Home Mengasah Spiritual Mencerdaskan Intelektual: TEOLOGI SOSIAL

2012/05/05

TEOLOGI SOSIAL


TEOLOGI SOSIAL
Sebuah Upaya Pengimplementasian Nilai-Nilai Teologis dalam Kehidupan Sosial
(Oleh: Zulkifli)[1]

A.    PENDAHULUAN
Teologi, sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Dalam perspektif Nasution, teologi dalam tradisi Islam diekuivalensikan dengan ilmu kalam. Menurutnya karena persoalan yang pertama-tama menjadi perbincangan dalam konteks teologi Islam adalah persoalan kalam Tuhan, makanya keilmuan ini juga disebut dengan ilmu kalam, maksudnya ilmu yang membincangkan pertama-tamanya tentang kalam atau firman Tuhan.[2]
Dewasa ini, kajian tentang teologi semakin luas, tidak hanya membahas tentang ketuhanan semata, tetapi juga membahas tentang penerapan nilai-nilai teologis (ketuhanan) dalam segala aspek kehidupan. Sehigga sekarang ini kita sering mendengar istilah teologi pembaharuan, teologi rasional, teologi sosial, dan sebagainya.
Salah satu perspektif dalam studi teologi keagamaan yang secara khusus memperhatikan kaitan antara kehidupan beriman, intelektualitas dan kenyataan hidup sosial adalah teologi sosial. Ini merupakan sebuah rangkaian pertanggungjawaban integral antara iman keagamaan, analisis sosial, dan kenyataan ketidakadilan. Teologi sosial berusaha menjawab tantangan bagaimana hidup keimanan seseorang mesti terwujud dalam praksis sosial di tengah situasi ketidakadilan yang nyata. Nilai-nilai iman manakah yang mendasari seseorang untuk mengambil pilihan sikap dan tindakan dalam situasi konkret yang tidak adil dan mendatangkan banyak penderitaan bagi masyarakat. Dalam bingkai spiritualitas integral, teologi sosial merupakan salah satu wujud nyata penerapan hidup iman keagamaan dalam realitas dunia yang penuh ketidakadilan, yang disinari oleh analisis sosial-struktural pendorong pilihan sikap dan tindakan nyata penuh keberpihakan demi keadilan.

B.     MEMAHAMI TEOLOGI SOSIAL
Teologi sosial merupakan pemikiran teologis yang memiliki keterikatan erat dengan realitas problematika yang dihadapi oleh masyarakat Islam dalam konteks kekinian di samping juga seiring dengan perkembangan pemikiran dan tuntutan yang ada. Sebuah kalam yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara orientasinya. Tuntutan sosiologis dari praksis sosial teologi adalah menciptakan suatu struktur masyarakat dari segala kesenjangan, keterbelakangan, diskriminasi, dan ketidakadilan, serta mengedepankan etos egalitarianisme, dan saling penghargaan antara sesama makhluk Tuhan.[3]
Teologi sosial, dengan demikian, menggunakan keyakinan Islam sebagai pembangkit kesadaran akan realitas kehidupan yang tidak mengenakkan, menggugah kesadaran orang-orang yang berakidah Islam akan realitas kehidupan mereka dan realitas di sekitarnya, bukan mengunyah-ngunyah akidah tersebut untuk kepentingan akidah itu sendiri atau bahkan tanpa kesadaran akan tujuan-tujuannya. Teologi sosial menghendaki adanya dialektika sinergis dengan realitas yang tengah dihadapi dan menjadi tantangan kehidupan masyarakat Islam.
Teologi sosial menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran di bawah sinaran keilahian. Teologi sosial berusaha untuk bagaimana pemahaman tentang dimensi ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan untuk mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya”. Dari Tuhan menuju bumi, dari dzat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berfikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejahteraan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan.
Sinaran keilahian menjadi hal yang tak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Teologi sosial telah mengarahkan sasaran tembak yang orientasinya pada theocentris menuju antropocentris. Paradigma ini mentransformasikan lokus dari iman menuju kemanusiaan yang menjelma dalam suatu paradigma antropocentris praksis sosial. Teologi sosial dalam realitasnya telah mewarnai wajah kalam yang selama ini cenderung sibuk membela Tuhan dengan wajah barunya, pesona wajah teologi yang membela manusia dalam kilauan sinaran keilahian.

