DISKURSUS TEOLOGI RASIONAL DALAM PERSPEKTIF HARUN NASUTION
Oleh: Zulkifli, S.Pd.I*
A. PENDAHULUAN
Teologi,
sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap
orang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari
teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan
memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang
tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Dalam
perspektif Nasution, teologi dalam tradisi Islam diekuivalensikan dengan ilmu
kalam. Menurutnya karena persoalan yang pertama-tama menjadi perbincangan dalam
konteks teologi Islam adalah persoalan kalam Tuhan, makanya keilmuan ini juga
disebut dengan ilmu kalam, maksudnya ilmu yang membincangkan pertama-tamanya
tentang kalam atau firman Tuhan[1].
Menela’ah
teologi pasti selalu mengajak kita harus kembali ke awal permulaan tumbuhnya sifat kritis umat Islam, terutama yang menyangkut
kepemimpinan dan legalitasnya menurut al-Quran dan sunnah.
Sikap kritis tersebut telah melahirkan berbagai aliran teologi
yang merupakan dampak dari ketidak puasan beberapa kalangan terhadap hasil
tahkim yang disepakati antara pihak Ali dan Muawiyah, hadirnya berbagai
gerakan, seperti Khawarij, kemudian dalam perjalanannya muncul kelompok
Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariah dan Jabariah dengan ciri dan kekhasan pemikiran
teologi mereka masing-masing.
Muncul berbagai aliran teologi dalam Islam, selain merupakan
tuntutan pada saat itu, juga dikarenakan ketidak puasan terhadap berbagai
aliran yang telah ada, namun hal yang menjadi persoalan atau polemik yang
berkembang tetap tentang persoalan yang sama, meliputi; Kekuasan dan Kehendak
Tuhan, Keadilan Tuhan, Perbuatan tuhan, Takdir dan Sunnatullah.
Harun Nasution yang merupakan seorang tokoh cendikiawan yang
memiliki pengaruh besar dalam Perkembangan Pemikiran Teologi Islam di
Indonesia, ia dalam beberapa karyanya memaparkan tentang apa dan bagaimana
Teologi Islam, secara langsung Harun Nasution tidak menciptakan corak teologi,
akan tetapi ia mencoba menerapkan dan mengkomunikasikan pemikiran teologi yang
pernah ada, dan merelevansikannya dengan perkembangan umat Islam saat ini.
Bila kita perhatikan, pemikiran teologi Harun Nasution cenderung
bersifat rasional. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh perjalanan panjang beliau
dalam mendalami teologi dan filsafat di dunia Barat. Sehingga jelas pemikiran
beliau cenderung kepada teologi Mu’tazilah yang rasional. Meskipun teologi
rasional Mu’tazilah adalah bukan hal baru dalam dunia Islam, tetapi dalam
konteks umat Islam Indonesia, teologi rasional masih terbilang hal yang tabu,
karena pemikiran mereka telah didikotomi oleh teologi Asy’ariyah yang cenderung
tradisionalis. Hal ini membuat pemikiran umat Islam di Indonesia menjadi jumud.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis ingin mengeksplorasi
pemikiran-pemikiran rasional Harun Nasution melalui Diskurkus Teologi
Rasional dalam Perspektif Harun Nasution.
B. BIOGRAFI HARUN NASUTION
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada tanggal
23 September 1919. Beliau menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda yakni
Hollandsh-Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan ke tingkat menengah
yang berlandaskan Islam yakni Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Karena
desakan orang tua ia kemudian meninggalkan MIK dan melanjutkan lagi studinya ke
Arab Saudi. Di Arab, ia tidak betah dan menuntut orang tuanya agar bisa pindah
studi ke Mesir. Di negeri sungai Nil ini Harun Nasution mendalami Islam di Fakultas
Ushuluddin Universitas Al-Azhar, namun ia merasa tidak puas dan kemudian pindah
ke Universitas Amerika di Kairo. Di Kairo ini, beliau mendapatkan gelar B.A
dalam bidang ilmu pendidikan dan ilmu sosial. Pernah menjadi konsulat Indonesia
di Kairo, dari Mesir ia ditarik ke Jakarta dan kemudian menjadi sekretaris pada
kedutaan besar Indonesia di Brussel.
