TEOLOGI
SOSIAL
Sebuah Upaya Pengimplementasian Nilai-Nilai Teologis
dalam Kehidupan Sosial
(Oleh:
Zulkifli)[1]
A.
PENDAHULUAN
Teologi,
sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap
orang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari
teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan
memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang
tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Dalam
perspektif Nasution, teologi dalam tradisi Islam diekuivalensikan dengan ilmu
kalam. Menurutnya karena persoalan yang pertama-tama menjadi perbincangan dalam
konteks teologi Islam adalah persoalan kalam Tuhan, makanya keilmuan ini juga
disebut dengan ilmu kalam, maksudnya ilmu yang membincangkan pertama-tamanya
tentang kalam atau firman Tuhan.[2]
Dewasa ini, kajian tentang teologi semakin luas, tidak hanya membahas
tentang ketuhanan semata, tetapi juga membahas tentang penerapan nilai-nilai
teologis (ketuhanan) dalam segala aspek kehidupan. Sehigga sekarang ini kita
sering mendengar istilah teologi pembaharuan, teologi rasional, teologi sosial,
dan sebagainya.
Salah
satu perspektif dalam studi teologi keagamaan yang secara khusus memperhatikan
kaitan antara kehidupan beriman, intelektualitas dan kenyataan hidup sosial
adalah teologi sosial. Ini merupakan sebuah rangkaian pertanggungjawaban integral
antara iman keagamaan, analisis sosial, dan kenyataan ketidakadilan. Teologi
sosial berusaha menjawab tantangan bagaimana hidup keimanan seseorang mesti
terwujud dalam praksis sosial di tengah situasi ketidakadilan yang nyata.
Nilai-nilai iman manakah yang mendasari seseorang untuk mengambil pilihan sikap
dan tindakan dalam situasi konkret yang tidak adil dan mendatangkan banyak
penderitaan bagi masyarakat. Dalam bingkai spiritualitas integral, teologi
sosial merupakan salah satu wujud nyata penerapan hidup
iman keagamaan dalam realitas dunia yang penuh ketidakadilan, yang disinari
oleh analisis sosial-struktural pendorong pilihan sikap dan tindakan nyata
penuh keberpihakan demi keadilan.
B.
MEMAHAMI TEOLOGI SOSIAL
Teologi
sosial merupakan pemikiran teologis yang memiliki keterikatan erat dengan realitas
problematika yang dihadapi oleh masyarakat Islam dalam konteks kekinian di
samping juga seiring dengan perkembangan pemikiran dan tuntutan yang ada.
Sebuah kalam yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara orientasinya.
Tuntutan sosiologis dari praksis sosial teologi adalah menciptakan suatu
struktur masyarakat dari segala kesenjangan, keterbelakangan, diskriminasi, dan
ketidakadilan, serta mengedepankan etos egalitarianisme, dan saling penghargaan
antara sesama makhluk Tuhan.[3]
Teologi
sosial, dengan demikian, menggunakan keyakinan Islam sebagai pembangkit
kesadaran akan realitas kehidupan yang tidak mengenakkan, menggugah kesadaran
orang-orang yang berakidah Islam akan realitas kehidupan mereka dan realitas di
sekitarnya, bukan mengunyah-ngunyah akidah
tersebut untuk kepentingan akidah itu sendiri atau bahkan tanpa kesadaran akan
tujuan-tujuannya. Teologi sosial menghendaki adanya dialektika sinergis dengan
realitas yang tengah dihadapi dan menjadi tantangan kehidupan masyarakat Islam.
Teologi
sosial menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran di bawah sinaran keilahian.
Teologi sosial berusaha untuk bagaimana pemahaman tentang dimensi ketuhanan tersebut
mampu ditransformasikan
untuk mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya”. Dari
Tuhan menuju bumi, dari dzat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai
kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju
kemampuan berfikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejahteraan
manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan.
