KONSEP TAUHID DAN IMPLEMENTASINYA DALAM MEMBANGUN TATANAN EKONOMI UMAT ISLAM
Oleh:
Zulkifli, S.Pd.I*
A. PENDAHULUAN
Agama
mempunyai tiga pondasi pokok yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Iman, dalam konteks
kekinian sering disebut dengan teologi, ilmu kalam, aqidah, atau tauhid. Adapun
Islam, sering diekuivalenkan dengan syari’at atau fiqih. Sedangkan ihsan terkadang diistilahkan dengan tasauf atau akhlak.
Iman atau tauhid itu sendiri
merupakan unsur utama dalam suatu agama. Ia merupakan ilmu yang bersifat global
(kulli). Sedangkan ilmu-ilmu yang lain bersifat parsial (juz’i),
sehingga ilmu-ilmu yang lain yang bersifat juz’i itu harus dilandasi
dengan ilmu tauhid yang bersifat kulli.
Ilmu tauhid itu sendiri adalah ilmu
yang mempelajari tentang ketuhanan dan yang berkaitan dengannya, seperti
sifat-sifat Tuhan. Adapun hakikat tauhid dalam Islam itu sebenarnya adalah
penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun
muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik
dalam ibadah, seperti shalat, puasa, membayar zakat, haji, dan sebagainya, juga
dalam bermuamalah, seperti dalam hal ekonomi, politik, sosial maupun budaya.
Nilai-nilai tauhid dalam beribadah,
tampak jelas dan merupakan sesuatu yang lumrah, karena ibadah itu pasti
didasari oleh keimanan atau ketauhidan kepada Allah. Berbeda halnya dalam
bermuamalah. Banyak orang yang tauhidnya mantap ketika beribadah kepada Allah,
tetapi dalam bermuamalah, ia justru tidak menampakkan sedikitpun nilai-nilai
tauhid yang ada pada dirinya. Banyak orang yang tidak pernah meninggalkan
shalat, tapi jarang juga meninggalkan maksiat. Banyak orang yang rajin puasa,
tapi tekun juga berkata dusta. Banyak orang yang sering mengerjakan ibadah haji
dan umrah, tetapi sering juga menipu orang dalam bertijarah.
Problematika-problematika di atas adalah
fenomena yang sering kita hadapi dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam
kegiatan sosial ekonomi. Betapa banyak umat Islam yang tekun dalam beribadah,
tetapi jarang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, tidak sehat dalam berpolitik,
sering berlaku tidak jujur dalam bertijarah ataupun dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi yang lain, dan masih banyak kegiatan-kegiatan muamalah yang tidak
didasari dengan nilai-nilai tauhid.
Umat Islam, seyogianya tidak hanya
tekun dalam beribadah, tetapi juga harus benar dalam bermuamalah. Dengan kata
lain, umat Islam itu di samping memiliki kesalehan ritual, juga harus memiliki
kesalehan sosial. Umat Islam harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai
ketauhidannya kepada Allah SWT dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam
kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini,
penulis ingin membahas tentang Tauhid dan Tatanan Ekonomi Umat Islam,
sebagai pedoman dasar bagi kita untuk mengimplementasikan nilai-nilai tauhid
yang kita miliki dalam bentuk aktifitas sehari-hari terutama dalam kegiatan
ekonomi. Dalam makalah ini, akan dibahas lebih awal tentang definisi tauhid itu
sendiri, kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang Islam dan Konsep
Ekonomi, dan selanjutnya akan dibahas tentang Implementasi Tauhid dalam
Membangun Tatanan Ekonomi Umat Islam, dan diakhiri dengan kesimpulan dari isi
makalah yang telah dibahas.
B. DEFINISI TAUHID
Tauhid
secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kalimat wahhada-yuwahhidu-tauhidan,
artinya mengesakan. Sedangkan menurut istilah, tauhid adalah mengesakan Allah
ta’ala dalam uluhiyah, rububiyah, nama-nama dan sifat-sifatNya[1].
Menurut
Syaikh Muhammad Abduh[2],
التوحيد علم يبحث فيه عن وجود الله وما يجب أن يثبت له من صفات، وما يجوز
أن يوصف به وما يجب أن ينفى عنه، وعن الرسل لإثبات رسالتهم وما يجب أن يكونوا
عليه، وما يجوز أن ينسب إليهم وما يمتنع أن يلحق بهم.
