KAWIN LARI (MERARI’) ADAT SASAK DI LOMBOK NUSA
TENGGARA BARAT DALAM PERSPEKTIF MAQĀSHID AL-SYARĪ‘AH
Oleh: Zulkifli, S.Pd.I
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah kawin lari dalam suku sasak sesuai dengan maqāsid
al-Syarī‘ah, karena jika diperhatikan kawin lari atau merari’ yang
ada di suku Sasak berbeda dengan yang ada pada suku-suku yang lain di Indonesia.
Selain itu
juga untuk mengetahui tentang proses terjadinya
kawin lari. Hasil analisis
menunjukkan bahwa proses kawin lari ini dimulai dari tahap midang, memaling,
nyebo’, beselabar, besejeti, kreme gubuq, membahas pisuke, ngendeng weli,
bekawin, bekuade, begawe bajang, selametan, sorong serah, nyongkolan,
sampai yang terakhir tahap nulakin lampak nae. Substansi dari adat kawin lari itu adalah
proses memaling (mencuri gadis). Adat kawin lari ini tidaklah
bertentangan dengan maqāsid al-Syarī‘ah. Meskipun pada tahapan-tahapan
yang terdapat dalam kawin lari ini terkadang ada suatu perbuatan yang melanggar
syari’at, tetapi tidak bisa mengeneralisir bahwa kawin lari itu tidak boleh
secara mutlak. Semua proses adat kawin lari ini mengandung mashlahah,
tetapi terkadang banyak orang yang melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang
dari syari’at dalam proses adat ini, seperti dalam proses midang dan nyongkolan.
Sehingga apabila dalam proses ini hanya mengandung unsur mafsadah, maka
jelas dilarang oleh syara’ karena tidak sesuai dengan prinsip maqāsid
al-Syarī‘ah yaitu jalbu al-mashālih dan daf’u al-māfasid.
Kata Kunci : Kawin Lari, Merari’, Memaling, Maqāshid al-Syarī‘ah, Mashlahah, dan Mafsadah.
KAWIN LARI (MERARI’)
ADAT SASAK DI LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT DALAM PERSPEKTIF MAQĀSHID AL-SYARĪ‘AH
Oleh: Zulkifli,
S.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Nikah adalah suatu akad yang mengandung kebolehan berjima’ (berhubungan
intim) dengan lafal nikah, kawin, atau yang semakna.[1] Nikah
merupakan salah satu sunnah Rasul. Meskipun lafal nikah, dalam bahasa Indonesia
sering dibedakan dengan lafal kawin, namun masyarakat lombok lebih sering
menggunakan lafal kawin untuk menunjukkan akad yang membolehkan hubungan suami
istri dari pada lafal nikah. oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis
menggunakan kedua lafal ini dengan makna dan tujuan yang sama.
Sistem perkawinan di suku Sasak dikenal dengan istilah ”kawin lari”, yang dalam
bahasa Sasak disebut merari’ atau memaling. Kawin lari pada suku
sasak sampai sekarang masih dijalani namun pada tempat-tempat tertentu sudah
tidak menggunakan adat kawin lari karena dianggap tidak sesuai dengan Syarī‘at Islam.
Di satu sisi, kawin lari merupakan warisan leluhur suku Sasak dan sudah
menjadi adat atau tradisi masyarakat Lombok dan masih tetap dilestarikan hingga
kini. Namun, di sisi yang lain, ada anggapan dari sekelompok orang bahwa kawin
lari tidak sesuai dengan Syarī‘at Islam. Kalau memang benar anggapan seperti
ini, apakah lantas pernikahan yang dilakukan dengan metode kawin lari ini
dihukumi tidak sah? Ataukah sekedar menganggap bahwa proses kawin larinya yang
tidak sesuai dengan syarī‘at Islam tetapi akad nikahnya tetap sah? Kemudian
bagaimana dengan tradisi yang sudah berjalan sejak puluhan tahun yang lalu pada
masyarakat Lombok? Mayoritas masyarakat Lombok melaksanakan pernikahan dengan
cara kawin lari, dan hanya segelintir orang yang melakukan pernikahan dengan
cara melamar atau tunangan. Oleh sebab itu, untuk mengetahui jawaban dari
permasalahan-permasalahan ini, penulis tertarik untuk membahas masalah kawin
lari adat Sasak di Lombok dalam perspektif maqāshid al-Syarī‘ah. Dalam
penelitian ini, penulis mengambil sampel di kampung Sekarbela Mataram, karena
di sana terdapat tradisi-tradisi unik yang tidak dimiliki oleh kampung-kampung
lain, tapi dengan tidak menghilangkan adat asli sasak yang berlaku di Lombok.
B. KAWIN LARI (MERARI’)
ADAT SASAK DAN SEJARAH TRADISINYA
Salah satu adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Lombok adalah kawin
lari. Dalam adat
Sasak pernikahan dengan cara kawin lari
ini lebih populer disebut dengan merari’. Secara etimologis kata merari’
diambil dari kata “lari”. Merari’ang berarti melai’ang atau dalam bahasa Indonesia disebut melarikan.[2] Oleh karena itu, Merari’ dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kawin lari. Secara
terminologis, merari’ mengandung dua arti.
Pertama, lari atau melarikan. Ini adalah
arti yang sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat
Sasak.[3]
Berdasarkan
referensi yang pernah penulis baca dan informasi
dari nara sumber tentang sejarah munculnya tradisi kawin lari (merari’)
di pulau Lombok, paling tidak ada dua pandangan yang mengemuka, yaitu: Pertama,
orisinalitas kawin
lari. Kawin lari (merari’) dianggap sebagai budaya
produk lokal dan merupakan adat asli
(genuine)
dari
leluhur masyarakat Sasak yang sudah dipraktekkan oleh masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali maupun
kolonial Belanda.[4]
Hal ini dikuatkan juga oleh H. Kusairi, salah seorang
tetua adat di Sekarbela, dengan mengatakan bahwa merari’ itu adalah asli
adat Sasak dan merupakan warisan dari para leluhur suku Sasak.[5]
Kedua, akulturasi merari’.
Kawin lari (merari’) dianggap budaya produk
impor dan bukan asli (ungenuine) dari leluhur masyarakat
Sasak serta tidak dipraktekkan masyarakat sebelum datangnya kolonial Bali.
Pendapat ini didukung oleh sebagian masyarakat Sasak dan dipelopori oleh tokoh
agama, Pada tahun 1955 di Bengkel Lombok Barat, TGH. Saleh Hambali menghapus,
kawin lari (merari’) karena dianggap
manifestasi hinduisme Bali dan tidak sesuai dengan Islam.[6]
Dalam konteks ini, penulis lebih condong kepada pendapat pertama,
yakni merari’
ini merupakan adat asli suku Sasak, bukan akulturasi dari Bali. Karena
sebagaimana dipaparkan oleh H. Kusairi bahwa tradisi merari’ ini sudah
ada sejak zaman dahulu, sebelum lombok dijajah oleh Kerajaan Asem -Bali- di bawah
kekuasaan Anak Agung. Bukti lain juga bahwa kampung Sekarbela yang tidak pernah
dijajah oleh Bali pun mengenal tradisi merari’ dan masih dijadikan adat
hingga kini. Padahal Anak Agung dan para prajuritnya tidak pernah bisa
menginjakkan kaki di Sekarbela. Bahkan orang Sekarbela lah yang berhasil
mengusir dan meruntuhkan kekuasaan Anak Agung di Lombok.[7]
Bagaimana mungkin tradisi merari’ ini bisa dikatakan
produk impor dari Bali sementara beberapa daerah di Lombok seperti Sekarbela
yang tidak pernah disentuh ataupun dijajah oleh Anak Agung (kolonial Bali) juga
mempraktekkan budaya merari’ bahkan menjadikannya sebuah adat yang sudah
dijalankan oleh para leluhur mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa merari’
merupakan adat asli suku Sasak di pulau Lombok.
Merari’
sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini
memiliki logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’
berarti mempertahankan harga diri dan menggambarkan sikap
kejantanan seorang lelaki Sasak, karena ia berhasil mengambil (melarikan) seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada sisi lain, bagi orang tua gadis yang dilarikan
juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya
begitu saja jika diminta secara biasa (konvensional), karena mereka beranggapan bahwa anak
gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap
seperti meminta barang yang tidak berharga. Ada ungkapan yang biasa diucapkan
dalam bahasa Sasak: mara’ endeng anak manok
bae (seperti
meminta anak ayam saja).