Sinaran
keilahian menjadi hal yang tak ternafikan dalam konteks penajaman realitas
kemanusiaan. Teologi sosial telah mengarahkan sasaran tembak yang orientasinya
pada theocentris menuju antropocentris. Paradigma ini mentransformasikan lokus dari iman menuju kemanusiaan
yang menjelma dalam suatu paradigma antropocentris praksis sosial.
Teologi sosial dalam realitasnya telah mewarnai wajah kalam yang selama ini
cenderung sibuk membela Tuhan dengan wajah barunya, pesona wajah teologi yang
membela manusia dalam kilauan sinaran keilahian.
C. IMPLEMENTASI NILAI-NILAI TEOLOGIS DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti mengakui Dia sebagai
satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Hakim dunia. Dari pengakuan ini dapat
disimpulkan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan, karena Tuhan tidaklah
bekerja dengan sia-sia, dan bahwa tujuan ini merupakan realisasi dari kehendak
Ilahi yang menyangkut dunia yang merupakan panggung kehidupan manusia. Hal ini
menuntut sang muslim untuk menghadapi ruang dan waktu secara serius, karena
kebahagiaan dan kecelakaan dirinya terletak pada pemenuhannya atas pola-pola
Ilahi yang berkaitan dengan ruang dan waktu di mana dia berada. Tuhan telah
memerintahkannya untuk bertindak dengan bekerja sama dengan sesama muslim.
Dalam Tauhid, kehidupan sang muslim berada dalam pengawasan terus menerus,
Allah mengetahui segala sesuatu, dan segala sesuatu dicatat dan diperhitungkan
bagi pelakunya, baik itu berupa kebaikan ataupun kejahatan. Kehendak Tuhan
adalah benar-benar relevan, dan pola-polanya haruslah dipatuhi. Tujuan manusia
karenanya haruslah berupa aktualisasi pola-pola Ilahi di seluruh alam semesta.[4]
Adapun teologi menurut Gutierrez[5]
adalah sesuatu yang di dalamnya mengandung nilai-nilai, etos-etos dan ajaran
yang dapat digunakan sebagai paradigma bagi seseorang dalam berfikir dan
berprilaku. Di samping mengandung dimensi teoritis, teologi juga mengandung
dimensi praktis. Teologi merupakan wahana strategis di dalam kita memberikan
dan menanamkan nilai-nilai dalam diri manusia.
Lebih lanjut Madjid[6]
menjelaskan bahwa teologi adalah sesuatu yang penting dalam upaya internalisasi
nilai-nilai karena teologi langsung menohok ke pusat kesadaran manusia.
Diskursus teologi pada hakikatnya, senantiasa akan menyangkut aktivitas mental
berupa kesadaran manusia yang paling dalam prihal relasi manusia dengan Tuhan,
lingkungan dan sesamanya, yang kemudian mewujud dalam tingkah laku sosialnya.
Teologi, dengan demikian, dalam makna fungsionalnya tidak lain adalah suatu
dorongan hati yang memunculkan kesadaran yakni suatu mantra yang paling dalam
dari diri manusia yang menformat pandangan dunianya dan pada gilirannya
menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu.