C.    IMPLEMENTASI NILAI-NILAI TEOLOGIS DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti mengakui Dia sebagai satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Hakim dunia. Dari pengakuan ini dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan, karena Tuhan tidaklah bekerja dengan sia-sia, dan bahwa tujuan ini merupakan realisasi dari kehendak Ilahi yang menyangkut dunia yang merupakan panggung kehidupan manusia. Hal ini menuntut sang muslim untuk menghadapi ruang dan waktu secara serius, karena kebahagiaan dan kecelakaan dirinya terletak pada pemenuhannya atas pola-pola Ilahi yang berkaitan dengan ruang dan waktu di mana dia berada. Tuhan telah memerintahkannya untuk bertindak dengan bekerja sama dengan sesama muslim. Dalam Tauhid, kehidupan sang muslim berada dalam pengawasan terus menerus, Allah mengetahui segala sesuatu, dan segala sesuatu dicatat dan diperhitungkan bagi pelakunya, baik itu berupa kebaikan ataupun kejahatan. Kehendak Tuhan adalah benar-benar relevan, dan pola-polanya haruslah dipatuhi. Tujuan manusia karenanya haruslah berupa aktualisasi pola-pola Ilahi di seluruh alam semesta.[4]
Adapun teologi menurut Gutierrez[5] adalah sesuatu yang di dalamnya mengandung nilai-nilai, etos-etos dan ajaran yang dapat digunakan sebagai paradigma bagi seseorang dalam berfikir dan berprilaku. Di samping mengandung dimensi teoritis, teologi juga mengandung dimensi praktis. Teologi merupakan wahana strategis di dalam kita memberikan dan menanamkan nilai-nilai dalam diri manusia.
Lebih lanjut Madjid[6] menjelaskan bahwa teologi adalah sesuatu yang penting dalam upaya internalisasi nilai-nilai karena teologi langsung menohok ke pusat kesadaran manusia. Diskursus teologi pada hakikatnya, senantiasa akan menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam prihal relasi manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya, yang kemudian mewujud dalam tingkah laku sosialnya. Teologi, dengan demikian, dalam makna fungsionalnya tidak lain adalah suatu dorongan hati yang memunculkan kesadaran yakni suatu mantra yang paling dalam dari diri manusia yang menformat pandangan dunianya dan pada gilirannya menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu.
Teologi menggunakan keyakinan untuk pembangkit kesadaran akan realitas kehidupan yang tidak mengenakkan, menggugah kesadaran orang-orang akan kehidupan mereka dan realitas di sekitarnya, bukan mengunyah-ngunyah akidah tersebut untuk kepentingan akidah itu sendiri dan bahkan tanpa ada kesadaran akan tujuan-tujuannya. Teologi sosial, dengan demikian menghendaki adanya dialektika sinergis dengan realitas yang tengah dihadapi dan menjadi tantangan kehidupan masyarakat Islam.[7]
Penancapan dan pemunculan teologi sosial diorientasi tidak hanya sekedar memperbincangkan persoalan-persoalan apologis “kelangitan” atau “membela Tuhan”, melainkan lebih pada upaya aplikasi atas ide-ide kemanusiaan yang didasarkan pemahaman atas ketuhanan. Bagaimana manusia saling memahami dalam realitas perbedaannya dalam kehidupan ini baik yang mancakup agama, etnis, budaya, kepentingan, dan sebagainya. Melalui teologi sosial, sebagai khalifah Allah Swt (QS. 2: 30) manusia tidak hanya dibebani untuk “membangun kerajaan surga” di alam “sana”, tetapi manusia mesti juga “membangun kerajaan surga” di alam “sini”, di dunia.[8]
Teologi sosial menjadikan manusia sebagai pusat kesadaran di bawah sinaran keilahian. Teologi sosial berusaha untuk bagaimana pemahaman atas dimensi ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan “kebumiannya”. Dari Tuhan menuju bumi, dari Dzat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kekuasaan berfikir manusia, dari keabadiaan Tuhan menuju kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan. Sinaran keilahian menjadi hal yang tak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Teologi sosial telah mengarahkan sasaran tembak yang orientasinya pada theos, menuju anthropos. Paradigma ini mentransformasikan lokus dari iman menuju kemanusiaan yang menjelma dalam suatu paradigma anthroposentris praksis sosial yang anti kekerasan.
Teologi sosial dalam hal ini mencoba menawarkan beberapa konsep keagamaan yang dapat dijadikan landasan etis sosial di dalam kehidupan. Beberapa pokok penting perlu dijabarkan sebagai upaya memberikan basic pemahaman teologis dalam rangka mengurangi berbagai ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang tidak jarang menggiring kita ke dalam berbagai bentuk kekerasan di masyarakat.
Pertama, konsep tauhid. Konsep ini dijadikan pemahaman dasar universalisme etis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, tauhid merupakan sumber pokok kebenaran. Tauhid tidak lain merupakan ajaran pokok yang ditugaskan kepada para Rasul untuk disampaikan kepada manusia.
Kedua, konsep kepasrahan kepada Tuhan. Ini dalam konteks Islam dikenal dengan istilah aslama – yuslimu yang bentuk masdarnya adalah islam. Sikap ini merupakan konsekuensi logis dari adanya ketauhidan yang sebenar-benarnya. Konsekuensi terpenting tauhid yang murni ialah pemutusan sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sikap inipun merupakan inti ajaran dari para utusan Allah.