Jadi dalam konteks ini, merari’ dipahami sebagai sebuah
cara untuk melakukan prosesi pernikahan, di samping cara untuk keluar dari
konflik.[8] Merari’ atau mencuri
gadis dengan melarikan dari rumahnya
menjadi prosesi pernikahan yang lebih terhormat dibandingkan meminta kepada
orang tuanya. Ada rasa kesatria yang tertanam jika proses ini dilalui.[9]
C. PROSES ADAT KAWIN LARI (MERARI’)
Kawin lari merupakan
salah satu adat sasak yang masih dilestarikan oleh masyarakat lombok. Adat
kawin lari tidak semudah yang dipikirkan oleh mayoritas orang dari luar pulau
lombok. Untuk melakukan pernikahan dengan kawin lari di Lombok khususnya di
Sekarbela Mataram, harus mengikuti
prosedur atau proses sebagai berikut:
1. Midang
Midang, dilakukan oleh seorang pemuda
ke rumah seorang gadis yang dicintainya. Orang sasak sering menyebut hubungan
mereka itu dengan istilah brayean atau bekemele’an. Dalam bahasa
Indonesia disebut dengan istilah pacaran. Midang biasanya dilakukan
setelah selesai shalat Isya’ yaitu sekitar pukul 20.00 sampai pukul 22.00 Wita.
Seorang pemuda yang mengunjungi rumah gadis duduk bersila. Kunjungan-kunjungan
tersebut tidak perlu didahului dengan perjanjian. Dan orang tua si gadis sama
sekali tidak ikut serta menemani pemuda
dan anaknya yang saling meleang atau meletang (sama-sama suka).
Orang tua bahkan tidak tahu bahwa anaknya sedang atau telah merencanakan
suatu perkawinan dengan pemuda yang sering datang bertandang kerumahnya. Midang akan berakhir
dengan adanya kesepakatan di antara kedua
belah pihak untuk melangsungkan perkawinan.
Menurut H. Kusairi, midang sebenarnya bukan asli adat sasak, tetapi
itu merupakan tradisi anak-anak muda di kampung Sekarbela.[10] Midang
bertujuan untuk mempererat hubungan dengan kemele’an (pacar),
mengungkapkan perasaan kepadanya, dan merencanakan hubungan mereka selanjutnya.
Apakah si cewek sudah siap untuk merari’ atau belum.
Setelah gadis dan pemuda sepakat untuk merari’, orang tua pihak
perempuan tidak perlu diberitahukan. Sama saja tidak perlu diadakan upacara
tukar cincin atau upacara tanda mengikat janji seperti yang banyak kita temukan
pada adat perkawinan beberapa Suku Bangsa di Indonesia.
2. Memaling
Memaling adalah proses melarikan seorang anak gadis yang dilakukan oleh seorang pemuda
dengan syarat mereka berdua saling mencintai dan adanya perjanjian untuk merari’
(menikah) tanpa pengetahuan orang tuanya. Apabila melarikan anak gadis itu
dilakukan tanpa adanya unsur saling mencintai atau tanpa adanya perjanjian
dengan gadis itu, maka itu menurut adat sasak disebut nyulik, dan gadis
yang telah diculik itu berhak diambil kembali oleh orang tua atau keluarganya.[11]
Apabila kedua calon mempelai sudah saling mencintai dan mereka sudah sepakat
untuk merari’ maka orang tua tidak boleh mengambil atau membawa pulang
anaknya yang telah dilarikan itu, bila hal itu dilakukan, maka orang tua si
gadis itu dianggap melanggar adat, meskipun tidak diwajibkan membayar denda,
tapi itu akan menjadi aib besar bagi orang tuanya dalam pandangan masyarakat.[12]
Memaling biasanya dilaksanakan pada
waktu malam sekitar pukul 18:30 WITA
hingga pukul 19:30 WITA atau
antara waktu Magrib dan Isya tatkala
penduduk sedang bersimpangan pergi ke masjid atau sedang makan malam. Waktu
tersebut digunakan agar tidak terlalu kentara (ketahuan) seandainya seorang perempuan
berjalan sendirian di luar halaman
rumahnya, demikian pula pihak keluarga
tidak curiga andaikata anak gadisnya keluar rumah dengan alasan ke
masjid atau ke dapur.
3. Nyebo’
Nyebo’ adalah menyembunyikan
anak gadis yang telah dilarikan itu di rumah keluarga si lelaki yang telah
melarikannya, tapi tidak boleh di rumah tempat tinggal lelaki itu sendiri. Jika
sehari atau dua hari anak gadis itu tidak kembali ke rumahnya, pihak orang tua
dan keluarganya sudah memastikan bahwa anaknya pasti telah dibawa lari oleh
seorang pemuda untuk dikawininya. Gadis yang telah dibawa lari
tinggal duduk beberapa hari di rumah keluarga
atau kenalan si pemuda yang berada di luar kampung asal
si gadis. Gadis tersebut disembunyikan menurut adat tidak diperkenankan
menampakan dirinya di muka masyarakat
apalagi keluarganya. [13]
Jika hal itu dilakukan, pihak keluarga menganggap bahwa si pemuda
menghinanya karena baik pemberitahuan maupun segala pelaksanaan adat yang
dituntut bagi lelaki tersebut belum dilakukan sesuai dengan ketentuan adat.
4. Beselabar
Beselabar ialah kegiatan
pertama yang dilakukan oleh pihak keluarga
setelah gadis dibawa lari. Beselabar dilakukan tiga hari setelah kegiatan memaling. Syarat tiga hari ini berlaku apabila merari’ dengan gadis yang
berasal dari luar gubuq. Tetapi kalau sesama gubuq, beselabar
boleh dilakukan langsung pada malam hari setelah si gadis itu sampai di tempat
ia disembunyikan. Beselabar ialah pemberitahuan yang dilakukan oleh
kepala kampung (kliang) calon pengantin lelaki kepada kliang
calon pengantin perempuan. Kemudian kliang calon pengantin perempuan itu
memberitahukan kepada orang tua atau wali dari perempuan itu bahwa anaknya itu telah
merari’ dengan pemuda yang telah memaling-nya itu.[14]
5. Besejeti
Besejeti adalah pemberitahuan secara langsung yang dilakukan
oleh pihak keluarga lelaki kepada orang tua si perempuan. Besejeti ini
bertujuan untuk memberitahukan secara pasti dari pihak lelaki bahwa anaknya
benar-benar telah membawa lari anak gadisnya itu.[15]
6. Kreme Gubuq
Di Sekarbela juga ada istilah yang dikenal dengan kreme gubuq yaitu
hasil rumusan bersama dengan para tokoh-tokoh adat atau tetua adat mengenai
hal-hal atau soal-soal yang berhubungan dengan masalah adat, baik mulai dari
kebijaksanaan pemerintah sampai dengan masalah perkawinan. Di luar Sekarbela, kreme
gubuq ini sering disebut ajikrama.
Dalam perkawinan, kreme gubuq atau ajikrama merupakan bayaran
yang telah ditentukan oleh para tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama
yang harus dibayar oleh pihak keluarga laki-laki yang telah merari’. Kalau
di Sekarbela pada saat ini, kreme gubuq yang telah disepakati adalah sebesar
Rp. 1.500.000,- termasuk di dalamnya untuk pembuatan akta nikah. Kreme gubuq
ini diberikan kepada kliang calon pengantin lelaki sebelum acara
akad nikah. Dan selanjutnya kliang itu yang akan mengatur penggunaan
uang kreme gubuq itu termasuk untuk pembuatan akta nikah.[16]
7. Membahas pisuke
Pisuke atau wirang adalah
bayaran suka rela yang diberikan oleh keluarga calon pengantin lelaki kepada
keluarga calon pengantin perempuan. Sebenarnya, besar pisuke itu diserahkan
kepada keluarga calon pengantin lelaki, sesuka atau seikhlasnya. Oleh karena
itulah. disebut pisuke (dengan suka rela).[17]
Akan tetapi, belakangan, adat ini sedikit mengalami pergeseran, karena pihak
keluarga perempuan merasa berhak untuk menentukan jumlah pisuke yang
dibayar kepadanya. Sehingga untuk pemberian pisuke ini harus ada
kesepakatan antara kedua belah pihak. Pertama-tama, pihak keluarga calon
pengantin perempuan meminta harga tertentu. Kalau pihak keluarga calon pengantin
lelaki tidak sanggup membayar dengan harga yang diminta, maka ia berhak untuk
negosiasi kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan. Sehingga terjadilah
proses tawar menawar di antara kedua belah pihak. Dan pada akhirnya akan
melahirkan kesepakatan harga yang harus dibayar oleh pihak keluarga lelaki.
Namun, dalam adat Sekarbela, besarnya pisuke ditentukan oleh pihak
keluarga perempuan dan tidak perlu adanya musyawarah dengan pihak keluarga
lelaki apalagi tawar menawar.
