Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: KEUTAMAAN SALING MEMAAFKAN

2012/05/28

KEUTAMAAN SALING MEMAAFKAN

MEMAAFKAN KESALAHAN LEBIH MENDEKATKAN  KEPADA KETAQWAAN
Buletin Remas Baiturrahman, Edisi II, 6 Mei 2011 M / 3 Jumadil Akhir 1432 H
(OLEH : ZULKIFLI, S.Pd.I)

Setiap manusia tidak lepas dari salah dan dosa, tidak luput dari cacat dan cela, serta tidak terhindar dari melakukan kekhilafan dan kekeliruan. Sebab manusia tidak ada yang ma’shum (terpelihara dari segala dosa dan kesalahan). Yang ma’shum hanyalah para nabi dan rasul. Bahkan dalam pandangan agama, manusia yang terbaik bukanlah mereka yang tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan, tetapi manusia yang terbaik adalah mereka yang mau bertaubat kepada Allah SWT terhadap dosa dan kesalahan yang pernah ia lakukan. Rasulullah SAW pernah bersabda:
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang segera bertaubat” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Betapapun besar dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh seorang hamba, tetap bisa dimaafkan dan diampuni oleh Allah SWT karena Dia adalah Dzat Yang Maha Pemaaf, Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللهَ يَجِدِ اللهَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan Menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 110).
Memang kita akui, sangatlah berat rasanya apabila kita telah dicaci dan dihina oleh seseorang atau teman kita sendiri lalu ia datang dan dengan enteng memohon maaf terhadap kesalahannya. Amatlah sulit rasanya bila cacian dan hinaan yang menyakitkan hati kita hanya ditebus dengan empat huruf yaitu MAAF. Namun apa mau dikata Al-Qur’an telah bicara:
br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9 4
“Dan engkau memberi maaf lebih mendekatkan kepada takwa.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Al-Qur’an juga bicara:
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
 “Maka maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maa’idah: 13)
Ayat yang terakhir ini menunjukkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang gemar memberi maaf kepada orang yang berbuat salah kepadanya karena memberi maaf termasuk perbuatan baik terhadap orang yang melakukan kesalahan. Bukankah Rasulullah SAW pernah diejek, dicaci bahkan diludahi oleh seorang kafir Quraisy dan itu dilakukan tidak hanya sekali tetapi berulang kali. Namun ternyata Rasulullah tidak membalasnya dengan ejekan dan cacian. Bahkan pada waktu orang tersebut itu sakit, Rasulullah-lah orang pertama yang menjenguknya. Ini menunjukkan bahwa Nabi kita SAW telah memaafkan kesalahan orang tersebut walaupun dia belum minta maaf. Oleh karena itu, dalam rangka menapaki derajat takwa ini kita haruslah dengan penuh keikhlasan membuka pintu hati untuk memberi maaf terhadap kesalahan-kesalahan orang lain.
Sungguh memprihatinkan apabila ada diantara saudara-saudara kita yang sudah didatangi dengan permohonan maaf namun belum juga mau memaafkan. Marilah kita lemparkan jauh-jauh ucapan tiada maaf bagimu, karena ucapan seperti itu tidak ada dalam kamus Islam dan menunjukkan bahwa pengucapnya adalah orang yang kadar ketakwaannya masih sangat kurang.
Hendaklah kita sesama muslim mau memaafkan kesalahan orang lain apalagi orang itu teman kita sendiri, orang yang mungkin banyak berjasa kepada kita, banyak memberikan kebaikan kepada kita, sering menolong kita di saat susah, membantu kita di kala ada masalah, menghibur kita saat gelisah, dan menemani kita di waktu suka dan duka.
Sangatlah tidak pantas menjauhi teman hanya karena satu atau dua kebiasaan buruk yang tidak bisa diterima, sementara selebihnya baik. Dalam konteks ini satu atau dua kesalahan masih dapat dimaafkan, dan kesempurnaan adalah tingkatan yang sangat sulit dicapai.
Al-Kindi seorang filosof muslim terkenal, pernah mengatakan: “Bagaimana bisa Anda mengharapkan satu moralitas tertentu dari teman Anda, sementara ia terdiri dari empat tabiat jiwa saja yang merupakan bagian paling dekat dengan manusia dan merupakan pusat kendali untuk memilih dan berkehendak, tidak bisa memberikan kendalinya itu kepada orang yang memilikinya untuk melakukan semua kehendak. Tidak bisa pula mengiyakan semua yang diharuskannya. Apalagi dengan jiwa orang lain?”