Ketiga, konsep taqwa. Term taqwa di sini bukan dalam pengertian sekedar seperti yang biasa ditafsirkan banyak orang, “sikap takut kepada Tuhan”, atau “sikap menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”, tetapi taqwa dalam konteks ini mesti dipahami lebih sebagai “Kesadaran Ketuhanan”. Kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha Hadir, atau selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Implikasi kesadaran ini menyangkut kesediaan untuk menyesuaikan diri di bawah cahaya kesadaran ketuhanan. Pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah merupakan perintah Tuhan untuk para pengikut Muhammad Saw. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an:
¬!ur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ôs)s9ur $uZøŠ¢¹ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNà6Î=ö6s% öNä.$­ƒÎ)ur Èbr& (#qà)®?$# ©!$# 4 bÎ)ur (#rãàÿõ3s? ¨bÎ*sù ¬! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 tb%x.ur ª!$# $ÏZxî #YŠÏHxq ÇÊÌÊÈ  
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.[9]
Di samping pemahaman yang berdimensi vertikal seperti tersebut di atas, konsep tauhid, Islam, dan taqwa juga harus dimaknai dalam dimensinya yang horizontal. Dalam konsepnya yang horizontal, ketiganya merupakan dasar ideal bagi adanya semangat kesamaan di antara manusia. Tauhid mengarah kepada pemahaman tentang makna kesatuan dalam diri manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan-kesatuan fundamental seperti kesatuan dalam tujuan, kesatuan penciptaan, dan sebagainya. Dengan demikian, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan jika ada tindakan-tindakan diskriminasi yang didasarkan karena perbedaan agama, etnis, budaya, jenis kelamin, dan seterusnya. Sedangkan makna dan konsep Islam dan taqwa juga demikian. Islam harus dimaknai sebagai spirit moral untuk menciptakan dan mewujudkan kehidupan yang damai, aman, dan penuh kesejahteraan. Orang yang ber-islam takut dan tidak boleh menimbulkan perbuatan-perbuatan yang anarkis, melakukan perbuatan-perbuatan yang destruktif di lingkungannya baik pada tataran sosial maupun ekologis. Inilah di antara makna esensial horisontal dari Islam dan taqwa.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, Wilson menjelaskan bahwa agama dapat dilihat dalam berbagai dimensi yaitu religious thinking, religious practices, dan religious institutions. Dari pandangan Wilson tersebut, kita dapat memahami bahwa agama bukan hanya menyangkut perilaku keagamaan, lembaga keagamaan tetapi berkait pula dengan pemikiran keagamaan. Dalam konteks ketiga inilah sebenarnya aspek teologi dapat kita posisikan. Teologi sosial diharapkan dapat meredam berbagai ketegangan yang biasa mengakibatkan kekerasan di dalam masyarakat melalui internalisasi pemikiran teologis. Inputan-inputan inilah yang diharapkan akan mampu menjadi basic pemahaman manusia yang mengejawantah dalam perilaku yang nantinya akan berpengaruh dalam religious practices sehingga mampu menampilkan sebuah religious institutions yang salam dan jauh dari anarkhisme. [10]
Dalam merealisasikan syari’at Islam ada lima prinsip dasar yang perlu dikedepankan, yaitu[11]:
1.      Pemeliharaan terhadap jiwa dan nyawa manusia (hifzh al-nafs).
Dengan prinsip ini, Islam mengharamkan segala bentuk penganiayaan fisik dan pelenyapan nyawa, kecuali apabila itu dilakukan dengan cara yang benar sebagai pembalasan dalam qishash atau ta’zir.
2.      Perlindungan terhadap agama (hifzh al-din)
Bagi manusia, agama adalah norma kehidupan yang mengatur dalam berinteraksi, baik dengan pencipta maupun dengan sesamanya. Prinsip ini jika dijalankan dengan sebaiknya dari pola-pola interaksi yang kacau dan tidak beraturan. Pada persoalan sosial kemasyarakatan, manusia akan mampu menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada kebrutalan atau anarkis dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hati nurani manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, kehidupan agama menjadi sesuatu yang diperlukan sebagai tata nilai dan norma untuk ketentraman, kesejukan dan kenyamanan. Jadi Islam merupakan rahmat bagi alam semesta untuk mencapai kesejahteraan dunia, termasuk juga akhirat.
3.      Memelihara akal (hifzh al-‘aql)
Dengan akal, manusia menjadi berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Islam mengharamkan segala bentuk perbuatan yang merusak akal, seperti minuman-minuman keras, narkoba, dan sebagainya. Oleh agama, manusia diharamkan untuk melakukan apa saja yang berkaitan dengan khamar (arak) dalam segala bentuk dan jenisnya, baik yang pernah ada pada zaman Nabi maupun yang baru sama sekali.
4.      Pemeliharaan terhadap harta kekayaan (hifzh al-mal)
Prinsip ini merupakan prinsip dasar yang mendapatkan perhatian penuh di dalam agama. Harta kekayaan merupakan bentuk kepemilikan atas sesuatu yang mendapatkan perlindungan di dalam agama. Agama melarang manusia memperoleh harta kekayaannya melalui jalan atau cara yang batil (tidak benar). Kita diperintahkan untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi harus tetap mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur agama.
5.      Menjaga keturunan (hifzh al-nasl)
Allah Swt melarang kita melakukan perbuatan zina, sebagaimana firman-Nya:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.[12]
Kelima prinsip dasar bagi manusia yang mesti dilakukan dalam menjalankan syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Karena prinsip-prinsip itu pada akhirnya akan menjadi bukti bahwa kehadiran Rasul merupakan rahmat Allah yang terbesar, tidak saja untuk manusia tetapi juga seluruh alam semesta.
 