Teologi menggunakan keyakinan untuk pembangkit kesadaran akan realitas
kehidupan yang tidak mengenakkan, menggugah kesadaran orang-orang akan
kehidupan mereka dan realitas di sekitarnya, bukan mengunyah-ngunyah akidah
tersebut untuk kepentingan akidah itu sendiri dan bahkan tanpa ada kesadaran
akan tujuan-tujuannya. Teologi sosial, dengan demikian menghendaki adanya
dialektika sinergis dengan realitas yang tengah dihadapi dan menjadi tantangan
kehidupan masyarakat Islam.[7]
Penancapan dan pemunculan teologi sosial diorientasi tidak hanya sekedar
memperbincangkan persoalan-persoalan apologis “kelangitan” atau “membela
Tuhan”, melainkan lebih pada upaya aplikasi atas ide-ide kemanusiaan yang
didasarkan pemahaman atas ketuhanan. Bagaimana manusia saling memahami dalam
realitas perbedaannya dalam kehidupan ini baik yang mancakup agama, etnis,
budaya, kepentingan, dan sebagainya. Melalui teologi sosial, sebagai khalifah
Allah Swt (QS. 2: 30) manusia tidak hanya dibebani untuk “membangun kerajaan
surga” di alam “sana”, tetapi manusia mesti juga “membangun kerajaan surga” di
alam “sini”, di dunia.[8]
Teologi sosial menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran di bawah sinaran
keilahian. Teologi sosial berusaha untuk bagaimana pemahaman atas dimensi
ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan “kebumiannya”. Dari Tuhan menuju
bumi, dari Dzat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan
diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kekuasaan
berfikir manusia, dari keabadiaan Tuhan menuju kesejarahan manusia, dari
eskatologis menuju masa depan kemanusiaan. Sinaran keilahian menjadi hal yang
tak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Teologi sosial
telah mengarahkan sasaran tembak yang orientasinya pada theos, menuju
anthropos. Paradigma ini mentransformasikan lokus dari iman menuju kemanusiaan
yang menjelma dalam suatu paradigma anthroposentris praksis sosial yang anti
kekerasan.
Teologi sosial dalam hal ini mencoba menawarkan beberapa konsep keagamaan
yang dapat dijadikan landasan etis sosial di dalam kehidupan. Beberapa pokok
penting perlu dijabarkan sebagai upaya memberikan basic pemahaman teologis
dalam rangka mengurangi berbagai ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang
tidak jarang menggiring kita ke dalam berbagai bentuk kekerasan di masyarakat.
Pertama, konsep tauhid. Konsep ini dijadikan pemahaman dasar universalisme etis
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, tauhid
merupakan sumber pokok kebenaran. Tauhid tidak lain merupakan ajaran pokok yang
ditugaskan kepada para Rasul untuk disampaikan kepada manusia.
Kedua, konsep kepasrahan kepada Tuhan. Ini dalam konteks Islam dikenal dengan
istilah aslama – yuslimu yang bentuk masdarnya adalah islam.
Sikap ini merupakan konsekuensi logis dari adanya ketauhidan yang
sebenar-benarnya. Konsekuensi terpenting tauhid yang murni ialah pemutusan
sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sikap inipun
merupakan inti ajaran dari para utusan Allah.
Ketiga, konsep taqwa. Term taqwa di sini bukan dalam pengertian sekedar seperti
yang biasa ditafsirkan banyak orang, “sikap takut kepada Tuhan”, atau “sikap
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”, tetapi taqwa dalam konteks
ini mesti dipahami lebih sebagai “Kesadaran Ketuhanan”. Kesadaran tentang
adanya Tuhan Yang Maha Hadir, atau selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Implikasi kesadaran ini menyangkut kesediaan untuk menyesuaikan diri di bawah
cahaya kesadaran ketuhanan. Pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah merupakan
perintah Tuhan untuk para pengikut Muhammad Saw. Hal ini ditegaskan dalam
al-Qur’an:
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZø¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$Î)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YÏHxq ÇÊÌÊÈ
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan
sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum
kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir
Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi
hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.”[9]
Di samping pemahaman yang berdimensi vertikal seperti tersebut di atas,
konsep tauhid, Islam, dan taqwa juga harus dimaknai dalam dimensinya yang
horizontal. Dalam konsepnya yang horizontal, ketiganya merupakan dasar ideal
bagi adanya semangat kesamaan di antara manusia. Tauhid mengarah kepada
pemahaman tentang makna kesatuan dalam diri manusia sebagai makhluk yang
memiliki kesatuan-kesatuan fundamental seperti kesatuan dalam tujuan, kesatuan
penciptaan, dan sebagainya. Dengan demikian, adalah sesuatu yang tidak
dibenarkan jika ada tindakan-tindakan diskriminasi yang didasarkan karena
perbedaan agama, etnis, budaya, jenis kelamin, dan seterusnya. Sedangkan makna
dan konsep Islam dan taqwa juga demikian. Islam harus dimaknai sebagai spirit
moral untuk menciptakan dan mewujudkan kehidupan yang damai, aman, dan penuh
kesejahteraan. Orang yang ber-islam takut dan tidak boleh menimbulkan
perbuatan-perbuatan yang anarkis, melakukan perbuatan-perbuatan yang destruktif
di lingkungannya baik pada tataran sosial maupun ekologis. Inilah di antara
makna esensial horisontal dari Islam dan taqwa.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, Wilson menjelaskan bahwa agama dapat
dilihat dalam berbagai dimensi yaitu religious thinking, religious
practices, dan religious institutions. Dari pandangan Wilson
tersebut, kita dapat memahami bahwa agama bukan hanya menyangkut perilaku
keagamaan, lembaga keagamaan tetapi berkait pula dengan pemikiran keagamaan.