“Tauhid adalah ilmu
yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap
bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat
yang sama sekali yang wajib ditiadakan (mustahil) dari pada-Nya. Juga membahas
tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib
pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisbatkan) pada diri mereka dan
hal-hal yang terlarang (mustahil) menghubungkannya kepada diri mereka.“
Sayyid
Husein Afandi al-Jisr al-Tarabulisi menerangkan[3]:
اعلم أن علم التوحيد هو علم يبحث فيه عن إثبات العقائد الدينية بالأدلة
اليقينية. وثمرته هي معرفة صفات الله تعالى ورسله بالبراهين القطعية والفوز
بالسعادة الأبدية وهو أصل العلوم الدينية وأفضلها لكونه متعلقا بذات الله تعالى
وذات رسله عليهم الصلاة والسلام. وشرف العلوم بشرف المعلوم. وقد جاءت به جميع
الرسل عليهم الصلاة والسلام من لدن سيدنا آدم إلى سيدنا محمد عليه وعليهم الصلاة
والسلام.
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya ilmu tauhid itu
ialah ilmu yang membahas padanya menetapkan kepercayaan agama dengan
mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan (nyata). Buah faedahnya ialah
mengetahui sifat-sifat Allah Ta’ala dan Rasul-rasul-Nya dengan bukti-bukti yang
pasti, akhirnya mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan yang abadi. Ilmu tauhid
adalah pokok paling utama dari semua agama. Karena bertalian erat dengan Dzat
Allah Ta’ala serta Rasul-rasul-Nya ‘Alaihimus Shalatu Wassalam, keadaan suatu
ilmu itu tergantung pada keutamaan apa yang dimaklumi. Ilmu tauhid dibawa oleh
sekalian Rasul-rasul-Nya ‘Alaihimus Shalatu Wassalam, sejak Nabi Adam hingga
Nabi Muhammad, semoga shalawat dan salam tetap baginya serta bagi para
Rasul-rasul.”
التوحيد هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والرد
على المبتدعة المنحرفين فى الإعتقادات عن مذاهب السلف وأهل السنة.
“Ilmu tauhid ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman, dengan mempergunakan dalil-dalil pikiran dan
berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan
salaf dan ahli sunnah.”
Menurut ulama-ulama Ahli Sunnah[5]:
وأما التوحيد أن الله تعالى واحد فى ذاته لا قسيم له. وواحد فى صفاته
الأزلية لا نظير له وواحد فى أفعاله لا شريك له
“Adapun
tauhid itu ialah bahwa Allah SWT itu Esa dalam Dzatnya, tidak terbagi-bagi. Esa
dalam sifat-sifat-Nya yang azali, tiada tara bandingan bagi-Nya dan Esa dalam
perbuatan-perbuatan-Nya tiada sekutu bagi-Nya.”
Pada intinya, ilmu tauhid adalah
ilmu yang membicarakan tentang ketuhanan dan sifat-sifat-Nya baik yang wajib,
mustahil, maupun jaiz bagi-Nya. Di samping itu, dalam ilmu tauhid juga dibahas
tentang Rasul-Rasul Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, hari Kiamat,
qada’ dan qadar-Nya.
Tauhid merupakan ilmu yang membahas
sesuatu yang paling fundamental dalam bangunan Islam. Hal tersebut tidak lain
karena tauhid sangat bersentuhan sekali dengan aspek-aspek aqidah atau
pokok-pokok keimanan manusia.[6]
Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam
adalah paling sentral dan paling esensial. Secara etimologis -seperti yang
sudah disinggung di atas- tauhid berarti mengesakan, yaitu
mengesakan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4:
ö@è%
uqèd
ª!$#
îymr&
ÇÊÈ ª!$#
ßyJ¢Á9$#
ÇËÈ öNs9
ô$Î#t
öNs9ur
ôs9qã
ÇÌÈ öNs9ur
`ä3t
¼ã&©!