8. Ngendeng weli
Tahap yang terakhir sebelum pelaksanaan akad nikah dalam masyarakat
Sekarbela adalah kegiatan ngendeng weli. Ngendeng weli
adalah permohonan kepada orang tua atau wali calon pengantin perempuan supaya
bersedia menjadi wali dalam pernikahan anaknya.[18] Adat
ini biasanya dilakukan beberapa jam sebelum pelaksanaan akad nikah. Misalnya
apabila akad nikahnya dilaksanakan ba’da shalat Isya’, maka keluarga calon
pengantin lelaki datang ke rumah orang tua atau wali dari calon pengantin perempuan
pada sore hari.
9. Bekawin
Bekawin ialah akad nikah yang
dilakukan oleh kedua mempelai di masjid yang dihadiri oleh keluarga pengantin
lelaki dan perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para tamu undangan. Bekawin
ini merupakan acara inti dari sebuah pernikahan baik dengan cara kawin lari
ataupun melamar, Bekawin di kampung Sekarbela biasanya dilakukan pada
malam hari ba’da shalat Isya’.
10. Bekuade dan Begawe bajang
Bekuade dan Begawe bajang adalah dua
istilah yang berbeda tetapi digunakan dalam satu acara. Istilah bekuade
digunakan untuk kedua mempelai (pengantin) yang akan duduk di atas pelaminan,
sedangkan istilah begawe bajang ditujukan kepada para pemuda menjadi tamu
undangan si pengantin. Bekuade dan begawe bajang adalah sejenis
acara resepsi, tetapi hanya dihadiri oleh teman-teman pengantin lelaki yang
berasal dari satu kampung. Bekuade dan Begawe bajang ini
sebenarnya tidak termasuk adat asli sasak, tetapi merupakan tradisi yang sudah
berjalan cukup lama di kampung Sekarbela.
Acara bekuade/begawe bajang ini biasanya dilaksanakan pada
malam hari, sehari sebelum acara selametan perkawinan. Dan pada pagi
harinya, acara selametan itu akan dilaksanakan.[19] Bekuade/Begawe
bajang bertujuan untuk mengumpulkan para pemuda yang ada di kampung
pengantin lelaki untuk berbagi kesenangan dengan menyajikan berbagai jamuan
makanan oleh keluarga pengantin. Sedangkan para tamu undangan atau para pemuda
yang hadir membawa uang seikhlasnya yang dimasukkan ke amplop. Sebelum para
tamu undangan memberikan ucapan selamat, mereka dipersilahkan terlebih dahulu
mencicipi hidangan yang telah disiapkan oleh keluarga mempelai. Setelah mereka
selesai menikmati hidangan yang disajikan, mereka langsung mengucapkan selamat
kepada kedua mempelai dengan menjabat tangan si pengantin lelaki sambil
memberikan amplop yang sudah disiapkan dari rumah mereka masing-masing.
Biasanya setelah acara bekuade/begawe bajang selesai,
teman-teman dekat si pengantin lelaki begadang di rumah pengantin lelaki untuk
beres-beres dan menjaga sapi yang akan disembelih pada pagi harinya untuk acara
selametan. Namun, begadang mereka tidak dihargai gratis, tetapi mereka akan
disiapkan makanan, jajan, dan kopi hangat sebagai bekal mereka begadang. Selain
itu, pada tengah malamnya mereka juga diberi makan secara berjama’ah dengan
lauk pauk yang spesial. Kegiatan makan berjama’ah ini dalam masyarakat
Sekarbela disebut dengan istilah mangan rampak.
11. Selametan
Selametan merupakan acara tasyakuran
atas terselenggaranya pernikahan dari kedua mempelai. Acara selametan
ini bertujuan untuk memberitahukan bahwa pemuda yang bernama fulan bin fulan
telah menikah dengan fulanah binti fulan, dan untuk berbagi kebahagiaan dengan
warga sekampung. Oleh karena itu, acara selametan ini merupakan acara
yang paling meriah dan paling ramai dihadiri oleh warga masyarakat. Bahkan
undangan yang hadir pada acara selametan ini jauh lebih ramai dari pada saat
akad nikah.
Adat sasak di Lombok secara umum menyatukan antara acara akad nikah dengan acaea
selametan pada hari yang sama. Akan tetapi berbeda dengan tradisi di kampung Sekarbela,
karena acara selametan di Sekarbela biasanya dilakukan seminggu atau beberapa
hari setelah bekawin (akad nikah).
12. Sorong Serah
Sorong Serah berasal dari kata “sorong”
yang berarti mendorong dan “serah” yang berarti menyerahkan. Jadi, sorong
serah merupakan suatu pernyataan persetujuan kedua belah pihak, baik pihak
laki-laki maupun perempuan dalam prosesi perkawinan terune (pemuda) dan dedare
(gadis). Inti pelaksanaan sorong serah adalah pengumuman resmi acara
perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan sudah tidak boleh
lagi ada pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat.[20]
13. Nyongkolan
Biasanya, beberapa hari setelah acara selametan, keluarga pihak lelaki
disertai kedua mempelai datang mengunjungi pihak keluarga perempuan yang
diiringi oleh kerabat dan handai taulan biasanya diiringi gamelan atau “Gendang
Beleq” (gendang besar).[21] Nyongkolan
ini dilakukan selain sebagai salah satu acara prosesi kawin lari adat sasak
juga bertujuan untuk silaturrahmi antar kedua keluarga besar dari kedua
pengantin.[22]
14. Nulakin lampak nae
Nulakin lampak nae sebenarnya
bukan termasuk adat asli sasak tetapi merupakan tradisi paling akhir dalam
upacara perkawinan di kampung Sekarbela. Kedua mempelai bersama orang tua
si lelaki akan berkunjung secara khusus ke
rumah orang tua si perempuan. Dan keluarga
si perempuan akan menyiampan sambutan yang meriah disertai dengan hidangan
makanan yang beraneka ragam. Nulakin lampak nae ini biasanya dilakukan
pada malam hari selepas shalat maghrib. Acara ini bertujuan untuk menyambung
silaturrahmi sekaligus saling memperkenalkan anggota keluarga, baik dari
anggota keluarga pengantin lelaki ataupun keluarga dari pengantin perempuan,
supaya ketika mereka bertemu di jalan mereka bisa saling mengenal dan saling tegur
sapa.[23]
D. TEORI MAQĀSHID AL-SYARĪ‘AH
1. Definisi Maqāshid al-Syarī‘ah
Maqāshid al-Syarī‘ah terdiri dari
dua kata yaitu Maqāshid dan Syarī‘ah. Maqāshid adalah bentuk
jama’ dari kata maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang
berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqāshid berarti hal-hal yang
dikehendaki dan dimaksudkan.[24] Sedangkan Syarī‘ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber
air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber
kehidupan.[25]
Maqāshid al-Syarī‘ah secara
istilah sebenarnya tidak didefinisikan secara khusus oleh para ulama ushul
fiqh klasik, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Seperti
al-Syatibi sendiri, yang mengembangkan maqāshid al-Syarī‘ah, tidak
membuat definisi yang khusus, beliau hanya mengungkapkan tentang motif
peletakan Syarī‘ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam
kitab al-Muwafaqat”:
إِنَّ وَضْعَ
الشَّرَائِعِ إِنَّمَا هُوَ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِى الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ مَعًا
“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk
tegaknya (mewujudkan) kemaslahatan manusia di dunia dan Akhirat”.[26]
Dari ungkapan
al-Syatibi tersebut bisa dikatakan bahwa Al-Syatibi tidak mendefinisikan Maqāshid
al-Syarī‘ah secara syumul,
cuma menegaskan bahwa doktrin Maqāshid al-Syarī‘ah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat.
Wahbah Zuhaili
mendefinisikan maqāshid al-Syarī‘ah sebagai makna
dan tujuan yang terkandung dalam setiap hukum-hukum Islam atau tujuan dan
rahasia penetapan Syarī‘ah oleh Syarī‘. Begitu juga al-Raisuni
mengatakan maqāshid al-Syarī‘ah adalah tujuan
dibentuknya Syarī‘ah yaitu untuk
merealisasikan mashlahah bagi seluruh
umat.[27]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa maqāshid al- Syarī‘ah
adalah makna dan tujuan yang dijaga oleh Syarī‘ dalam pembentukan hukum Islam
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.[28]
2. Ruang Lingkup Maqāshid
al-Syarī‘ah
Pokok bahasan utama dalam maqāshid al-Syarī‘ah adalah masalah hikmah
dan ‘illah ditetapkannya suatu hukum.[29] Maqāshid al-Syarī‘ah (Tujuan
hukum Islam) harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran
hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Semua
ketentuan hukum Islam (Syarī‘ah) baik yang berupa perintah maupun
larangan, sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mempunyai tujuan
tertentu. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Syarī‘ah yang tidak
mempunyai tujuan.