Dalam konteks ketiga inilah sebenarnya aspek teologi dapat kita posisikan.
Teologi sosial diharapkan dapat meredam berbagai ketegangan yang biasa
mengakibatkan kekerasan di dalam masyarakat melalui internalisasi pemikiran
teologis. Inputan-inputan inilah yang diharapkan akan mampu menjadi basic
pemahaman manusia yang mengejawantah dalam perilaku yang nantinya akan
berpengaruh dalam religious practices sehingga mampu menampilkan sebuah religious
institutions yang salam dan jauh dari anarkhisme. [10]
Dalam merealisasikan syari’at Islam ada lima prinsip dasar yang perlu
dikedepankan, yaitu[11]:
1. Pemeliharaan terhadap jiwa dan nyawa manusia (hifzh al-nafs).
Dengan prinsip ini, Islam mengharamkan segala bentuk penganiayaan fisik dan
pelenyapan nyawa, kecuali apabila itu dilakukan dengan cara yang benar sebagai
pembalasan dalam qishash atau ta’zir.
2. Perlindungan terhadap agama (hifzh al-din)
Bagi manusia, agama adalah norma kehidupan yang mengatur dalam
berinteraksi, baik dengan pencipta maupun dengan sesamanya. Prinsip ini jika
dijalankan dengan sebaiknya dari pola-pola interaksi yang kacau dan tidak
beraturan. Pada persoalan sosial kemasyarakatan, manusia akan mampu menghindari
tindakan-tindakan yang mengarah pada kebrutalan atau anarkis dan
tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hati nurani manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, kehidupan agama menjadi sesuatu yang diperlukan sebagai tata
nilai dan norma untuk ketentraman, kesejukan dan kenyamanan. Jadi Islam
merupakan rahmat bagi alam semesta untuk mencapai kesejahteraan dunia, termasuk
juga akhirat.
3. Memelihara akal (hifzh al-‘aql)
Dengan akal, manusia menjadi berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Islam
mengharamkan segala bentuk perbuatan yang merusak akal, seperti minuman-minuman
keras, narkoba, dan sebagainya. Oleh agama, manusia diharamkan untuk melakukan
apa saja yang berkaitan dengan khamar (arak) dalam segala bentuk dan jenisnya,
baik yang pernah ada pada zaman Nabi maupun yang baru sama sekali.
4. Pemeliharaan terhadap harta kekayaan (hifzh al-mal)
Prinsip ini merupakan prinsip dasar yang mendapatkan perhatian penuh di
dalam agama. Harta kekayaan merupakan bentuk kepemilikan atas sesuatu yang
mendapatkan perlindungan di dalam agama. Agama melarang manusia memperoleh
harta kekayaannya melalui jalan atau cara yang batil (tidak benar). Kita
diperintahkan untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi harus tetap
mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur agama.
5. Menjaga keturunan (hifzh al-nasl)
Allah Swt melarang kita melakukan perbuatan zina, sebagaimana firman-Nya:
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”[12]
Kelima prinsip dasar bagi manusia yang mesti dilakukan dalam menjalankan
syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Karena prinsip-prinsip itu
pada akhirnya akan menjadi bukti bahwa kehadiran Rasul merupakan rahmat Allah
yang terbesar, tidak saja untuk manusia tetapi juga seluruh alam semesta.