D.    PENUTUP
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap aktifitas manusia itu tidak terlepas dari peran serta orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai makhluk sosial, tidak boleh sombong, angkuh, egois dan mau menang sendiri. Kita harus hidup saling menghargai dan menghormati antar sesama. Yang lebih kecil harus menghormati yang lebih besar dan sebaliknya yang lebih besar harus menghargai yang lebih kecil.
Sebagai bentuk dari pengimplementasian nilai-nilai teologis dalam kehidupan sosial kita sehari-hari adalah seperti dalam berdiskusi, bermusyawarah, ataupun dalam kegiatan bahtsul kutub, kita sebagai mahasiswa S2, terlebih lagi dengan julukan mahasiswa “Kader Ulama”, harus lebih bisa saling menghargai dan menghormati. Jangan kita hanya ingin didengarkan oleh orang lain, tapi kita sendiri tidak mau mendengarkan orang lain. Ketika kita sedang berbicara, kita dengan mudah meminta orang lain untuk diam dan menyuruhnya untuk mendengarkan apa yang hendak kita sampaikan. Akan tetapi, di lain kesempatan, ketika orang lain sedang menyampaikan pendapatnya, kita dengan seenaknya saja berbicara dengan teman yang lain.
Begitu juga halnya bila kita mempunyai kelebihan atau mungkin sudah menguasai suatu cabang ilmu harus tetap menghargai pendapat orang yang baru mempelajari ilmu itu atau mungkin belum tau apa-apa tentang ilmu tersebut, karena barang kali ia mempunyai suatu pendapat yang belum kita ketahui, atau setidaknya ia mempunyai suatu kelebihan yang tidak kita miliki. Dan perlu kita ingat bahwa setiap orang itu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna.
Demikianlah, semoga kita bisa mengimplementasikan nilai-nilai teologis yang kita pahami dalam bentuk prilaku sosial atau dalam bermu’amalah dengan sesama manusia. Selain memiliki kesalehan ritual, kita juga harus memiliki kesalehan sosial yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Prof. DR. 2010. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Esha, Muhammad In’am. 2003. Teologi Islam; Isu-isu Kontemporer. UIN-Malang Press.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1988. Tawhid; It’s Implication for Though and Live. Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Al-Munawwar, Said Agil Husin. 2002. Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Ed. Abdul Halim. Jakarta: Ciputat Press. Cet. II.



[1] Disampaikan pada kegiatan Diskusi Tematik Program Beasiswa S2 Kader Ulama Jurusan Aqidah dan Filsafat Hukum Islam Institut Agama Islam Ibrahimy Sukerjo Situbondo Jawa Timur.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2010), h. ix.
[3] Muhammad In’am  Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 29.
[4] Ismail Raji Al-Faruqi, Tawhid; It’s Implication for Though and Live. Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1988), h. 92-93.
[5] Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation dalam Muhammad In’am Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer, h. 42.
[6] Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 201 dalam Muhammad In’am  Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer, h. 42.
[7][7] Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Ideology and Development , h. 11 dalam Muhammad In’am  Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer, h. 42-43.
[8] Muhammad In’am  Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer, h. 43.
[9] QS. An-Nisaa’ (4): 131.
[10] Muhammad In’am  Esha, Teologi Islam; Isu-Isu Kontemporer, h. 46.
[11] Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 345.
[12] QS. Al-Israa’ (17): 32.

No comments:

Post a Comment