Hukum Islam
datang ke dunia membawa misi yang sangat mulia, yaitu sebagai rahmat bagi
seluruh manusia di muka bumi (QS. Yunus [10]: 57; QS. al-Anbiya’ [21]: 107).
Pembuat Syarī‘ah (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan Syarī‘ah bertujuan
untuk merealisasikan kemaslahatan
umum, memberikan
kemanfaatan, dan menghindarkan kemafsadatan bagi
umat manusia.[30]
Terkait dengan ini, Abu Zahrah mengatakan bahwa
setiap hukum Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu kemaslahatan. Tidak ada
perintah dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak memiliki kemaslahatan yang
hakiki, meskipun kemaslahatan itu tidak tampak dengan jelas. Kemaslahatan di
sini adalah kemaslahatan hakiki yang bersifat umum dan tidak didasarkan pada
pemenuhan hawa nafsu.[31]
Prof DR. H Mustafa dalam bukunya Hukum Islam Kontemporer mengatakan bahwa
secara umum tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di
akhirat, dengan jalan mengambil (segala) manfaat dan menolak atau mencegah
segala mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.[32]
Dengan diketahuinya tujuan hukum Islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada nashnya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat ditetapkan hukum peristiwa yang tidak ada nashnya. Senada dengan pendapat di atas, al-Syatibi, mengembangkan doktrin maqāshid al-Syarī‘ah dengan menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum Islam adalah satu, yaitu kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Pendapat al-Syatibi didasarkan pada prinsip bahwa Tuhan melembagakan Syarī‘ah (hukum Islam) demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.[33] Al-Syatibi menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam tersebut setelah melakukan observasi dalam Al-Qur’an dapat disimpulkan tujuannya adalah untuk kemaslahatan manusia.[34] Salah satu contoh dalam ayat suci al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Dengan diketahuinya tujuan hukum Islam, dapat ditarik suatu peristiwa yang sudah ada nashnya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat ditetapkan hukum peristiwa yang tidak ada nashnya. Senada dengan pendapat di atas, al-Syatibi, mengembangkan doktrin maqāshid al-Syarī‘ah dengan menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum Islam adalah satu, yaitu kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia. Pendapat al-Syatibi didasarkan pada prinsip bahwa Tuhan melembagakan Syarī‘ah (hukum Islam) demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.[33] Al-Syatibi menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam tersebut setelah melakukan observasi dalam Al-Qur’an dapat disimpulkan tujuannya adalah untuk kemaslahatan manusia.[34] Salah satu contoh dalam ayat suci al-Qur’an adalah sebagai berikut:
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ
عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ
عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan penelitian para
ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan.
Kelima unsur pokok itu adalah hifzh al-dīn (pemeliharaan agama), hifzh
al-nafs (pemeliharaan jiwa), hifzh al-aql (pemeliharaan
akal), hifzh al-nasl (pemeliharaan keturunan), dan hifzh
al-māl (pemeliharaan harta). Seorang yang memelihara lima hal tersebut akan
memperoleh kemaslahatan, sedang yang tidak dapat memeliharanya akan mendapatkan
kemafsadatan.
Prinsip itulah
yang dikembangkan oleh al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām. Dalam kitab ini al-Syatibi
merincikan dengan
panjang lebar doktrin maqāshid al-Syarī‘ah yang didasarkan pada al-kulliyyāt
al-khams (lima tujuan pokok)
seperti di atas. Secara rinci, al-kulliyyāt
al-khams akan dijelaskan dalam uraian berikut.
Pertama, Hifzh
al-dīn; (pemeliharaan agama). Syari’at Islam
mengajarkan untuk menciptakan sikap hormat dan menjaga keyakinan yang ada, agar
dalam masyarakat yang berada di dalam naungan Syarī‘ah islamiyah, agama
yang bervariasi dapat hidup berdampingan secara damai, saling menjaga dan
menghormati, tidak terjadi saling intervensi ajaran.[35]
Syarī‘at Islam juga
melarang ada pemaksaan untuk memeluk agama di luar keyakinannya.[36]
Dampaknya adalah membuahkan kerjasama yang seimbang antar umat beragama dalam
kegiatan sosial, ekonomi,
pertahanan, keamanan, lingkungan hidup dan lain sebagainya.
Kedua, Hifzh
al-nafs (pemeliharaan jiwa);
Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati keamanan dan keselamatan
diri manusia, dan menjadi tetap dihormatinya kemuliaan, martabat manusia
sebagai anugerah dari Alah Swt.
Dampaknya adalah terjaminnya ketentraman dan kondisi masyarakat yang santun dan
beradab (masyarakat madani/civil society).[37]
Ketiga, Hifzh
al-‘aql (pemeliharaan akal);
akal adalah dimensi paling penting dalam kehidupan manusia. Keberadaanya
menjadi pembeda utama dengan makhluk lain serta menjadi alasan mengapa Allah menetapkan
kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia. Akal juga amat menentukan baik buruknya
perilaku hidup dan peradaban. Oleh karena itu, syari’at Islam
mengajarkan untuk memelihara dan mengembangkan kejernihan pemikiran manusia. Oleh karena
itu apapun yang dapat merugikan fungsi pemikiran, baik dalam bentuk fisik maupun
non fisik, dicegat oleh syari’at Islam.
Keempat, Hifzh
al-nasl (pemeliharaan keturunan);
Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati sistem keluarga (keturunan),
sehingga masing-masing orang mempunyai nisbah dan garis keluarga yang jelas
demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenang dan tentram.[38]
Kelima, Hifzh
al-māl (pemeliharaan harta);
Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi masyarakat yang saling
menguntungkan, menghormati dan menjaga kepemilikan yang sah sehingga akan
tercipta dinamika ekonomi yang santun dan beradab (economical civility).
Untuk itu Islam mengajarkan tata cara memperoleh harta, seperti hukum bolehnya
jual beli disertai persyaratan keridhaan dua belah pihak serta tidak ada praktek riba dan
monopoli.[39]
3. Mashlahah sebagai Substansi Maqāshid al-Syarī‘ah
Tujuan diciptakannya syari’at (hukum) adalah terciptanya kemaslahatan
(kepentingan umum) dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat duniawi maupun
ukhrawi.[40] Konsep ini
telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu qaidah yang
cukup populer, "Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."[41]
Al-Ghazali,
mengatakan bahwa mashlahah adalah
mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan kemudaratan (jalb manfa’ah atau
daf’u madharrah). Menurutnya, lebih lanjut, yang dimaksud mashlahah dalam arti terminologis syar’i adalah
memelihara dan mewujudkan maqāshid al-Syarī‘ah yang berupa pemeliharaan
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ditegaskan oleh al-Ghazali bahwa
setiap sesuatu yang menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dikategorikan sebagai mashlahah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah.[42]
Al-Tufi memiliki
pandangan yang radikal dan liberal tentang mashlahah.[43]
Al-Tufi berpendapat bahwa prinsip mashlahah dapat
membatasi (takhsis) Al-Qur’an, sunnah dan
ijma‘ jika penerapan nash Al-Qur’an,
sunnah dan ijma‘ itu akan
menyusahkan manusia.[44]
Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya mashlahah al-Tufi tersebut
adalah mu'amalah.[45]
Menurut al-Tufi, pengertian mashlahah mencakup dua macam yaitu ditinjau dari segi ‘urfi dan syar’i.
mashlahah dalam arti ‘urfi adalah setiap sebab yang membawa kepada
kebaikan dan kemanfaatan. Sedangkan mashlahah dalam arti
syar’i berarti sebab yang membawa kepada tujuan al-Syāri’, baik yang
menyangkut ibadah maupun mu’amalah.[46]
Mashlahah dalam bidang ibadah adalah
tujuan al-Syāri’ yang berkaitan dengan hak-Nya. Sedangkan mashlahah dalam bidang
mu’amalah adalah tujuan al-Syāri’ yang berkaitan dengan kebebasan
makhluk-Nya.[47]
Pengertian
lain juga dikemukakan oleh Izz al-Din bin ‘Abd al-Salam.