#·qàÿà2
7ymr&
ÇÍÈ
“Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."[7]
Formulasi paling pendek dari tauhid
itu ialah kalimat thayyibah: la ilaha illa Allah, yang artinya tidak
ada Tuhan selain Allah. Dengan mengatakan "tidak ada Tuhan selain
Allah", seorang telah memutlakkan
Allah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dan menisbikan
selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya. Karena itu, hubungan manusia
dengan Allah tak setara dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk. Tauhid
berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat,
rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh
Allah akan menjadi nilai (value) baginya, dan ia tidak akan mau menerima
otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah. Komitmennya kepada
Tuhan adalah utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian,
ketaatan dan kepasrahan (kepada Tuhan), serta kemauan keras untuk menjalankan
kehendak-kehendak-Nya.[8]
La ilaha illa Allah meniadakan
otoritas dan petunjuk yang datang bukan dari Tuhan. Jadi, sesungguhnya kalimat thayyibah
merupakan kalimat pembebasan bagi manusia. Dengan tauhid, manusia tidak
saja akan bebas dan merdeka, tetapi juga akan sadar bahwa kedudukannya sama
dengan manusia mana pun. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior
terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah hamba Allah yang berstatus
sama. Jika tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada
manusia lainnya di hadapan Allah, maka juga tidak ada kolektivitas manusia,
baik sebagai suatu suku bangsa ataupun suatu bangsa, yang lebih tinggi atau
lebih rendah daripada suku bangsa atau bangsa lainnya. Semuanya berkedudukan
sama di hadapan Allah. Yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah tingkat
ketakwaan pada Allah SWT. Firman Allah:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur
öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä©
@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9
4
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4
¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[9]
Sekali seorang manusia atau suatu
bangsa merasa dirinya lebih inferior dibanding manusia atau bangsa lainnya,
maka ia akan kehilangan kebebasan dan jatuh ke dalam perbudakan mental.
Seseorang yang mengakui superioritas sekelompok manusia tertentu -entah
berdasarkan kekuasaan, warna kulit, ataupun atas dasar apa saja- berarti dengan
sendirinya ia akan kehilangan kebebasan dan sekaligus meremehkan makna tauhid. Demikian
juga dalam masalah-masalah keagamaan. Islam tidak mengakui setiap lembaga yang
menyerupai lembaga kependetaan, karena Tuhan tidak pemah mempercayakan
suatu perwalian untuk mewakili-Nya di muka bumi ini. "La rahbaniyyata
fil Islam" (Tidak ada sistem kependetaan dalam Islam), demikian Nabi
Muhammad SAW berkata. Dengan perkataan lain, sekali seorang manusia merasa
lebih rendah atau lebih tinggi dari pada manusia lainnya, ia telah jatuh ke
dalam syirk -lawan tauhid-.[10]
Di samping membebaskan manusia dari
perbudakan mental dan penyembahan kepada sesama makhluk, kalimat thayyibah juga
mengajarkan emansipasi manusia dari nilai-nilai palsu yang bersumber pada hawa
nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan-kesenangan sensual belaka. Suatu
kehidupan yang didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan, dan penumpukan
kekayaan, pasti akan mengeruhkan akal sehat dan mendistorsi pikiran jernih.
Dengan tajam Al-Qur’an menyindir orang-orang semacam ini:
|M÷uäur&
Ç`tB
xsªB$#
¼çmyg»s9Î)
çm1uqyd
|MRr'sùr&
ãbqä3s?
Ïmøn=tã
¸xÅ2ur
ÇÍÌÈ ÷Pr&
Ü=|¡øtrB
¨br&
öNèdusYò2r&
cqãèyJó¡o
÷rr&
cqè=É)÷èt
4
÷bÎ)
öNèd
wÎ)
ÄN»yè÷RF{$%x.
(
ö@t/
öNèd
@|Êr&
¸xÎ6y
ÇÍÍÈ
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).[11]
C. ISLAM DAN KONSEP EKONOMI
Kehidupan orang-orang pra-Islam
diwarnai dengan tajamnya stratafikasi sosial dengan berbagai implikasi
psikologis yang menyertainya. Ada sejumlah kecil anggota masyarakat yang
memiliki semua akses kekuatan, ekonomi, politik, dan intelektual. Berbagai sisi
kelebihan tersebut jalin-menjalin yang pada gilirannya menempatkan sekelompok
kecil orang tersebut pada posisi yang sangat penting dengan semua hak istimewa
yang dimilikinya.