D.
PENUTUP
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan
antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap aktifitas manusia itu tidak terlepas
dari peran serta orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai makhluk sosial,
tidak boleh sombong, angkuh, egois dan mau menang sendiri. Kita harus hidup
saling menghargai dan menghormati antar sesama. Yang lebih kecil harus
menghormati yang lebih besar dan sebaliknya yang lebih besar harus menghargai
yang lebih kecil.
Sebagai bentuk dari pengimplementasian nilai-nilai
teologis dalam kehidupan sosial kita sehari-hari adalah seperti dalam
berdiskusi, bermusyawarah, ataupun dalam kegiatan bahtsul kutub, kita
sebagai mahasiswa S2, terlebih lagi dengan julukan mahasiswa “Kader Ulama”,
harus lebih bisa saling menghargai dan menghormati. Jangan kita hanya ingin
didengarkan oleh orang lain, tapi kita sendiri tidak mau mendengarkan orang
lain. Ketika kita sedang berbicara, kita dengan mudah meminta orang lain untuk
diam dan menyuruhnya untuk mendengarkan apa yang hendak kita sampaikan. Akan
tetapi, di lain kesempatan, ketika orang lain sedang menyampaikan pendapatnya,
kita dengan seenaknya saja berbicara dengan teman yang lain.
Begitu juga halnya bila kita mempunyai kelebihan atau
mungkin sudah menguasai suatu cabang ilmu harus tetap menghargai pendapat orang
yang baru mempelajari ilmu itu atau mungkin belum tau apa-apa tentang ilmu
tersebut, karena barang kali ia mempunyai suatu pendapat yang belum kita
ketahui, atau setidaknya ia mempunyai suatu kelebihan yang tidak kita miliki.
Dan perlu kita ingat bahwa setiap orang itu mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna.
Demikianlah, semoga kita bisa mengimplementasikan
nilai-nilai teologis yang kita pahami dalam bentuk prilaku sosial atau dalam
bermu’amalah dengan sesama manusia. Selain memiliki kesalehan ritual, kita juga
harus memiliki kesalehan sosial yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Prof. DR. 2010. Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Esha,
Muhammad In’am. 2003. Teologi Islam; Isu-isu Kontemporer. UIN-Malang Press.
Departemen
Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Al-Faruqi,
Ismail Raji. 1988. Tawhid; It’s Implication for Though and Live. Terj. Rahmani Astuti. Bandung:
Pustaka.
Al-Munawwar, Said Agil Husin. 2002. Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Ed. Abdul Halim. Jakarta: Ciputat Press. Cet. II.
[1]
Disampaikan pada kegiatan Diskusi
Tematik Program Beasiswa S2 Kader Ulama Jurusan Aqidah dan Filsafat Hukum Islam
Institut Agama Islam Ibrahimy Sukerjo Situbondo Jawa Timur.
[2]
Harun Nasution,
Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2010), h. ix.
[3]
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam;
Isu-Isu Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 29.
[4]
Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid;
It’s Implication for Though and Live. Terj. Rahmani Astuti (Bandung:
Pustaka, 1988), h. 92-93.
[5]
Gustavo Gutierrez, A Theology of
Liberation dalam Muhammad In’am Esha, Teologi Islam; Isu-Isu
Kontemporer, h. 42.
[6]
Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin
dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 201 dalam Muhammad
In’am Esha, Teologi Islam; Isu-Isu
Kontemporer, h. 42.
[7][7]
Hasan Hanafi, Islam in the Modern
World: Ideology and Development , h. 11 dalam Muhammad In’am Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer, h. 42-43.
[8]
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam;
Isu-Isu Kontemporer, h. 43.
[9]
QS. An-Nisaa’ (4): 131.
[10]
Muhammad In’am Esha, Teologi Islam;
Isu-Isu Kontemporer, h. 46.
[11]
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 345.
[12]
QS. Al-Israa’ (17): 32.
No comments:
Post a Comment