MEMAAFKAN KESALAHAN LEBIH MENDEKATKAN
KEPADA KETAQWAAN
Buletin Remas Baiturrahman, Edisi II, 6 Mei 2011 M / 3 Jumadil Akhir 1432 H
(OLEH : ZULKIFLI, S.Pd.I)
Setiap
manusia tidak lepas dari salah dan dosa, tidak luput dari cacat dan cela, serta
tidak terhindar dari melakukan kekhilafan dan kekeliruan. Sebab manusia tidak
ada yang ma’shum (terpelihara dari segala dosa dan kesalahan). Yang ma’shum
hanyalah para nabi dan rasul. Bahkan dalam pandangan agama, manusia yang
terbaik bukanlah mereka yang tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan, tetapi
manusia yang terbaik adalah mereka yang mau bertaubat kepada Allah SWT terhadap
dosa dan kesalahan yang pernah ia lakukan. Rasulullah SAW pernah bersabda:
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Semua manusia
pasti pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan
kesalahan adalah mereka yang segera bertaubat” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Betapapun
besar dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh seorang hamba, tetap bisa
dimaafkan dan diampuni oleh Allah SWT karena Dia adalah Dzat Yang Maha Pemaaf,
Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Di dalam
Al-Qur’an Allah berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا أَوْ يَظْلِمْ
نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللهَ يَجِدِ اللهَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
dan Menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 110).
Memang
kita akui, sangatlah berat rasanya apabila kita telah dicaci dan dihina oleh
seseorang atau teman kita sendiri lalu ia datang dan dengan enteng memohon maaf
terhadap kesalahannya. Amatlah sulit rasanya bila cacian dan hinaan yang
menyakitkan hati kita hanya ditebus dengan empat huruf yaitu MAAF. Namun
apa mau dikata Al-Qur’an telah bicara:
br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)G=Ï9 4
“Dan
engkau memberi maaf lebih mendekatkan kepada takwa.” (QS.
Al-Baqarah: 237)
Al-Qur’an
juga bicara:
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Maka
maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada, Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
Al-Maa’idah: 13)
Ayat
yang terakhir ini menunjukkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang gemar
memberi maaf kepada orang yang berbuat salah kepadanya karena memberi maaf
termasuk perbuatan baik terhadap orang yang melakukan kesalahan. Bukankah
Rasulullah SAW pernah diejek, dicaci bahkan diludahi oleh seorang kafir Quraisy
dan itu dilakukan tidak hanya sekali tetapi berulang kali. Namun ternyata Rasulullah
tidak membalasnya dengan ejekan dan cacian. Bahkan pada waktu orang tersebut
itu sakit, Rasulullah-lah orang pertama yang menjenguknya. Ini menunjukkan
bahwa Nabi kita SAW telah memaafkan kesalahan orang tersebut walaupun dia belum
minta maaf. Oleh karena itu, dalam rangka menapaki derajat takwa ini kita
haruslah dengan penuh keikhlasan membuka pintu hati untuk memberi maaf terhadap
kesalahan-kesalahan orang lain.
Sungguh
memprihatinkan apabila ada diantara saudara-saudara kita yang sudah didatangi
dengan permohonan maaf namun belum juga mau memaafkan. Marilah kita lemparkan
jauh-jauh ucapan tiada maaf bagimu, karena ucapan seperti itu tidak ada
dalam kamus Islam dan menunjukkan bahwa pengucapnya adalah orang yang kadar
ketakwaannya masih sangat kurang.
Hendaklah
kita sesama muslim mau memaafkan kesalahan orang lain apalagi orang itu teman
kita sendiri, orang yang mungkin banyak berjasa kepada kita, banyak memberikan
kebaikan kepada kita, sering menolong kita di saat susah, membantu kita di kala
ada masalah, menghibur kita saat gelisah, dan menemani kita di waktu suka dan
duka.
Sangatlah
tidak pantas menjauhi teman hanya karena satu atau dua kebiasaan buruk yang
tidak bisa diterima, sementara selebihnya baik. Dalam konteks ini satu atau dua
kesalahan masih dapat dimaafkan, dan kesempurnaan adalah tingkatan yang sangat
sulit dicapai.
Al-Kindi
seorang filosof muslim terkenal, pernah mengatakan: “Bagaimana bisa Anda
mengharapkan satu moralitas tertentu dari teman Anda, sementara ia terdiri dari
empat tabiat jiwa saja yang merupakan bagian paling dekat dengan manusia dan
merupakan pusat kendali untuk memilih dan berkehendak, tidak bisa memberikan
kendalinya itu kepada orang yang memilikinya untuk melakukan semua kehendak.
Tidak bisa pula mengiyakan semua yang diharuskannya. Apalagi dengan jiwa orang
lain?”
Janganlah
karena satu aib tersembunyi atau dosa kecil yang sebenarnya bisa ditutupi oleh
kebaikannya yang lebih banyak, Anda menjadi jauh dari seseorang yang pernah
Anda puji latar belakangnya, yang pernah Anda terima kehidupannya, yang pernah
Anda ketahui kemuliaannya, dan yang pernah Anda ketahui kemampuan berpikirnya.