Sedangkan sejumlah besar lainnya
berada pada posisi yang sangat kontras. Mereka hampir tidak memiliki akses
kekuatan apapun, termasuk kemerdekaan pribadinya sebagai manusia, serta hak-hak
perdatanya yang sangat mendasar. Mereka adalah orang-orang miskin dan
budak-budak belian yang secara turun-temurun mewarisi kodrat hidupnya tanpa
menyadari hak-hak dasarnya sebagai manusia.
Nabi Muhammad lahir untuk melakukan
berbagai perubahan radikal dan meyeluruh, untuk mereformasi secara total
kehidupan manusia yang penuh dengan ketimpangan itu. Agama yang diajarkan membawa
aspirasi dan ide tentang tauhid, demokrasi (politik) dan keadilan sosial
(ekonomi). Sesuai dengan tingkat perkembangan pemikiran dan tahapan pertumbuhan
sosial saat itu, Nabi memberikan petunjuk-petunjuk operasional dan
teladan-teladan nyata melalui sunnah-nya.
Namun dalam konteks aplikasinya
lebih lanjut, pokok-pokok ajaran Islam tersebut memerlukan langkah-langkah
sistematisasi dan interpretasi-interpretasi baru guna menyesuaikan dengan
tingkat perkembangan kehidupan umat manusia dan aspirasi-aspirasinya yang kian meningkat,
sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri.
Teks-teks keagamaan (al-Nushush
al-Syar’iyyah) memuat banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang
kehidupan perekonomian, baik secara eksplisit (sharih) maupun implisit (ghairu
sharih). Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nash-nash sesuai
dengan semangat dasar al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral yang
menekankan pada ide-ide keadilan sosial dan ekonomi.[12]
Misalnya pandangan Islam tentang dunia kerja, prinsip kebebasan dan kejujuran
dalam berusaha, produktifitas kerja, dan sebagainya.
Islam adalah
agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan
masyarakat, baik aspek rasio, materi, maupun spiritual, yang didampingi oleh
ekonomi, sosial, dan politik.[13] Namun,
dalam konteks ini tidak akan dibahas seluruh aspek kehidupan, tetapi hanya difokuskan
pada aspek ekonominya.
Ekonomi
merupakan kegiatan manusia dan kegiatan masyarakat untuk mempergunakan
unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya dengan maksud untuk memenuhi
pelbagai kebutuhan.[14] Ekonomi
sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk
memenuhi kebutuhan, sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari,
kehidupan manusia sehari-hari didominasi kegiatan ekonomi. Ekonomi Islam pada
hakikatnya adalah upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi
barang dan jasa yang sesuai dengan petunjuk Allah Swt. dalam rangka memperoleh
ridho-Nya.
Aktivitas
ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, impor, ekspor, tidak lepas dari
titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim
bekerja dalam bidang produksi maka itu tidak lain karena ingin memenuhi
perintah Allah.
Ekonomi dalam
pandangan Islam bukanlah tujuan akhir dari kehidupan ini tetapi suatu pelengkap
kehidupan, sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, penunjang dan
pelayanan bagi akidah dan bagi misi yang diembankannya.[15]
Ekonomi
Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari
Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas
dari syariat Allah. [16]
D. IMPLEMENTASI TAUHID DALAM MEMBANGUN TATANAN
EKONOMI UMAT ISLAM
Resistensi
terhadap globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis sebagai motor penggerak utama
globalisasi sebenarnya sudah sering disuarakan, bahkan dari jantung kapitalisme
itu sendiri. Berbagai peristiwa dekade terakhir, terutama krisis ekonomi
tahun 1997 di Asia telah semakin menimbulkan kesadaran bahwa tatanan ekonomi
dunia saat ini mencerminkan ketidak-adilan dan ketimpangan struktur ekonomi di
banyak tempat terutama negara-negara berkembang. Beberapa alternatif telah
dimajukan, seperti green economy. Belakangan banyak kalangan, termasuk
ahli-ahli ekonomi Barat mulai melirik sistem ekonomi yang ditawarkan oleh Islam
sebagai pilar tatanan ekonomi baru dunia.
Tatanan
ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan keadilan, pandangan yang
sejajar terhadap manusia dan moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam
dilandasi dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan Tuhan), khilafah
(perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).