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya
mengundurkan diri dari karier diplomatic dan pulang ke Mesir. Di Mesir ia
kembali menggeluti dunia ilmu di sebuah sekolah tinggi studi Islam, di bawah
bimbingan salah seorang ulama fiqih Mesir terkemuka, Abu Zahrah. Ketika belajar
disinilah ia mendapat tawaran untuk
melanjutkan studi di Universitas McGill, Kanada. Untuk tingkat Magister beliau
menulis tentang “pemikiran Negara Islam di Indonesia” dan untuk disertasinya
beliau menulis tentang “posisi akal dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh”. Setelah
meraih doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya
pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Ia sempat menjadi rector IAIN
Jakarta selama dua periode (1974-1982). Kemudian ia memelopori pendirian
Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN.[2]
Sepanjang hayatnya, ia dedikasikan dirinya pada dunia ilmu.
Gagasan dan pemikirannya terasa mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama.
Ia juga dinilai cukup berani dalam hal pemikiran keagamaan. Di bidang akademis,
dia terbilang sukses, terutama dalam meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru
tentang keislaman di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia.
C. KARYA-KARYA HARUN NASUTION
Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution
telah menulis sejumlah buku, antara lain sebagai berikut[3]:
1.
Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua
jilid, diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah
memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa
Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak
saja. Islam menurut buku Harun ini lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya
sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan
politik.
2.
Teologi
Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku
ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang
aliran dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga
yang pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan
Jabariah, Mu’tazilah, dan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Uraian diberikan sedemikian
rupa, sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran
terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa
dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran mana
yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak pertama
kali tahun 1972 oleh UI-Press.
3.
Filsafat
Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu,
ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan
Tuhan. Buku ini semula diterbitkan Bulan Bintang.
4.
Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan
ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian
falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam
menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta
falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi,
al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian
mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam sebagai
upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun 1973 oleh
Bulan Bintang, Jakarta.
5.
Pembaharuan
dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini merupakan
kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di Jakarta
tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran dan
gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut periode
modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan yang terjadi
di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan Napoleon dan
pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut Muhammad Abduh), Turki, (topik
intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, tiga aliran
pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa Kemal), dan India-Pakistan (topik
intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir
Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam Azad dan Nasionalisme India.
6.
Akal
dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian akal
dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan
ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam.
Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal mempunyai
kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran keagamaan sendiri.
Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk kepada teks wahyu.
7.
Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan
terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul
“The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System
and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku ini
berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal,
fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan,
perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran
teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum Mu’tazilah,
bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh melebihi pemikiran
Mu’tazilah.
8.
Islam
Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun
Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama
mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus
diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh
teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah
merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara
kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak
pada tradisi sendiri.
D. TEOLOGI RASIONAL DALAM PERSPEKTIF HARUN
NASUTION
- Ciri-ciri Teologi Rasional
Untuk memahami Teologi Rasional, maka kita harus
mengetahui ciri-cirinya. Dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu’tazilah dikenal
sebagai pelopor teologi rasional. Oleh karena itu, berikut ini akan dipaparkan
ciri-ciri teologi rasional menurut kaum Mu’tazilah, yaitu[4]:
a.
Kedudukan akal tinggi di dalamnya,
sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak
sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka meninggalkan arti harfiah
teks dan mengambil arti majazinya, dengan kata lain mereka tinggalkan arti
tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak
memakai ta'wil dalam memahami wahyu.
b.
Akal menunjukkan kekuatan manusia,
maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa.
Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai
kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam.
Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan
istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang
penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
c.
Pemikiran filosofis mereka membawa
kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang
menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka
selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an
disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam
ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk
kepentingan hidup manusia di dunia ini.
- Posisi Akal dan Wahyu dalam Teologi Rasional
Teologi yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan
tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri
manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai
pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan.[5]
Sebelum membahas lebih lanjut posisi akal dan wahyu dalam teologi
rasional, perlu penulis paparkan dalam makalah ini terlebih dahulu tentang
makna dari masing-masing kata akal dan wahyu tersebut.
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata
Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy
(الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa
bentuk kata kerjanya ‘aqluh (عقلوه) dalam 1 ayat, Ta’qilun (تعقلون)
24 ayat, Na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها)
1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat[6].
Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat
disebut ayat-ayat berikut:
tbqãèyJôÜtGsùr&
br&
(#qãZÏB÷sã
öNä3s9
ôs%ur
tb%x.
×,Ìsù
öNßg÷YÏiB
tbqãèyJó¡o
zN»n=2
«!$#
¢OèO
¼çmtRqèùÌhptä
.`ÏB
Ï÷èt/
$tB
çnqè=s)tã
öNèdur
cqßJn=ôèt
ÇÐÎÈ
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan
percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu
mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”[7]
óOn=sùr&
(#rçÅ¡o
Îû
ÇÚöF{$#
tbqä3tGsù
öNçlm;
Ò>qè=è%
tbqè=É)÷èt
!$pkÍ5
÷rr&
×b#s#uä
tbqãèyJó¡o
$pkÍ5
(
$pk¨XÎ*sù
w
yJ֏s?
