينية. وثمرته هي معرفة صفات الله تعالى ورسله بالبراهين القطعية والفوز بالسعادة الأبدية وهو أصل العلوم الدينية وأفضلها لكونه متعلقا بذات الله تعالى وذات رسله عليهم الصلاة والسلام. وشرف العلوم بشرف المعلوم. وقد جاءت به جميع الرسل عليهم الصلاة والسلام من لدن سيدنا آدم إلى سيدنا محمد عليه وعليهم الصلاة والسلام.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ilmu tauhid itu ialah ilmu yang membahas padanya menetapkan kepercayaan agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan (nyata). Buah faedahnya ialah mengetahui sifat-sifat Allah Ta’ala dan Rasul-rasul-Nya dengan bukti-bukti yang pasti, akhirnya mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan yang abadi. Ilmu tauhid adalah pokok paling utama dari semua agama. Karena bertalian erat dengan Dzat Allah Ta’ala serta Rasul-rasul-Nya ‘Alaihimus Shalatu Wassalam, keadaan suatu ilmu itu tergantung pada keutamaan apa yang dimaklumi. Ilmu tauhid dibawa oleh sekalian Rasul-rasul-Nya ‘Alaihimus Shalatu Wassalam, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, semoga shalawat dan salam tetap baginya serta bagi para Rasul-rasul.”
Ibnu Khaldun menerangkan[4]:
التوحيد هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والرد على المبتدعة المنحرفين فى الإعتقادات عن مذاهب السلف وأهل السنة.
“Ilmu tauhid ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan mempergunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah.”
Menurut ulama-ulama Ahli Sunnah[5]:
وأما التوحيد أن الله تعالى واحد فى ذاته لا قسيم له. وواحد فى صفاته الأزلية لا نظير له وواحد فى أفعاله لا شريك له
Adapun tauhid itu ialah bahwa Allah SWT itu Esa dalam Dzatnya, tidak terbagi-bagi. Esa dalam sifat-sifat-Nya yang azali, tiada tara bandingan bagi-Nya dan Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya tiada sekutu bagi-Nya.
Pada intinya, ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang ketuhanan dan sifat-sifat-Nya baik yang wajib, mustahil, maupun jaiz bagi-Nya. Di samping itu, dalam ilmu tauhid juga dibahas tentang Rasul-Rasul Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari Kiamat, qada’ dan qadar-Nya.
Tauhid merupakan ilmu yang membahas sesuatu yang paling fundamental dalam bangunan Islam. Hal tersebut tidak lain karena tauhid sangat bersentuhan sekali dengan aspek-aspek aqidah atau pokok-pokok keimanan manusia.[6]
Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan paling esensial. Secara etimologis -seperti yang sudah disinggung di atas- tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."[7]
Formulasi paling pendek dari tauhid itu ialah kalimat thayyibah: la ilaha illa Allah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Dengan mengatakan "tidak ada Tuhan selain Allah", seorang telah memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dan menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Karena itu, hubungan manusia dengan Allah tak setara dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk. Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan menjadi nilai (value) baginya, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah. Komitmennya kepada Tuhan adalah utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian, ketaatan dan kepasrahan (kepada Tuhan), serta kemauan keras untuk menjalankan kehendak-kehendak-Nya.[8]
La ilaha illa Allah meniadakan otoritas dan petunjuk yang datang bukan dari Tuhan. Jadi, sesungguhnya kalimat thayyibah merupakan kalimat pembebasan bagi manusia. Dengan tauhid, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka, tetapi juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah hamba Allah yang berstatus sama. Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektivitas manusia, baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya. Semuanya berkedudukan sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat ketakwaan pada Allah SWT. Firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[9]