Karena Anda tidak akan mendapatkan seorang pun yang sopan tanpa satu aib atau
dosa. Coba posisikan diri Anda dalam posisinya, tidakkah Anda terpaksa harus
melihatnya dengan ‘ainur ridha dan tidak menilainya dengan kaca mata
hawa nafsu. Ketika Anda menempatkan diri dalam posisinya dan menilainya, maka
akan ada sesuatu yang akan membantu mendapatkan apa yang Anda inginkan. Anda
juga dapat mendekatkan diri kepada orang yang melakukan kesalahan itu.
Apakah
adanya kekurangan pada diri teman membuat Anda menjauh dan berburuk sangka
kepadanya. Padahal Anda tidak melihat sendiri dia melakukan penyimpangan dan
kemungkaran itu. Hendaklah semua kekurangan itu dialihkan ke dalam jiwa yang
lapang dan hati yang damai. Sebab,orang terkadang lalai untuk memperhatikan
jiwanya, bagian paling dekat dengan dirinya itu. Dan itu bukan berarti memusuhi
dan bosen kepadanya. Dikatakan dalam butir-butir hikmah: “Jangan merusak
hubunganmu dengan seorang teman oleh prasangka buruk, padahal sebelumnya engkau
yakin benar akan kebaikannya.”
Al-Hasan
ibnu Wahab berkata: “Di antara hak-hak mencintai adalah memberi maaf
terhadap kesalahan teman, dan menutup mata atas kekurangannya, itupun jika
ada.”
Sesungguhnya orang-orang yang dermawan dalam
memberikan maaf maka dia adalah seorang hamba, yang jiwanya mulia, semangatnya
tinggi, dan memiliki sifat sabar dan santun yang besar. Muawiyah berkata:
"Hendaklah kalian bersikap santun dan bersabar sehingga kesempatan
tersebut terbuka bagi kalian, bila aku memberikan kekuasaan kepada kalian, maka
hendaklah kalian membekali diri dengan suka memberi maaf dan bersikap dermawan
(dengan kebaikan).
Sesungguhnya tanda seorang mu'min yang sholeh,
mudah mema'afkan, lemah lembut, menghendaki keridhaan Allah dan balasan di
akhirat, adalah senantiasa membersihkan jiwanya dari egoisme dan
kepentingan-kepentingan pribadinya, mengutamakan keridhaaan Tuhannya, sangat
ingin diampuni dosa-dosanya, dima'afkan kesalahan-kesalahannya. Maka dengan
demikian ia telah diberi anugrah jiwa yang diridha'i, mendahulukan balasan di masa
yang akan datang (akhirat) dari balasan di masa sekarang (dunia), menembus
dengan kekuatan menusuk hati manusia yang dalam, sehingga ia memimpin mereka
untuk menegakkan kebenaran dan mempertahankannya, tegak berdiri dengan
memuliakan dan mengagungkan orang yang senantiasa menjadikan ini sebagai
petunjuk dan agamanya.
DR. A'id Al Qorni berkata di dalam salah satu
makalahnya: "Hendaklah setiap orang berusaha memberikan maaf secara umum
menjelang tidurnya pada setiap malam bagi setiap orang yang telah berbuat buruk
kepada dirinya sepanjang siang, baik berbuat buruk dengan perkataan, tulisan,
ghibah, cacian atau dengan berbagai bentuk tindakan yang menyakitkan. Dengan
cara ini, seseorang akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman lahir batin
serta pengampunan dari Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Memberikan
maaf secara umum kepada setiap orang yang berbuat kejahatan adalah obat yang
paling utama di dunia, obat ini keluar dari apotek wahyu: "Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik". "Orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan".
Oleh karena itu, dalam sebuah organisasi
seperti perkumpulan Remaja Masjid dan sebagainya, hendaknya kita
bersikap bijak dan saling memaklumi. Bila salah satu angota atau pengurus kita
tidak hadir pada saat gotong-royong, rapat, musyawarah, ataupun pertemuan yang
lainnya, hendaknya kita tidak su’uzhan dulu kepadanya, mungkin dia ada
kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, atau ada pekerjaan yang tidak bisa
ditunda, mungkin juga dia sedang kurang sehat, atau mungkin ada keluarganya
yang sedang sakit, hendaknya kita mencari 1001 alasan untuk bisa memaafkan
kesalahannya dan memaklumi kekurangannya. Janganlah kita melihat kesalahan
teman yang hanya sedikit, tapi hendaknya kita memperhatikan kebaikannya yang
jauh lebih banyak, ide-idenya yang kreatif, buah pikirnya yang inovatif, dan
kontribusinya yang lain untuk kemajuan organisasi kita.
Akhirnya, marilah kita melapangkan dada, saling
memaafkan, saling ber-husnuzh zhan, dan tidak mudah su’uzhan kepada teman
maupun orang yang ada di sekitar kita. Marilah kita menahan amarah,
mengendalikan emosi, dan mau memaafkan kesalahan orang lain sebelum ia meminta
maaf kepada kita, karena memaafkan kesalahan lebih mendekatkan kepada
ketaqwaan.
Wallahu A’lamu Bishshawaab.
No comments:
Post a Comment