Ketiga
landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Tauhid merupakan
muara dari semua pandangan dunia Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta
didesain dan diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat Esa,
dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S. Ali Imran:191; Shad:27;
al-Mu’minun:15). Dari pandang tauhid manusia diciptakan, oleh karena itu asal
manusia juga satu. Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau
wakil-Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya alam yang
diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan kebahagiaan seluruh umat manusia.
Pada sisi ini, jelas bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme.
Implikasi dari pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan universal, yang
kemudian menimbulkan persamaan sosial dan menjadikan sumber daya alam sebagai
amanah karena statusnya sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta.
Pandangan ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa dibarengi dengan
keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk
ketidak-adilan telah ditekankan dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid:
25). Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari semua faktor
ekonomi, bahkan pemisahan yang radikal antara sektor moneter dengan sektor riil
menjadi tidak tepat karena mengakibatkan terjadi ketidakadilan dan
ketidak-merataan. [17]
Peranan
pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling tidak, mencakup empat
hal. Pertama, maksimalisasi tingkat pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatan
sumber daya tersebut harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan.
Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan menunjukkan suatu
keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini
penting, karena apabila terjadi pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan
yang terjadi adalah kerusakan alam yang pada gilirannya adalah
ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga pada
manusia dalam jangka panjang.
Kedua, minimalisasi
kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan dengan prinsip dasar ekonomi
Islam, keadilan distributif. Keadilan distributif didefinisikan sebagai suatu
distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness
yang diterima secara universal. Tujuan ini juga berhubungan dengan
prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-A’raf: 32), prinsip tidak
dikehendakinya pemusatan harta dan penghasilan pada sejumlah kecil orang
tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7), dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan
mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-Ma’arij:
24-25). Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi Islam bisa
dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf.
Ketiga, maksimalisasi
penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai
keadilan distributif, sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru)
yang lebih banyak dari pada yang mungkin bisa diciptakan dalam keadaan ekonomi
statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus diimbangi dengan pemberian tingkat
upah yang adil berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini
berkewajiban untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan mendorong
kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-sektor yang mampu menyerap
semua lapisan.
Keempat, maksimalisasi
pengawasan. Salah satu bagian integral dari kesatuan sistem ekonomi Islam
adalah lembaga Hisbah. Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah,
adalah melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial, sehingga mereka
melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah. Lembaga Hisbah
adalah lembaga pengawasan terhadap penyimpangan, di antaranya dari kegiatan
ekonomi. Dalam pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat
diaplikasikan dengan modifikasi tertentu yang mempunyai tugas dan wewenang yang
sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam adalah penting, karena suatu sistem
ekonomi yang adil tidak akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang
disebabkan oleh perilaku menyimpang pelaku ekonomi.[18]
Di samping
empat hal di atas, dalam membangun tatanan ekonomi yang islami, perlu adanya
pemahaman yang mantap tentang tauhid, karena tauhid itu merupakan salah satu
pondasi yang utama dalam ekonomi Islam. Selain itu, tauhid juga merupakan ilmu
yang bersifat global (kulli) yang merupakan pondasi pokok dalam semua
ilmu, baik yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan
sebagainya, maupun ilmu yang berkaitan dengan muamalah, seperti ilmu tentang
politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Ilmu tauhid
itu adalah ilmu yang paling dasar yang wajib diketahui oleh setiap muslim.
Namun kenyataannya, kita melihat sebagian masyarakat penganut Islam masih belum
memahami arti tauhid, sehingga mereka sesungguhnya masih belum merdeka dan
belum menyadari status manusiawinya. Di sinilah sebenarnya letak kemandekan
kebanyakan masyarakat Muslim dewasa ini. Kita bisa mengatakan bahwa
keterbelakangan ekonomi, stagnasi intelektual, degenerasi sosial, dan pelbagai
macam kejumudan lainnya yang diderita oleh masyarakat Muslim, sesungguhnya
berakar pada kemerosotan tauhid. Oleh karena itu, untuk melakukan restorasi dan
rekonstruksi manusia-Muslim, baik secara individual maupun kolektif, tauhid
adalah masalah pertama dan terpenting untuk segera dipersegar dan diluruskan.