Sekali seorang manusia atau suatu bangsa merasa dirinya lebih inferior dibanding manusia atau bangsa lainnya, maka ia akan kehilangan kebebasan dan jatuh ke dalam perbudakan mental. Seseorang yang mengakui superioritas sekelompok manusia tertentu -entah berdasarkan kekuasaan, warna kulit, ataupun atas dasar apa saja- berarti dengan sendirinya ia akan kehilangan kebebasan dan sekaligus meremehkan makna tauhid. Demikian juga dalam masalah-masalah keagamaan. Islam tidak mengakui setiap lembaga yang menyerupai lembaga kependetaan, karena Tuhan tidak pemah mempercayakan suatu perwalian untuk mewakili-Nya di muka bumi ini. "La rahbaniyyata fil Islam" (Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam), demikian Nabi Muhammad SAW berkata. Dengan perkataan lain, sekali seorang manusia merasa lebih rendah atau lebih tinggi dari pada manusia lainnya, ia telah jatuh ke dalam syirk -lawan tauhid-.[10]
Di samping membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada sesama makhluk, kalimat thayyibah juga mengajarkan emansipasi manusia dari nilai-nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan-kesenangan sensual belaka. Suatu kehidupan yang didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan, dan penumpukan kekayaan, pasti akan mengeruhkan akal sehat dan mendistorsi pikiran jernih. Dengan tajam Al-Qur’an menyindir orang-orang semacam ini:
|M÷ƒuäur& Ç`tB xsƒªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd |MRr'sùr& ãbqä3s? Ïmøn=tã ¸xÅ2ur ÇÍÌÈ   ÷Pr& Ü=|¡øtrB ¨br& öNèduŽsYò2r& šcqãèyJó¡o ÷rr& šcqè=É)÷ètƒ 4 ÷bÎ) öNèd žwÎ) ÄN»yè÷RF{$%x. ( ö@t/ öNèd @|Êr& ¸xÎ6y ÇÍÍÈ  
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?  atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).[11]

C.    ISLAM DAN KONSEP EKONOMI
Kehidupan orang-orang pra-Islam diwarnai dengan tajamnya stratafikasi sosial dengan berbagai implikasi psikologis yang menyertainya. Ada sejumlah kecil anggota masyarakat yang memiliki semua akses kekuatan, ekonomi, politik, dan intelektual. Berbagai sisi kelebihan tersebut jalin-menjalin yang pada gilirannya menempatkan sekelompok kecil orang tersebut pada posisi yang sangat penting dengan semua hak istimewa yang dimilikinya.
Sedangkan sejumlah besar lainnya berada pada posisi yang sangat kontras. Mereka hampir tidak memiliki akses kekuatan apapun, termasuk kemerdekaan pribadinya sebagai manusia, serta hak-hak perdatanya yang sangat mendasar. Mereka adalah orang-orang miskin dan budak-budak belian yang secara turun-temurun mewarisi kodrat hidupnya tanpa menyadari hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Nabi Muhammad lahir untuk melakukan berbagai perubahan radikal dan meyeluruh, untuk mereformasi secara total kehidupan manusia yang penuh dengan ketimpangan itu. Agama yang diajarkan membawa aspirasi dan ide tentang tauhid, demokrasi (politik) dan keadilan sosial (ekonomi). Sesuai dengan tingkat perkembangan pemikiran dan tahapan pertumbuhan sosial saat itu, Nabi memberikan petunjuk-petunjuk operasional dan teladan-teladan nyata melalui sunnah-nya.
Namun dalam konteks aplikasinya lebih lanjut, pokok-pokok ajaran Islam tersebut memerlukan langkah-langkah sistematisasi dan interpretasi-interpretasi baru guna menyesuaikan dengan tingkat perkembangan kehidupan umat manusia dan aspirasi-aspirasinya yang kian meningkat, sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Teks-teks keagamaan (al-Nushush al-Syar’iyyah) memuat banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang kehidupan perekonomian, baik secara eksplisit (sharih) maupun implisit (ghairu sharih). Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral yang menekankan pada ide-ide keadilan sosial dan ekonomi.[12] Misalnya pandangan Islam tentang dunia kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran dalam berusaha, produktifitas kerja, dan sebagainya.
Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi, maupun spiritual, yang didampingi oleh ekonomi, sosial, dan politik.[13] Namun, dalam konteks ini tidak akan dibahas seluruh aspek kehidupan, tetapi hanya difokuskan pada aspek ekonominya.
Ekonomi merupakan kegiatan manusia dan kegiatan masyarakat untuk mempergunakan unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya dengan maksud untuk memenuhi pelbagai kebutuhan.[14] Ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan, sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari, kehidupan manusia sehari-hari didominasi kegiatan ekonomi. Ekonomi Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan petunjuk Allah Swt. dalam rangka memperoleh ridho-Nya.
Aktivitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, impor, ekspor, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah.