Menurutnya, mashlahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf’u (kebermanfaatan),
al-husn (kebaikan).[48]
Dalam mengategorikan
maslahah, beberapa ulama memberikan penjelasan. Menurut al-Ghazali, berdasarkan
segi ada dan tidaknya ketegasan justifikasi syara’ terhadapnya, maslahah
terbagi menjadi tiga: 1) maslahah yang mendapat ketegasan justifikasi syara’
terhadap penerimaannya, disebut mashlahah mu’tabarah, 2) maslahah yang mendapat
ketegasan justifikasi syara’ terhadap penolakannya, disebut mashlahah mulghah, dan 3) maslahah yang tidak
mendapatkan ketegasan justifikasi syara’, baik terhadap penerimaannya maupun
penolakannya, disebut mashlahah
mursalah.[49]
Selain itu, al-Ghazali juga mengkategorisasi mashlahah
berdasarkan segi kekuatan substansinya, yaitu maslahah level dharūriyyāt,
maslahah level hājiyyāt, dan maslahah level tahsīniyyāt.[50]
Menurut Musthafa al-Sya’labi (Guru Besar Ushul al-Fiqh Univ. al-Azhar
Kairo), berdasarakan segi perubahannya, mashlahah terbagi menjadi
dua bentuk: 1) al-mashlahah al-tsābitah, yaitu kemaslahatan yang
bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya,
berbagai kewajiban ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. 2)
al-mashlahah
al-mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu, dan objek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan
dengan permasalahan mua’malah dan adat
kebiasaan.[51]
Adapun Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam membagi mashlahah menjadi
dua macam, 1) mashlahah dalam arti denotatif (haqīqīy)
yakni kesenangan dan kenikmatan dan 2) mashlahah dalam arti
konotatif (majāzīy), yakni media yang mengantarkan kepada kesenangan,
kebaikan dan kenikmatan. Media tersebut tidak mesti berupa mashlahah, namun juga dapat berupa mafsadah.
Sehingga meskipun dalam bentuk mafsadah, hal ini diperintahkan atau
dibolehkan. Sebab dianggap sebagai sesuatu yang mampu mengantarkan kepada mashlahah yang lebih agung.[52]
Abu Bakr Isma’il Muhammad Miqa’ yang juga sejalan dengan Thahir ibn ‘Asyur
mengemukakan bahwa berdasarkan pada batasan objek, mashlahah dapat
dibedakan menjadi dua macam; 1) mashlahah ‘ammah, yaitu mashlahah
yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan segenap
masyarakat atau sebagian besar masyarakat, tanpa melihat pada satuan individu
dari mereka, 2) mashlahah khāshshah, yaitu mashlahah
yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat
individual, meski kemudian dari yang bersifat individual ini akan mengarah
kepada kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat kolektif.[53]
Sedang jumhur
ulama ushul al-fiqh membagi maslahah berdasarkan tingkat kualitas
kepentingannya menjadi tiga bentuk:
a.
Al-Mashlahah al-Dharūriyyah, yaitu
kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat. Kemaslahatan ini dikenal dengan pemeliharaan al-mashālih al-khams (agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta).
b.
Al-Mashālih al-Hājiyyah, yaitu kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokokatau mendasar yang antara
lain berbentuk suatu keringanan dalam rangka mempertahankan dan memelihara
kebutuhan pokok manusia.
c.
Al-Mashālih al-Tahsīniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.[54]
E. KAWIN LARI (MERARI’)
ADAT SASAK DALAM PERSPEKTIF MAQĀSHID AL-SYARĪ‘AH
Kawin lari merupakan suatu tradisi yang sudah dijalankan oleh warga Lombok
sejak zaman leluhur mereka hingga saat ini. Kawin lari dalam adat sasak disebut dengan
istilah merari’. Merari’ ini merupakan adat asli suku Sasak yang masih
mentradisi di Lombok. Sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas bahwa merari’
ialah membawa lari calon pengantin perempuan oleh calon pengantin lelaki ke
tempat keluarga si lelaki untuk disembunyikan dengan tujuan supaya dapat
dinikahi dan dijadikan istri.
Dalam proses kawin lari (merari’) adat Sasak ada beberapa tahap yang
harus dijalankan, yaitu mulai dari midang, memaling, nyebo’, beselabar,
besejeti, kreme gubuq, membahas pisuke, ngendeng weli, bekawin, bekuade, begawe
bajang, selametan, sorong serah, nyongkolan, sampai nulakin lampak nae.
Tahapan-tahapan dalam kawin lari ini sudah penulis jelaskan pada sub bab
terdahulu.
Sebelum menetapkan status hukum kawin lari ini, penulis akan menganalisis
tahapan demi tahapan dalam proses kawin lari tersebut dengan berpedoman kepada maqāshid
al-syarī’ah. Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada pembahasan
sebelumnya bahwa proses kawin lari ada beberapa tahapan.
Pertama, Midang. Tradisi midang ini sebenarnya bukan asli
adat sasak, tetapi sering kali dilakukan oleh para pemuda yang sedang pacaran. Midang
adalah salah satu cara untuk melakukan pertemuan dan berbicara langsung dengan
pacar. Kalau midang ini bertujuan untuk mempererat silaturrahmi, saling
menasihati, dan tidak hanya duduk berdua dengan pacarnya, tetapi orang tua si
pacar juga ikut duduk bersama, maka menurut penulis, tidak ada masalah dan
boleh-boleh saja. Sama halnya dengan orang-orang yang melakukan jual beli,
sewa-menyewa, belajar, berdiskusi, musyawarah, dan kegiatan mu’amalah lainnya.
Akan tetapi, tidaklah demikian kenyataan yang terjadi di lapangan. Para
pemuda memanfaatkan momen midang ini untuk melepas rindu dengan
pacarnya, duduk berduaan di rumah si perempuan, saling memuji, merayu, dan
menggoda sehingga sering kali menimbulkan syahwat bahkan melakukan hal-hal yang
melanggar syari’at, seperti saling menyentuh, berpegangan tangan, saling meraba
dan seterusnya. Bila hal ini terjadi maka tradisi midang seperti ini
jelas telah melanggar syari’at. Sebagaimana firman Allah[55]:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَالِكَ أَزْكَى لَهُمْ
إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
Sebenarnya tidak hanya tradisi midang seperti ini yang dilarang oleh
syari’at, tetapi berpacaran itu sendiri sudah tidak sesuai dengan syari’at.
karena orang yang berpacaran sekarang ini tidak bisa terhindar dari berdua-duaan
di tempat yang sunyi, di rumah, sekolah, kampus, kos, pantai, taman, di mall,
dan sebagainya. Tidak hanya itu, terkadang anak muda zaman sekarang, merasa
tidak puas bila bertemu dan mengobrol saja. Mereka sering kali memanfaatkan masa
pacaran ini untuk saling berpengangan tangan, berpelukan bahkan saling
berciuman. Ada yang mengatakan: “Rasanya kurang afdhal kalau kita
berpacaran tapi belum merasakan ciuman atau berpelukan.” Ada juga yang
mengatakan: “Rugi banget kalau kita punya pacar tapi belum pernah menciumnya.” Dan
realitas sekarang ini, orang yang berpacaran menganggap bahwa berpelukan
ataupun berciuman itu adalah hal yang biasa, bahkan mereka tidak segan-segan
untuk tidur bareng dan melakukan hubungan intim dengan pacarnya. Inilah alasan
syari’at tidak membolehkan berpacaran, karena tidak hanya mendekati zina yang jelas-jelas
merupakan larangan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنَى
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلَا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”[56]
Bahkan pacaran sering kali menjerumuskan orang ke dalam perzinahan. Dan telah
dimaklumi bahwa zina itu merupakan salah satu dosa besar yang wajib dihindari.
Bila seseorang terjerumus ke dalam perzinahan, maka dalam perspektif maqāshid
al-syarī’ah, dia harus dirajam di hadapan orang-orang mu’min supaya ada
efek jera dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang menyaksikan. Sebagaimana
firman Allah:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِى
فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةً وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا
رَأْفَةٌ فِى دِيْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ
وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”[57]
Tahap kedua dari proses kawin lari adalah memaling. Inilah inti dari
adat kawin lari. Karena kawin lari itu sendiri di dalam masyarakat Lombok lebih
populer dengan sebutan memaling. Pengertian memaling telah
penulis jelaskan secara panjang lebar pada sub bab sebelumnya. Pada intinya, memaling
adalah proses membawa lari seorang gadis tanpa sepengetahuan orang tuanya
dengan tujuan untuk segera dinikahi.
Bila dilihat secara sekilas, istilah memaling (baca: mencuri), maka secara
spontan orang akan mengatakan bahwa perbuatan itu apapun bentuk dan motifnya
tidak boleh dilakukan karena melanggar syari’at. Dan pelaku pencurian itu bisa
dihukum potong tangan sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Maa’idah: 38. Tetapi
sebelum menghukumi suatu perbuatan, orang harus menela’ah terlebih dahulu makna
dan tujuan dari penggunaan suatu istilah. Seperti istilah memaling
(mencuri) di sini berbeda dengan makna penggunaan kata mencuri pada umumnya.