Dengan demikian, jelas bahwa anjuran sekularisasi, misalnya untuk memperbarui
pemahaman Islam, adalah suatu ajakan yang tidak mempunyai dasar di dalam Islam,
dan akan membuat kemerosotan umat menjadi lebih parah. Suatu hal yang tidak
boleh kita lupakan ialah bahwa komitmen manusia-tauhid tidak saja terbatas pada
hubungan vertikalnya dengan Tuhan, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan
sesama manusia dan seluruh makhluk; dan hubungan-hubungan ini harus sesuai
dengan kehendak Allah. Kehendak Allah ini memberikan visi kepada manusia-tauhid
untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan
mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Pada gilirannya, visi ini memberikan
inspirasi pada manusia-tauhid untuk mengubah dunia di sekelilingnya agar
sesuai dengan kehendak Allah, dan inilah misi manusia-tauhid atau
manusia-Muslim. Misi ini menuntut serangkaian tindakan agar kehendak Allah
tersebut terwujud menjadi kenyataan, dan misi ini merupakan bagian integral
dari komitmen manusia-tauhid kepada Allah. Misi untuk mengubah dunia,
menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan pelbagai nilai utama, dan
memberantas kerusakan di muka bumi (fasad fil ardh), bukanlah sekadar
suatu derivative, melainkan merupakan bagian integral dari komitmen
manusia-tauhid kepada Allah. Gabungan dari manusia-manusia tauhid inilah yang
kemudian membentuk suatu ummah. Dengan menegakkan kebenaran dan keadilan
(amar ma'ruf) dan memberantas kejahatan (nahi munkar) sebagai dua
ciri utamanya, umat-tauhid menunjukkan sasaran
dari gerakannya bukan pada bangsa atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan
pada seluruh kemanusiaan itu sendiri, seperti difirmankan oleh Allah:
öNçGZä. uöyz
>p¨Bé&
ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã
Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/
3
öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4
ãNßg÷ZÏiB
cqãYÏB÷sßJø9$#
ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÊÊÉÈ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.”[19]
Manusia-tauhid
dan umat-tauhid mempunyai kewajiban untuk menegakkan suatu orde sosial yang
adil dan etis. Al-Qur’an mengutuk ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial,
dan menyuruh kita untuk menegakkan suatu tatanan sosial yang etis dan
egalitarian. Surat-surat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad SAW sewaktu
beliau masih berada di Mekah, mengecam keras dua macam masalah: politeisme atau
kemajemukan dewa-dewa yang simtomatis dari masyarakat yang terpecah belah, dan
disparitas sosio-ekonomi yang bersarang pada keterpecahbelahan masyarakat.
Kedua hal ini merupakan dua sisi dari satu mata uang. Al-Qur’an bertubi-tubi
menyerang disparitas ekonomi, justru karena masalah ini memang sangat sulit
dipecahkan.
Al-Qur’an
jelas tidak melarang manusia untuk mengumpulkan harta benda, akan tetapi
penyalahgunaan kekayaan — yang menyebabkan manusia buta terhadap nilai-nilai
luhur — dikecam keras oleh Al-Qur’an:
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9
=ãm
ÏNºuqyg¤±9$#
ÆÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
tûüÏZt6ø9$#ur
ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur
ÍotsÜZs)ßJø9$#
ÆÏB
É=yd©%!$#
ÏpÒÏÿø9$#ur
È@øyø9$#ur
ÏptB§q|¡ßJø9$#
ÉO»yè÷RF{$#ur
Ï^öysø9$#ur
3
Ï9ºs
፯tFtB
Ío4quysø9$#
$u÷R9$#
(
ª!$#ur
¼çnyYÏã
ÚÆó¡ãm
É>$t«yJø9$#
ÇÊÍÈ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”[20]
Dalam ayat
lain Allah berfirman:
!$]ùã÷zãur 4
bÎ)ur
@à2
y7Ï9ºs
$£Js9
፯tFtB
Ío4quptø:$#
$u÷R9$#
4
äotÅzFy$#ur
yYÏã
y7În/u
tûüÉ)FßJù=Ï9
ÇÌÎÈ
“Dan
(kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka). dan semuanya
itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu
di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”[21]
Al-Qur’an sangat
menekankan keadilan distributif. Keadilan ini seratus persen berseberangan
dengan penumpukan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh mungkin
mengancam penumpukan harta. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang-orang kaya
mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin. [22]
Sekelompok masyarakat
tidak diperkenankan menjadi terlalu kaya, sementara kelompok lainnya menderita
kemiskinan yang bertentangan dengan harkat kemanusiaan sebagai suatu kebijakan
ekonomi dalam ajaran Islam.