Ekonomi dalam pandangan Islam bukanlah tujuan akhir dari kehidupan ini tetapi suatu pelengkap kehidupan, sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, penunjang dan pelayanan bagi akidah dan bagi misi yang diembankannya.[15]
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah. [16]

D.    IMPLEMENTASI TAUHID DALAM MEMBANGUN TATANAN EKONOMI UMAT ISLAM
Resistensi terhadap globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis sebagai motor penggerak utama globalisasi sebenarnya sudah sering disuarakan, bahkan dari jantung kapitalisme itu sendiri.  Berbagai peristiwa dekade terakhir, terutama krisis ekonomi tahun 1997 di Asia telah semakin menimbulkan kesadaran bahwa tatanan ekonomi dunia saat ini mencerminkan ketidak-adilan dan ketimpangan struktur ekonomi di banyak tempat terutama negara-negara berkembang. Beberapa alternatif telah dimajukan, seperti green economy. Belakangan banyak kalangan, termasuk ahli-ahli ekonomi Barat mulai melirik sistem ekonomi yang ditawarkan oleh Islam sebagai pilar tatanan ekonomi baru dunia.
Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan Tuhan), khilafah (perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat Esa, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S. Ali Imran:191; Shad:27; al-Mu’minun:15). Dari pandang tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu. Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini, jelas bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi dari pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya alam sebagai amanah karena statusnya sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta. Pandangan ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25). Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor ekonomi, bahkan pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor riil menjadi tidak tepat karena mengakibatkan terjadi ketidakadilan dan ketidak-merataan. [17]
Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatan sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi adalah kerusakan alam yang pada gilirannya adalah ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga pada manusia dalam jangka panjang.
Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal.  Tujuan ini juga berhubungan dengan prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij: 24-25).  Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi Islam bisa dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf.
Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif, sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru) yang lebih banyak dari pada yang mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-sektor yang mampu menyerap semua lapisan.
Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah. Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial, sehingga mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah.  Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat diaplikasikan dengan modifikasi tertentu yang mempunyai tugas dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena suatu sistem ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.[18]
Di samping empat hal di atas, dalam membangun tatanan ekonomi yang islami, perlu adanya pemahaman yang mantap tentang tauhid, karena tauhid itu merupakan salah satu pondasi yang utama dalam ekonomi Islam. Selain itu, tauhid juga merupakan ilmu yang bersifat global (kulli) yang merupakan pondasi pokok dalam semua ilmu, baik yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya, maupun ilmu yang berkaitan dengan muamalah, seperti ilmu tentang politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Ilmu tauhid itu adalah ilmu yang paling dasar yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Namun kenyataannya, kita melihat sebagian masyarakat penganut Islam masih belum memahami arti tauhid, sehingga mereka sesungguhnya masih belum merdeka dan belum menyadari status manusiawinya. Di sinilah sebenarnya letak kemandekan kebanyakan masyarakat Muslim dewasa ini. Kita bisa mengatakan bahwa keterbelakangan ekonomi, stagnasi intelektual, degenerasi sosial, dan pelbagai macam kejumudan lainnya yang diderita oleh masyarakat Muslim, sesungguhnya berakar pada kemerosotan tauhid. Oleh karena itu, untuk melakukan restorasi dan rekonstruksi manusia-Muslim, baik secara individual maupun kolektif, tauhid adalah masalah pertama dan terpenting untuk segera dipersegar dan diluruskan. Dengan demikian, jelas bahwa anjuran sekularisasi, misalnya untuk memperbarui pemahaman Islam, adalah suatu ajakan yang tidak mempunyai dasar di dalam Islam, dan akan membuat kemerosotan umat menjadi lebih parah. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan ialah bahwa komitmen manusia-tauhid tidak saja terbatas pada hubungan vertikalnya dengan Tuhan, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk; dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah ini memberikan visi kepada manusia-tauhid untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Pada gilirannya, visi ini memberikan inspirasi pada manusia-tauhid untuk mengubah dunia di sekelilingnya agar sesuai dengan kehendak Allah, dan inilah misi manusia-tauhid atau manusia-Muslim. Misi ini menuntut serangkaian tindakan agar kehendak Allah tersebut terwujud menjadi kenyataan, dan misi ini merupakan bagian integral dari komitmen manusia-tauhid kepada Allah. Misi untuk mengubah dunia, menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan pelbagai nilai utama, dan memberantas kerusakan di muka bumi (fasad fil ardh), bukanlah sekadar suatu derivative, melainkan merupakan bagian integral dari komitmen manusia-tauhid kepada Allah. Gabungan dari manusia-manusia tauhid inilah yang kemudian membentuk suatu ummah. Dengan menegakkan kebenaran dan keadilan (amar ma'ruf) dan memberantas kejahatan (nahi munkar) sebagai dua ciri utamanya, umat-tauhid menunjukkan sasaran dari gerakannya bukan pada bangsa atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan pada seluruh kemanusiaan itu sendiri, seperti difirmankan oleh Allah:
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”[19]
Manusia-tauhid dan umat-tauhid mempunyai kewajiban untuk menegakkan suatu orde sosial yang adil dan etis. Al-Qur’an mengutuk ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, dan menyuruh kita untuk menegakkan suatu tatanan sosial yang etis dan egalitarian. Surat-surat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad SAW sewaktu beliau masih berada di Mekah, mengecam keras dua macam masalah: politeisme atau kemajemukan dewa-dewa yang simtomatis dari masyarakat yang terpecah belah, dan disparitas sosio-ekonomi yang bersarang pada keterpecahbelahan masyarakat. Kedua hal ini merupakan dua sisi dari satu mata uang. Al-Qur’an bertubi-tubi menyerang disparitas ekonomi, justru karena masalah ini memang sangat sulit dipecahkan.