Janganlah karena satu aib tersembunyi atau dosa kecil yang sebenarnya bisa ditutupi oleh kebaikannya yang lebih banyak, Anda menjadi jauh dari seseorang yang pernah Anda puji latar belakangnya, yang pernah Anda terima kehidupannya, yang pernah Anda ketahui kemuliaannya, dan yang pernah Anda ketahui kemampuan berpikirnya. Karena Anda tidak akan mendapatkan seorang pun yang sopan tanpa satu aib atau dosa. Coba posisikan diri Anda dalam posisinya, tidakkah Anda terpaksa harus melihatnya dengan ‘ainur ridha dan tidak menilainya dengan kaca mata hawa nafsu. Ketika Anda menempatkan diri dalam posisinya dan menilainya, maka akan ada sesuatu yang akan membantu mendapatkan apa yang Anda inginkan. Anda juga dapat mendekatkan diri kepada orang yang melakukan kesalahan itu.
Apakah adanya kekurangan pada diri teman membuat Anda menjauh dan berburuk sangka kepadanya. Padahal Anda tidak melihat sendiri dia melakukan penyimpangan dan kemungkaran itu. Hendaklah semua kekurangan itu dialihkan ke dalam jiwa yang lapang dan hati yang damai. Sebab,orang terkadang lalai untuk memperhatikan jiwanya, bagian paling dekat dengan dirinya itu. Dan itu bukan berarti memusuhi dan bosen kepadanya. Dikatakan dalam butir-butir hikmah: “Jangan merusak hubunganmu dengan seorang teman oleh prasangka buruk, padahal sebelumnya engkau yakin benar akan kebaikannya.”
Al-Hasan ibnu Wahab berkata: “Di antara hak-hak mencintai adalah memberi maaf terhadap kesalahan teman, dan menutup mata atas kekurangannya, itupun jika ada.”
Sesungguhnya orang-orang yang dermawan dalam memberikan maaf maka dia adalah seorang hamba, yang jiwanya mulia, semangatnya tinggi, dan memiliki sifat sabar dan santun yang besar. Muawiyah berkata: "Hendaklah kalian bersikap santun dan bersabar sehingga kesempatan tersebut terbuka bagi kalian, bila aku memberikan kekuasaan kepada kalian, maka hendaklah kalian membekali diri dengan suka memberi maaf dan bersikap dermawan (dengan kebaikan).
Sesungguhnya tanda seorang mu'min yang sholeh, mudah mema'afkan, lemah lembut, menghendaki keridhaan Allah dan balasan di akhirat, adalah senantiasa membersihkan jiwanya dari egoisme dan kepentingan-kepentingan pribadinya, mengutamakan keridhaaan Tuhannya, sangat ingin diampuni dosa-dosanya, dima'afkan kesalahan-kesalahannya. Maka dengan demikian ia telah diberi anugrah jiwa yang diridha'i, mendahulukan balasan di masa yang akan datang (akhirat) dari balasan di masa sekarang (dunia), menembus dengan kekuatan menusuk hati manusia yang dalam, sehingga ia memimpin mereka untuk menegakkan kebenaran dan mempertahankannya, tegak berdiri dengan memuliakan dan mengagungkan orang yang senantiasa menjadikan ini sebagai petunjuk dan agamanya.
DR. A'id Al Qorni berkata di dalam salah satu makalahnya: "Hendaklah setiap orang berusaha memberikan maaf secara umum menjelang tidurnya pada setiap malam bagi setiap orang yang telah berbuat buruk kepada dirinya sepanjang siang, baik berbuat buruk dengan perkataan, tulisan, ghibah, cacian atau dengan berbagai bentuk tindakan yang menyakitkan. Dengan cara ini, seseorang akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman lahir batin serta pengampunan dari Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Memberikan maaf secara umum kepada setiap orang yang berbuat kejahatan adalah obat yang paling utama di dunia, obat ini keluar dari apotek wahyu: "Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik". "Orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan".
Oleh karena itu, dalam sebuah organisasi seperti perkumpulan Remaja Masjid dan sebagainya, hendaknya kita bersikap bijak dan saling memaklumi. Bila salah satu angota atau pengurus kita tidak hadir pada saat gotong-royong, rapat, musyawarah, ataupun pertemuan yang lainnya, hendaknya kita tidak su’uzhan dulu kepadanya, mungkin dia ada kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, atau ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda, mungkin juga dia sedang kurang sehat, atau mungkin ada keluarganya yang sedang sakit, hendaknya kita mencari 1001 alasan untuk bisa memaafkan kesalahannya dan memaklumi kekurangannya. Janganlah kita melihat kesalahan teman yang hanya sedikit, tapi hendaknya kita memperhatikan kebaikannya yang jauh lebih banyak, ide-idenya yang kreatif, buah pikirnya yang inovatif, dan kontribusinya yang lain untuk kemajuan organisasi kita.
Akhirnya, marilah kita melapangkan dada, saling memaafkan, saling ber-husnuzh zhan, dan tidak mudah su’uzhan kepada teman maupun orang yang ada di sekitar kita. Marilah kita menahan amarah, mengendalikan emosi, dan mau memaafkan kesalahan orang lain sebelum ia meminta maaf kepada kita, karena memaafkan kesalahan lebih mendekatkan kepada ketaqwaan.

Wallahu A’lamu Bishshawaab.

No comments:

Post a Comment