Pengertian mencuri secara umum adalah mengambil milik orang lain tanpa izin
yang punya. Sedangkan mencuri (memaling) dalam hal ini mengandung
pengertian membawa lari seorang gadis yang diduhului oleh suatu kesepakatan dan
didasarkan perasaan suka sama suka, meskipun tidak seizin orang tua si gadis
itu.
Memaling hanyalah suatu adat yang
tidak menyimpang dari syari’at dan mengandung beberapa kemaslahatan, diantaranya
ialah memudahkan bagi pihak lelaki, meringankan beban baik pihak keluarga
lelaki ataupun perempuan, prosesnya lebih cepat dari pada tunangan ataupun
melamar. Menurut penulis, bila ditinjau dari segi hukum Islam, tradisi memaling
ini sudah sesuai dengan maqāshid al-syarī’ah yaitu adanya kemaslahatan.
Dalam hal ini kemaslahatannya tergolong dalam kategori mashlahah
mursalah, bukan mashlahah mu’tabarah karena tidak ada nash
yang menganjurkannya, dan bukan pula mashlahah mulghah karena
tidak ada nash yang bertentangan dengan tradisi seperti ini.
Alasan lain kenapa penulis membolehkan tradisi memaling ini adalah
karena tradisi ini sudah berkembang dan sudah dipraktekkan oleh masyarakat
Lombok sejak zaman leluhur mereka. Bahkan si pemuda sering kali merasa malu
kalau si gadis minta supaya dia dilamar. Apalagi kalau si pemuda itu berasal
dari keluarga yang kurang mampu. Karena memaling telah menjadi adat di
Lombok, maka sebagian besar warga Lombok cenderung dan mengambil langkah ini
untuk melangsungkan sebuah pernikahan.
Seandainya semua gadis khususnya di Lombok tidak mau menikah kalau tidak
dilamar, sementara para pemuda enggan untuk melamar dan tetap memilih cara memaling
untuk menjaga tradisi, maka betapa banyak pemuda Lombok yang tidak akan menikah
dan banyak juga gadis-gadis yang nanti akan menjadi perawan tua. Selain itu,
mungkin saja para pemuda melakukan hal-hal yang dilarang syari’at karena si
gadis tidak mau diajak menikah dengan cara memaling, seperti melakukan
perzinahan, memperkosa, dan sebagainya.
Oleh karena itu, tradisi memaling ini menurut penulis boleh karena
adanya unsur kemudaratan kalau tidak dilaksanakan, seperti deskripsi di atas.
Kebolehan memaling ini didasarkan pada firman Allah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ
فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
Dan berdasarkan qaidah fiqh:
اَلضَّرُوْرَةُ
يُزَالُ
Selain itu, menurut warga Lombok, jauh lebih mudah menikah dengan cara memaling
dari pada melamar, karena melamar itu butuh proses panjang dan harus melalui
musyawarah dari keluarga besar baik pihak lelaki ataupun perempuan. Dan apabila
ada salah seorang anggota keluarga dari salah satu pihak tidak setuju, maka
rencana pernikahan bisa menjadi gagal. Oleh karena itu, penulis mengatakan boleh
berdasarkan firman Allah:
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ
الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Dan berdasarkan qaidah fiqh:
اَلْمَشَقَّةُ
تَجْلِيْبُ التَّيْسِيْرِ
“Kesukaran itu melahirkan
kemudahan.”[61]
Tahap selanjutnya adalah nyebo’, beselabar, besejeti, dan kreme
gubuq. Keempat tahapan ini murni adat Sasak, dan mungkin tidak terdapat
pada suku lain di Indonesia. Ditinjau dari aspek pelaksanaannya, tidak ada yang
bertentangan dengan syari’at. Sehingga tahapan-tahapan ini boleh dan sah-sah
saja dilakukan oleh masyarakat Lombok. Karena ini berhubungan dengan mu’amalah
dan tidak ada kaitannya dengan ibadah. Sedangkan hukum dasar dari mu’amalah
adalah boleh sebagaimana disebutkan dalam qaidah fiqh:
اَلْأَصْلُ فِى
اْلأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
“Pada dasarnya hukum dari segala
sesuatu (mu’amalah) itu adalah boleh.”[62]
Selanjutnya adalah tahap ngendeng weli (minta wali). Tahapan ini
dilakukan beberapa jam sebelum dilangsungkannya akad nikah (bekawin).
Tradisi ini jelas tidak mengandung unsur dosa dan pelanggaran. Karena setiap
orang yang hendak melangsungkan akad nikah pasti meminta wali kepada orang tua
atau wali dari si perempuan terlebih dahulu. Oleh karena itu, penulis
menganggap tidak perlu untuk mendatangkan dalil ataupun qaidah yang membolehkan
tradisi ngendeng weli ini karena sudah jelas hukumnya boleh bahkan wajib
karena wali merupakan salah satu rukun nikah.[63]
Tahap berikutnya adalah bekawin (akad nikah). Bekawin ini
merupakan inti dari sebuah pernikahan. Dengan cara apapun orang melaksanakan
pernikahan pasti akan melaksanakan proses bekawin ini. Bekawin
bukan hanya sebagai adat tapi merupakan bagian dari syari’at. Sah atau tidaknya
proses bekawin ini tidak ditentukan oleh adat atau tradisi, tetapi sudah
diatur dalam syari’at mengenai rukun dan syaratnya. Bila ditinjau dari segi maqāshid
al-syarī’ah, maka proses bekawin inilah yang menjadi inti dari semua
proses pernikahan, baik dengan cara tunangan, melamar ataupun memaling.
Tahap selanjutnya adalah bekuade dan begawe bajang. Tradisi
ini sebenarnya bukan asli adat Sasak, tetapi sudah menjadi tradisi di
Sekarbela. Bekuade dan Begawe bajang sebagaimana yang telah
dijelaskan di depan adalah hampir sama dengan acara resepsi. Hanya saja bekuade/bagawe
bajang ini hanya dihadiri oleh para pemuda yang merupakan teman dan sahabat
si pengantin lelaki yang berasal dari kampung yang sama.
Tujuan dari bekuade/begawe bajang adalah untuk berbagi kebahagiaan
dengan warga sekitar terutama kaum pemuda dengan menyiapkan berbagai sajian
makanan, kemudian para tamu undangan memberikan amplop sebagai rasa
persahabatan mereka dan rasa syukur terhadap kebahagiaan yang telah dirasakan
oleh si pengantin. Bekuade/Begawe bajang ini juga bertujuan sebagai
motivasi supaya pemuda-pemuda yang belum menikah agar segera menyusul ke
pelaminan.
Berdasarkan tujuannya ini, maka penulis berpendapat bahwa tradisi bekuade
dan begawe bajang ini hukumnya boleh karena tidak bertentangan dengan maqāshid
al-syarī’ah bahkan bisa jadi dianjurkan karena dapat memotivasi bagi para
pemuda yang belum menikah supaya segera menikah agar terhindar dari perbuatan
maksiat yang merupakan salah satu bagian pokok dari maqāshid al-syarī’ah
yaitu hifzh al-nasl.
Selanjutnya adalah tahap selametan. Tradisi selametan ini
sebenarnya telah ada di dalam Islam, yaitu biasa disebut dengan istilah walimah
al-ursy. Jadi penulis tidak perlu menjelaskan argumentasi panjang lebar
tentang kebolehan tradisi selametan ini karena sudah merupakan anjuran
dari syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan maqāshid al-syarī’ah.
Berikutnya adalah sorong serah dan nyongkolan. Kedua tahapan
ini telah penulis paparkan secara lengkap pada pembahasan sebelumnya. Inti dari
kedua tradisi ini adalah acara perkenalan antar dua keluarga besar yaitu
keluarga dari pengantin lelaki dan keluarga dari pengantin perempuan. Bila hal
ini yang terjadi maka penulis cenderung mengatakan boleh, karena tradisi ini
tidaklah bertentangan dengan syari’at Islam dan mengandung suatu kemaslahatan
yang merupakan inti dari maqāshid al-syarī’ah.
Namun, dalam pengamatan penulis, khususnya pada tradisi nyongkolan,
sering kali ada orang yang tidak shalat Ashar pada waktunya alias mengqadha’
shalatnya, karena acara nyongkolan ini biasanya dilaksanakan sebelum
shalat Ashar dan berakhir sekitar satu jam sebelum waktu maghrib tiba.
Sebenarnya, bukan acara nyongkolan itu yang menyebabkan mereka
mengqadha’ shalat, tetapi kelalaian mereka lah yang menjadi faktor penyebabnya.