Al-Qur’an jelas tidak melarang manusia untuk mengumpulkan harta benda, akan tetapi penyalahgunaan kekayaan — yang menyebabkan manusia buta terhadap nilai-nilai luhur — dikecam keras oleh Al-Qur’an:
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”[20]
Dalam ayat lain Allah berfirman:
!$]ùã÷zãur 4 bÎ)ur @à2 y7Ï9ºsŒ $£Js9 ßì»tFtB Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# 4 äotÅzFy$#ur yYÏã y7În/u tûüÉ)­FßJù=Ï9 ÇÌÎÈ  
“Dan (kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”[21]
Al-Qur’an sangat menekankan keadilan distributif. Keadilan ini seratus persen berseberangan dengan penumpukan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh mungkin mengancam penumpukan harta. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin. [22]
Sekelompok masyarakat tidak diperkenankan menjadi terlalu kaya, sementara kelompok lainnya menderita kemiskinan yang bertentangan dengan harkat kemanusiaan sebagai suatu kebijakan ekonomi dalam ajaran Islam.
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$#
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”[23]
Dengan demikian, menjadi tanggung jawab manusia dan umat-tauhid untuk selalu bekerja keras dan mencari pemecahan-pemecahan yang efektif untuk melaksanakan prinsip keadilan distributif tersebut. Namun kita tidak boleh lupa bahwa keadilan sosio-ekonomi bukanlah tujuan akhir. Keadilan sosio-ekonomi itu sendiri adalah jembatan untuk menuju suatu tujuan yang jauh lebih tinggi, yaitu kebahagiaan akhirat. Dengan visinya, manusia dan umat-tauhid harus melihat konsekuensi-konsekuensi tindakannya, baik di dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan, maupun bidang kehidupan lainnya, dan mengarahkannya ke suatu tujuan yang menjadi dasar komitmennya pada Allah. Ini semua tidak mungkin akan bisa dicapai kecuali dengan jihad -dalam arti badzlul juhdi- ke arah total seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran untuk mewujudkan kalimatullah hiyal 'ulya, yaitu terselenggaranya nilai-nilai yang diridhai oleh Allah SWT. Hal ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
žwÎ) çnrãÝÁZs? ôs)sù çnt|ÁtR ª!$# øŒÎ) çmy_t÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 šÎT$rO Èû÷üoYøO$# øŒÎ) $yJèd Îû Í$tóø9$# øŒÎ) ãAqà)tƒ ¾ÏmÎ7Ås»|ÁÏ9 Ÿw ÷btøtrB žcÎ) ©!$# $oYyètB ( tAtRr'sù ª!$# ¼çmtGt^Å6y Ïmøn=tã ¼çny­ƒr&ur 7ŠqãYàfÎ/ öN©9 $yd÷rts? Ÿ@yèy_ur spyJÎ=Ÿ2 šúïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 4n?øÿ¡9$# 3 èpyJÎ=Ÿ2ur «!$# šÏf $uù=ãèø9$# 3 ª!$#ur îƒÍtã íOŠÅ3ym ÇÍÉÈ  
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu Dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[24]
Esensi dari pengalaman beragama dalam Islam adalah tauhid, yaitu pengakuan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah (la ilaha illa Allah). Tauhid membersihkan agama secara mutlak dari semua keraguan menyangkut transendensi dan keesaan Tuhan. Dengan itu, ia mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu pengukuhan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta alam raya, dan mensederajatkan semua manusia sebagai makhluk Tuhan, yang dikaruniai sifat-sifat esensial manusia yang sama, dengan status kosmik yang sama pula.[25]

E.     KESIMPULAN
Tauhid adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan yang berkaitan dengannya, seperti sifat-sifat Tuhan. Hakikat tauhid dalam Islam itu sendiri adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun muamalah.