!$¨B uä!$sùr&
ª!$#
4n?tã
¾Ï&Î!qßu
ô`ÏB
È@÷dr&
3tà)ø9$#
¬Tsù
ÉAqߧ=Ï9ur
Ï%Î!ur
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
Èûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
ös1
w
tbqä3t
P's!rß
tû÷üt/
Ïä!$uÏYøîF{$#
öNä3ZÏB
4
!$tBur
ãNä39s?#uä
ãAqߧ9$#
çnräãsù
$tBur
öNä39pktX
çm÷Ytã
(#qßgtFR$$sù
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
(
¨bÎ)
©!$#
ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
“Apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk
rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya
saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”[23]
Dengan
demikian, menjadi tanggung jawab manusia dan umat-tauhid untuk selalu bekerja
keras dan mencari pemecahan-pemecahan yang efektif untuk melaksanakan prinsip
keadilan distributif tersebut. Namun kita tidak boleh lupa bahwa keadilan
sosio-ekonomi bukanlah tujuan akhir. Keadilan sosio-ekonomi itu sendiri adalah
jembatan untuk menuju suatu tujuan yang jauh lebih tinggi, yaitu kebahagiaan
akhirat. Dengan visinya, manusia dan umat-tauhid harus melihat
konsekuensi-konsekuensi tindakannya, baik di dalam bidang ekonomi, politik,
kebudayaan, maupun bidang kehidupan lainnya, dan mengarahkannya ke suatu tujuan
yang menjadi dasar komitmennya pada Allah. Ini semua tidak mungkin akan bisa
dicapai kecuali dengan jihad -dalam arti badzlul juhdi- ke arah total
seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran untuk mewujudkan kalimatullah hiyal
'ulya, yaitu terselenggaranya nilai-nilai yang diridhai oleh Allah SWT. Hal
ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
wÎ) çnrãÝÁZs?
ôs)sù
çnt|ÁtR
ª!$#
øÎ)
çmy_t÷zr&
tûïÏ%©!$#
(#rãxÿ2
ÎT$rO
Èû÷üoYøO$#
øÎ)
$yJèd
Îû
Í$tóø9$#
øÎ)
ãAqà)t
¾ÏmÎ7Ås»|ÁÏ9
w
÷btøtrB
cÎ)
©!$#
$oYyètB
(
tAtRr'sù
ª!$#
¼çmtGt^Å6y
Ïmøn=tã
¼çnyr&ur
7qãYàfÎ/
öN©9
$yd÷rts?
@yèy_ur
spyJÎ=2
úïÏ%©!$#
(#rãxÿ2
4n?øÿ¡9$#
3
èpyJÎ=2ur
«!$#
Ïf
$uù=ãèø9$#
3
ª!$#ur
îÍtã
íOÅ3ym
ÇÍÉÈ
“Jikalau
kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya
(yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)
sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu Dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita,
Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya
kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya,
dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah
Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[24]
Esensi dari pengalaman beragama dalam Islam adalah tauhid, yaitu pengakuan
bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah (la ilaha illa Allah). Tauhid
membersihkan agama secara mutlak dari semua keraguan menyangkut transendensi
dan keesaan Tuhan. Dengan itu, ia mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu
pengukuhan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta alam raya, dan mensederajatkan
semua manusia sebagai makhluk Tuhan, yang dikaruniai sifat-sifat esensial
manusia yang sama, dengan status kosmik yang sama pula.[25]
E. KESIMPULAN
Tauhid adalah
ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan yang berkaitan dengannya, seperti
sifat-sifat Tuhan. Hakikat tauhid dalam Islam itu sendiri adalah penyerahan
diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun muamalah.
Umat Islam,
seyogianya tidak hanya tekun dalam beribadah, tetapi juga harus benar dalam
bermuamalah. Dengan kata lain, umat Islam itu di samping memiliki kesalehan
ritual, juga harus memiliki kesalehan sosial. Umat Islam harus bisa
mengimplementasikan nilai-nilai ketauhidannya kepada Allah SWT dalam kegiatan
sehari-harinya, baik dalam kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.