Karena ada rentang waktu satu jam untuk melaksanakan shalat Ashar sebelum waktu
maghrib tiba, tetapi mereka malah menghabiskan waktu untuk duduk-duduk santai
dan melalaikan waktu shalat.
Apabila hal ini selalu terjadi dalam tradisi nyongkolan, maka
penulis cenderung mengatakan bahwa nyongkolan itu adalah haram karena telah
melanggar maqāshid al-syarī’ah yaitu hifzh al-dīn. Dan dalam qaidah fiqh dikatakan:
مَا لَا يَتِمُّ
الْحَرَامُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ حَرَامٌ وَتَرْكُهُ وَاجِبٌ
“Segala sesuatu yang tidak sempurna perbuatan haram kecuali dengannya maka perbuatan itu haram dan meninggalkannya adalah wajib.”[64]
Qa’idah ini berarti bahwa segala hal yang membawa (menjadi perantara)
kepada perbuatan haram maka hukumnya adalah haram dan wajib ditinggalkan. Jadi,
kalau tradisi nyongkolan ini selalu membawa kepada perbuatan yang
dilarang syari’at maka hukumnya haram, tetapi kalau tidak maka boleh.
Tahap terakhir dari adat kawin lari yang diterapkan di Sekarbela adalah nulakin
lampak nae. Tradisi ini bertujuan untuk mempersatukan dua keluarga besar
yaitu keluarga pengantin lelaki dan perempuan. Tradisi ini adalah tindak lanjut
dari tradisi sorong serah dan nyongkolan yang hanya
memperkenalkan keluarga secara sekilas.
Dalam acara nulakin lampak nae ini suasana kekeluargaan sudah mulai
terasa karena acaranya diisi dengan makan bersama antar kedua keluarga yang
hadir pada acara itu. selain itu, tradisi ini juga bertujuan untuk saling
mengenal lebih dekat supaya apabila bertemu di jalan atau di mana saja, mereka
bisa saling tegur sapa tanpa ada perasaan sungkan. Berdasarkan tujuan dan kemaslahatan
yang terkandung di dalam tradisi nulakin lampak nae ini, maka penulis
mengatakan bahwa tradisi ini boleh dilakukan karena sesuai dengan konsep maqāshid
al-syarī’ah yaitu mewujudkan kemaslahatan umat, dalam hal ini dua keluarga
besar dari kedua pengantin.
Selanjutnya bila ditinjau dari substansinya, kawin lari sebenarnya hanya
merupakan sebuah metode untuk melangsungkan pernikahan karena inti dari kawin
lari adalah proses memaling. Selain itu, ada juga metode lain yang bisa
digunakan seperti melamar dan tunangan. Meskipun metode kawin lari ini tidak
pernah dijelaskan di dalam nash (al-Qur’an dan Hadits), tetapi bila ditinjau
dari perspektif maqāshid al-syarī’ah, maka stutus hukum pernikahan
dengan metode kawin lari ini tetap sah. Karena dalam kelangsungan akad nikahnya
tetap memenuhi syarat dan rukun sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam.
Bila dilihat secara universal, maka pernikahan dengan metode kawin lari ini
hukumnya sah sama halnya dengan pernikahan melalui proses lamaran ataupun
tunangan. Karena bisa jadi status pernikahan seseorang tidak sah meskipun
proses yang ditempuh untuk melangsungkan pernikahan itu sesuai dengan sunnah
Rasul; Atau bisa juga nikahnya sah, tetapi proses yang dilaluinya melanggar
syari’at. Intinya, sah atau tidaknya suatu pernikahan itu tidak bisa dijadikan
dalil bahwa proses yang dilalui sesuai atau melanggar syari’at. Karena sah atau
tidaknya sebuah pernikahan ditentukan pada saat akad nikah bukan pada proses
atau cara yang dilaksanakan sebelum dan sesudah akad nikah.
Misalnya, dengan cara lamaran, walaupun cara ini tidak bertentangan dengan
syari’at bahkan disunnahkan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan sebelum diadakannya proses lamaran ini, calon pengantin lelaki dan
perempuan itu sudah melalui tahap pacaran. Dan selama proses pacaran itu,
mereka tidak bisa terhindar dari larangan syari’at, seperti kencan, apel tiap
malam minggu, ketemuan, jalan bardua, dan seterusnya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan mereka pernah melakukan ciuman ataupun berpelukan.
Nah, apakah orang-orang yang melamar yang didahului proses pacaran seperti
ini, pernikahannya dianggap tidak sah karena proses yang dilalui telah
melanggar syari’at? Maka jawabannya tentu tidak. Meskipun jalan yang ditempuh
banyak yang melanggar syari’at, tetapi hukum pernikahannya tetap sah apabila
syarat dan rukun nikahnya terpenuhi sebagaimana yang telah ditentukan syara’.
Begitu juga dengan orang yang menempuh jalan tunangan ataupun kawin lari untuk
melangsungkan pernikahan.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas dapat penulis simpulkan bahwa kawin lari adat
Sasak yang diterapkan di Lombok tidaklah melanggar syari’at dan status pernikahan
dengan cara kawin lari adalah sah karena telah memenuhi rukun dan syarat nikah
pada saat akad nikahnya sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara’.
Adapun bila terdapat hal-hal yang menyimpang dalam tahapan-tahapan yang
dilalui dalam proses kawin lari itu tidak bisa mengeneralisir bahwa kawin lari
itu tidak boleh secara mutlak. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan yang menyimpang
itu saja yang diharamkan. Berbeda halnya kalau tradisi itu hanya diisi dengan
perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at, maka jelas tradisi itu menjadi
haram sesuai dengan qaidah yang mengatakan bahwa “segala sesuatu yang menjadi
perantara kepada perbuatan haram maka hukumnya juga haram dan wajib
ditinggalkan”.
Jadi, intinya apabila dalam proses kawin lari itu mengandung unsur
kemaslahatan maka tradisi itu boleh dilakukan karena sesuai dengan konsep maqāshid
al-syarī’ah, tetapi apabila tidak ada kemaslahatan dalam tradisi itu bahkan
hanya membawa kepada kemudaratan maka jelas hal itu tidak boleh dilakukan
karena tidak sesuai dengan prinsip maqāshid al-syarī’ah yaitu jalbu
al-mashālih dan daf’u al-mafāsid. Wallahu A’lam bi al-Shawāb.
DAFTAR PUSTAKA
AL-Qur’an al-Karim.
‘Asyur, Thahir
ibn. 1427 H/2006 M. Maqāshid
al-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Kairo: Dar al-Salam.
Ardyan, Erwyn. Kawin Lari Tradisi di
Lombok, http://info-campursari.blogspot. com/2009/04/
kawin-lari-tradisi-lombok_22.html, diakses pada 29 April 2012.
Avazuva, Pernikahan Adat
Sasak, www.Pernikahan_adat_Sasak.htm., diakses
pada 8 Maret 2012.
Al-Bajuri, Ibrahim. Tt. Hāsyiyah
al-Bajuri ‘alā ibn Qasim. Juz 2. Surabaya: Al-Hidayah.
Al-Buti, Muhammad Sa'id Ramadhan. 1977. Dawābit al-Mashlahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyyah. Beirut: Mu'assasah al-Risalah.
Daraz, Abdulloh. 2006. Syarah
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah li Abi Ishaq al-Syatibi, Juz 2.
Kairo: Daar al-Hadits.
Djamil, Faturrahman. 1997. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Logos.
Al-Ghamrawi, Muhammad
Zhuhri. 2004. al-Sirāj al-Wahhāj ‘alā Matn al-Minhāj. Beirut: Daar
al-Fikr.
Al-Ghazali,
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1417 H/1997 M. Al-Mustashfā min ‘Ilm
al-Ushūl. Beirut: Mu’assasat al-Risalah.
Hanan MS, H. Kepala
Lingkungan Sekarbela, Wawancara, Tanggal 27 April 2012.
Al-Hasyimiy, Muhammad
Ma’shum Zainy. 2008. Sistematika Teori Hukum Islam; Qawa’id Fiqhiyyah.
Jombang: Darul Hikmah.
Ide, M. Harun, dkk. 2006. Sejarah Tasyri’ Islam; Priodesasi Legislasi Islam Dalam Bingkai
Sejarah. Lirboyo: FPII.
Jauhar, Ahmad Al-Mursi
Husain. 2009. Maqashid Syari’ah. Jakarta: Amzah.
Khallaf, Abdul
Wahhab. 1392 H/ 1972 M. Mashādir al-Tasyrī’ al-Islāmiy fīmā Lā Nashsha fīhi.
Kuwait: Dar-al-Qalam.