Umat Islam, seyogianya tidak hanya tekun dalam beribadah, tetapi juga harus benar dalam bermuamalah. Dengan kata lain, umat Islam itu di samping memiliki kesalehan ritual, juga harus memiliki kesalehan sosial. Umat Islam harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai ketauhidannya kepada Allah SWT dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.
Nilai-nilai tauhid harus diimplementasikan dalam muamalah kita sehari-hari misalnya dalam kegiatan ekonomi seperti berlaku jujur, adil, amanah, dan transparansi.



DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. tt. Risalah al-Tauhid. Kairo.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Engineer, Asghar Ali.  1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Esha, Muhammad In’am. 2008.  Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer. Malang: UIN Malang Press.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1988. Tawhid; It’s Implication for Though and Live. Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Fazlurrahman, Islam, cet.II, terj. Ahsin Mohammad. Bandung : Pustaka, 1994.
Ibnu Khaldun. 1971. Muqaddiman Ibnu Khaldun. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah.
Ibnu Maryam, Globalisasi dan Tatanan Ekonomi Islam, dikutip 19/10/2011, dari: http://ibnumariam.wordpress.com/2010/06/22/globalisasi-dan-tatanan-ekonomi-islam/.
al-Ied, Umar Bin Su’ud. 1419 H. Tauhid; Ahammiyatuhu wa Tsamaratuhu. Riyadh, al-Maktab al-Ta’awuni li al-Dakwah wa al-Irsyad.
Rais, M. Amien. 1996. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan.
Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad. 2005. Al-Milal wa An-Nihal. Bairut: Daar al-Fikr.
al-Tarabulisi, Husein Afandi al-Jisr. tt. Hushun al-Hamidiyah. Surabaya: Maktabah Tsaqafiyah.
Qardhawi, Yusuf. 2006. Daur al-Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami. Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani.


*     Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Aqidah yang diampu oleh DR. H. Abdul Kadir Riyadi, MA pada Program S2 Kader Ulama Konsentrasi Aqidah dan Filsafat Hukum Islam Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.
[1]    Umar Bin Su’ud al-Ied, Tauhid; Ahammiyatuhu wa Tsamaratuhu (Riyadh, al-Maktab al-Ta’awuni li al-Dakwah wa al-Irsyad, 1419 H), h. 8.
[2]    Syaikh Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Kairo: tt), h. 7.
[3]    Sayyid Husein Afandi al-Jisr al-Tarabulisi, Hushun al-Hamidiyah (Surabaya: Maktabah Tsaqafiyah, tt), h. 6.
[4]    Ibnu Khaldun, Muqaddiman Ibnu Khaldun (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1971), h. 363.
[5]    Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal (Bairut- Libanon: Daar al-Fikr, 2005), h. 32.
[6]   Muhammad In’am  Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer (Malang:UIN Malang Press, 2008), h. 6.
[7]    QS. Al-Ikhlas (112): 1-4.
[8]    M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1996), h. 13.
[9]    QS. Al-Hujurat (49): 13.
[10]   M. Amien Rais, Cakrawala Islam, h. 14.
[11]   QS. Al-Furqan (25): 43-44.
[12]   Fazlurrahman, Islam, cet.II, Penj. Ahsin Mohammad, (Bandung : Pustaka, 1994), h.36.
[13]   Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlak fil Iqtishadil Islami. Edisi Terjemah: Norma dan Etika Ekonomi Islam, oleh: Zainal Arifin dan Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 33.
[14]   Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 142.
[15]   Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlak fil Iqtishadil Islami, h. 33.
[16]   Ibid, h. 31.
[17]   Ibnu Maryam, Globalisasi dan Tatanan Ekonomi Islam, dikutip 19/10/2011 pukul 8.46 pm, dari: http://ibnumariam.wordpress.com/2010/06/22/globalisasi-dan-tatanan-ekonomi-islam/, Posted on Juni 22, 2010.
[18]   Ibnu Maryam, Globalisasi dan Tatanan Ekonomi Islam, dikutip 19/10/2011 pukul 8.46 pm, dari: http://ibnumariam.wordpress.com/2010/06/22/globalisasi-dan-tatanan-ekonomi-islam/, Posted on Juni 22, 2010.
[19]   QS. Ali Imran (3): 110.
[20]   QS. Ali Imran (3): 14.
[21]   QS. Az-Zukhruf (43): 35.
[22]   Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 52-53.
[23]   QS. Al-Hasyr (59): 7.
[24]   QS. At-Taubah (9): 40.
[25]   Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid; It’s Implication for Though and Live. Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1988), h. 165.

No comments:

Post a Comment