Nilai-nilai
tauhid harus diimplementasikan dalam muamalah kita sehari-hari misalnya dalam kegiatan
ekonomi seperti berlaku jujur, adil, amanah, dan transparansi.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. tt. Risalah al-Tauhid. Kairo.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Engineer, Asghar Ali. 1999. Islam dan
Teologi Pembebasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Esha, Muhammad In’am. 2008. Teologi Islam; Isu-Isu
Kontemporer. Malang: UIN
Malang Press.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1988. Tawhid; It’s Implication for Though
and Live. Terj. Rahmani Astuti. Bandung:
Pustaka.
Fazlurrahman, Islam, cet.II,
terj. Ahsin Mohammad. Bandung :
Pustaka, 1994.
Ibnu Khaldun. 1971. Muqaddiman Ibnu Khaldun. Beirut: Daar
al-Kutub al-Ilmiah.
Ibnu
Maryam, Globalisasi dan Tatanan Ekonomi Islam, dikutip 19/10/2011,
dari: http://ibnumariam.wordpress.com/2010/06/22/globalisasi-dan-tatanan-ekonomi-islam/.
al-Ied, Umar Bin Su’ud. 1419 H. Tauhid;
Ahammiyatuhu wa Tsamaratuhu. Riyadh,
al-Maktab al-Ta’awuni li al-Dakwah wa al-Irsyad.
Rais, M. Amien.
1996. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan.
Al-Syahrastani, Abu al-Fath
Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad. 2005. Al-Milal wa An-Nihal.
Bairut: Daar al-Fikr.
al-Tarabulisi, Husein Afandi
al-Jisr. tt. Hushun
al-Hamidiyah. Surabaya:
Maktabah Tsaqafiyah.
Qardhawi, Yusuf. 2006. Daur al-Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami.
Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani.
* Makalah
ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Aqidah yang diampu oleh DR. H. Abdul Kadir
Riyadi, MA pada Program S2 Kader Ulama Konsentrasi Aqidah dan Filsafat Hukum
Islam Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.
[1] Umar Bin Su’ud al-Ied, Tauhid;
Ahammiyatuhu wa Tsamaratuhu (Riyadh, al-Maktab al-Ta’awuni li al-Dakwah wa
al-Irsyad, 1419 H), h. 8.
[2]
Syaikh Muhammad Abduh, Risalah
al-Tauhid (Kairo: tt), h. 7.
[3]
Sayyid Husein Afandi al-Jisr
al-Tarabulisi, Hushun al-Hamidiyah (Surabaya: Maktabah Tsaqafiyah, tt),
h. 6.
[5]
Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin
Abi Bakr Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal (Bairut- Libanon:
Daar al-Fikr, 2005), h. 32.
[6]
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer
(Malang:UIN Malang Press, 2008), h. 6.
[7]
QS. Al-Ikhlas (112): 1-4.
[9]
QS. Al-Hujurat (49): 13.
[10]
M. Amien Rais, Cakrawala Islam,
h. 14.
[11]
QS. Al-Furqan (25): 43-44.
[13]
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlak fil
Iqtishadil Islami. Edisi Terjemah: Norma dan Etika Ekonomi Islam, oleh:
Zainal Arifin dan Dahlia Husin, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 33.
[14]
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam:
Pokok-Pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004), h. 142.
[17]
Ibnu Maryam, Globalisasi dan Tatanan Ekonomi Islam,
dikutip 19/10/2011 pukul 8.46 pm, dari: http://ibnumariam.wordpress.com/2010/06/22/globalisasi-dan-tatanan-ekonomi-islam/, Posted
on Juni 22, 2010.
[18]
Ibnu Maryam, Globalisasi dan Tatanan Ekonomi Islam,
dikutip 19/10/2011 pukul 8.46 pm, dari: http://ibnumariam.wordpress.com/2010/06/22/globalisasi-dan-tatanan-ekonomi-islam/, Posted
on Juni 22, 2010.
[19]
QS. Ali Imran (3): 110.
[20]
QS. Ali Imran (3): 14.
[21]
QS. Az-Zukhruf (43): 35.
[22]
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi
Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 52-53.
[23]
QS. Al-Hasyr (59): 7.
[24]
QS. At-Taubah (9): 40.
[25]
Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid; It’s
Implication for Though and Live. Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka,
1988), h. 165.
No comments:
Post a Comment