Kusairi, H. Tokoh Agama
dan salah seorang Tetua Adat Sekarbela, Wawancara, Tanggal 27 April 2012.
Mahmud,
Muhammad Khalid. 1995. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Penj.
Yudian Wahyudi Asmin. Surabaya: al-Ikhlas.
Miqa’, Abu
Bakr Isma’il Muhammad. 1405 H/1985 M. al-Ra’yu wa Ātsāruhu fī Madrasāt
al-Madīnah: Dirāsah Manhajiyyah Tathbīqiyyah Tutsbitu Shalāhiyyat
al-Syarī’ah likulli Zamān wa Makān. Beirut: Muassasat al-Risalah.
Mustafa. 2009. Hukum
Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika.
Qorib, Ahmad. 1997. Ushul Fikih 2. Jakarta: PT.
Nimas Multima, Cet. II.
Al-Salam, Izz
al-Din ibn ‘Abd. 1994. Qawā’id al-Ahkām fī Mashālih al-Anām,
Juz V. Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
Sa’adah, Sri Lum’atus.
2011. Peta Pemikiran Fiqh Progresif. Jember: STAIN Jember Press.
Al-Syatibi,
Abu Ishaq. Tt. Al-Muwāfaqāt Fī ‘Ilmi al-Ushūl. Kairo: Daar al-Hadits.
Talqīh al-Afhām
al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, Juz 3, h. 21 (Maktabah Syamilah).
Yahya, Mukhtar
dan Faturrahman. 1993. Dasar-daar Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung:
al-Ma’arif.
Al-Yubi, Muhammad Sa’d
bin Ahmad bin Mas’ud. 1998. Maqashid
al-Syari’ah al-Islamiyah wa Alaqotuha bi al-Adillah al-Syar’iyah. Riyadh:
Daar al-Hijrah.
Zahrah,
Muhammad Abu. Tt. Ushūl al-Fiqh. Kairo: Daar al-Fikr al-Arabi.
Zaid, Mustafa. 1384 H/1964 M. Tt. Al-Mashlahāt fī at-Tasyrī'i al-Islāmiy wa Najmuddin
al-Tufi. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.
Zuhdi, Muhammad Harfin. Tradisi
Merari’; Akulturasi Islam dan Budaya Lokal,
http://lombokbaratkab.go.id/tradisi-merari%E2%80%99-akulturasi-islam-dan-budaya-lokal.html/,
diakses pada 29 April 2012.
[1] Ibrahim al-Bajuri, Hāsyiyah al-Bajuri ‘alā ibn
Qasim, Juz 2, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), h. 91. Lihat juga Muhammad Zhuhri
al-Ghamrawi, al-Sirāj al-Wahhāj ‘alā Matn al-Minhāj, (Beirut: Daar
al-Fikr, 2004), h. 269.
[2] Muhammad Harfin Zuhdi, Tradisi Merari’; Akulturasi Islam dan Budaya Lokal, http://lombokbaratkab.go.id/tradisi-merari%E2%80%99-akulturasi-islam-dan-budaya-lokal.html/,
diakses pada 29 April 2012.
[5] H. Kusairi, Tokoh Agama dan salah seorang Tetua
Adat Sekarbela, Wawancara, Tanggal 27 April 2012.
[6] Muhammad Harfin Zuhdi, Tradisi Merari’....
[7] H. Kusairi,
Wawancara, Tanggal 27 April 2012.
[8] Muhammad Harfin Zuhdi, Tradisi
Merari’ ...
[9] Erwyn Ardyan, Kawin Lari
Tradisi di Lombok, http://info-campursari.blogspot.com/2009/04/
kawin-lari-tradisi-lombok_22.html, diakses pada 29 April 2012.
[10] H. Kusairi, Wawancara, Tanggal 27 April 2012.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] H. Hanan MS, Kepala Lingkungan Sekarbela,
Wawancara, Tanggal 27 April 2012.
[20] Avazuva, Pernikahan Adat Sasak, www.Pernikahan_adat_Sasak.htm., diakses
pada 8 Maret 2012.
[22] H. Kusairi, Wawancara, Tanggal 27 April 2012.
[23] Ibid.
[25] M. Harun Ide dkk. Sejarah Tasyri’
Islam; Priodesasi Legislasi Islam Dalam Bingkai Sejarah (Lirboyo: FPII, 2006), hal. 2.
[26] Abdulloh Daraz, Syarah
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah li Abi Ishaq
al-Syatibi, Juz 2, (Kairo: Daar al-Hadits, 2006), h. 262.
[27] Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud
al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Alaqotuha bi al-Adillah
al-Syar’iyah. (Riyadh:
Daar al-Hijrah, 1998), h. 36.
[30] Mukhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-daar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), h. 333.
[32] Mustafa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 6.
[33] Muhammad Khalid Mahmud, Filsafat Hukum
Islam dan Perubahan Sosial, Penj. Yudian Wahyudi Asmin, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 225.
[34] Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwāfaqāt Fī
‘Ilmi al-Ushūl, (Kairo: Daar al-Hadits, tt),
Juz II, h. 262.
[36] QS. Al-Baqarah: 256.
[37] QS. Al-an’am: 151, dan al-Baqarah: 179.
[40] Sri Lum’atus Sa’adah, Peta Pemikiran Fiqh
Progresif, (Jember: STAIN Jember Press, 2011), h. 21.
[41] Muhammad Sa'id Ramadhan
al-Buti, Dawābit al-Mashlahah fi al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah, (Beirut: Mu'assasah al-Risalah,1977), h.12.
[42] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Ushūl, (Beirut:
Mu’assasat al-Risalah, 1417 H/1997 M), h. 416-417.
[43] Ibid.
[44] Najmuddin al-Tufi, Syarh al-Hadits al-Arba'in al-Nawawiyyah dalam Mustafa Zaid, al-Mashlahāt fī at-Tasyrī'i al-Islāmiy wa Najmuddin al-Tufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1954),
h. 46.
[45] Ibid, h. 48.
[46] Mustafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyrī’al-Islāmiy wa Najm al-Dīn
al-Tūfi (Beirut: Dar
al-Fikr al-‘Araby, 1384 H/1964 M), h. 211.
[47] Abd al-Wahhab Khallaf, Mashādir al-Tasyrī’ al-Islāmiy fīmā Lā Nashsha fīhi (Kuwait: Dar-al-Qalam, 1392 H/ 1972 M), hlm. 80.
[48] Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam, Qawā’id
al-Ahkām fī Mashālih al-Anām, Juz V (Kairo:
Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1994), h. 5.
[53] Abu Bakr Isma’il Muhammad Miqa’, al-Ra’yu
wa Ātsāruhu fī Madrasāt
al-Madīnah: Dirāsah Manhajiyyah Tathbīqiyyah Tutsbitu Shalāhiyyat al-Syarī’ah likulli Zamān
wa Makān (Beirut:
Muassasat al-Risalah, 1405 H/1985 M), h. 338. Lihat juga Thahir ibn ‘Asyur, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 1427 H/2006 M), h.
63.
[54] Perpustakaan Nasional RI, Ensiklopedi
Hukum Islam,
Jilid 4, h. 1144.
[55] QS. An-Nuur: 30.
[56] QS. Al-Israa’: 32. Lihat juga QS An-Nuur: 30-31
dan al-Ahzab: 53.
[57]
QS. An-Nuur: 2.
[58] QS. Al-Hajj: 78.
[59] Muhammad
Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Sistematika Teori Hukum Islam; Qawa’id Fiqhiyyah,
(Jombang: Darul Hikmah, 2008), h. 63.
[60] QS. Al-Baqarah: 185.
[61] Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Sistematika
Teori ..., h. 58.
[63] Rukun nikah ada lima, yaitu: Shighat, pengantin
lelaki, pengantin perempuan, wali, dan dua orang saksi. Lihat Muhammad Zhuhri
al-Ghamrawi, al-Sirāj al-Wahhāj..., h. 272.
[64] Talqīh
al-Afhām al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, Juz 3, h. 21 (Maktabah Syamilah).
Assalamualaikum..wr..wb..
ReplyDeleteSaya ingin bertanya, apabila pihak calon mempelai laki-laki bukan penduduk sekarbela
1. apakah kegiatan Bekuade dan Begawe bajang dan proses nulakin lampaq nae harus dilakukan juga?
2. Proses selametan yang dimaksud diartikel apakah sama artinya dengan resepsi pernikahan?
3. Apakah boleh tidak ada proses nyongkolan?
4. Nilai kreme gubuq bagi laki-laki yang berasal dari luar sekarbela Rp. 1.500.000,- juga?
5. Berapa biasanya besarnya pisuke yang diminta oleh pihak keluarga wanita?
Terima Kasih atas jawabannya.