ã»|Áö/F{$#
`Å3»s9ur
yJ֏s?
Ü>qè=à)ø9$#
ÓÉL©9$#
Îû
ÍrßÁ9$#
ÇÍÏÈ
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”[8]
(#qä9$s%ur
öqs9
$¨Zä.
ßìyJó¡nS
÷rr&
ã@É)÷ètR
$tB
$¨Zä.
þÎû
É=»ptõ¾r&
ÎÏè¡¡9$#
ÇÊÉÈ
“Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.[9]
ù=Ï?ur
ã@»sVøBF{$#
$ygç/ÎôØnS
Ĩ$¨Z=Ï9
(
$tBur
!$ygè=É)÷èt
wÎ)
tbqßJÎ=»yèø9$#
ÇÍÌÈ
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini
Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang
berilmu.[10]
Kalau kita lihat kamus-kamus Arab yang dikutip oleh Harun Nasution[11],
akan kita jumpai kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Sedangkan
dalam Lisan Al-Arab, menjelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr
(menahan) dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dari mengekang hawa
nafsu. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-‘aql mengandung arti
kebijaksanaan (al-nuha), lawan dari lemah pikiran (al-humq).
Selanjutnya disebut bahwa al-aql juga mengandung arti al-qalb.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kata ‘aqala mengandung arti memahami.
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, yang dikutip oleh Harun Nasution[12],
bahwa kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis
(practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal,
menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan
masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat
melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Bagaimanapun kata ‘aqala mengandung arti mengerti,
memahami, dan berpikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pengertian, pemahaman,
dan pemikiran itu dilakukan oleh akal yang berpusat di kepala? Dalam al-Qur’an
sebagai dijelaskan di atas oleh ayat 46 dari surat al-Hajj, pengertian,
pemahaman, dan pemikiran dilakukan melalui qalbu yang berpusat di dalam dada.
Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian:
ôs)s9ur
$tRù&us
zO¨YygyfÏ9
#ZÏW2
ÆÏiB
Çd`Ågø:$#
ħRM}$#ur
(
öNçlm;
Ò>qè=è%
w
cqßgs)øÿt
$pkÍ5
öNçlm;ur
×ûãüôãr&
w
tbrçÅÇö7ã
$pkÍ5
öNçlm;ur
×b#s#uä
w
tbqãèuKó¡o
!$pkÍ5
4
y7Í´¯»s9'ré&
ÉO»yè÷RF{$%x.
ö@t/
öNèd
@|Êr&
4
y7Í´¯»s9'ré&
ãNèd
cqè=Ïÿ»tóø9$#
ÇÊÐÒÈ
“Dan
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang
lalai.”[13]
$yJ¯RÎ)
ã@Î6¡¡9$#
n?tã
úïÏ%©!$#
tRqçRÉø«tFó¡o
öNèdur
âä!$uÏZøîr&
4
(#qàÊu
br'Î/
(#qçRqä3t
yìtB
É#Ï9#uqyø9$#
yìt7sÛur
ª!$#
4n?tã
öNÍkÍ5qè=è%
óOßgsù
w
tbqßJn=ôèt
ÇÒÌÈ
“Sesungguhnya
jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin
kepadamu, Padahal mereka itu orang-orang kaya. mereka rela berada bersama
orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati
mereka, Maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).”
xsùr&
tbrã/ytGt
c#uäöà)ø9$#
ôQr&
4n?tã
A>qè=è%
!$ygä9$xÿø%r&
ÇËÍÈ
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al
Quran ataukah hati mereka terkunci?”[14]
Ayat-ayat Al-Qur’an maupun uraian kamus yang diberikan di atas
tidak menyebutkan bahwa akal adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-‘aql
malahan dikatakan sama dengan al-qalb yang berpusat di dada.[15]
Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal
terdapat dalam pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani,
akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs النفس atau al-ruh
الروح)
yang terdapat dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh
berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk
nafsu, nafas dan roh.[16]
Akal, dalam pengertian Islam, adalah daya berfikir yang terdapat
dalam jiwa manusia; daya yang sebagai digambarkan dalam Al-Qur’an, memperoleh
pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah
yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar
diri manusia yaitu dari Tuhan.[17]
Adapun kata “wahyu” berasal dari kata al-wahy (الوحى),
dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa
asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy selanjutnya
mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu
lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.[18]
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan
Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surah
Al-Syura menjelaskan:
$tBur
tb%x.
A|³u;Ï9
br&
çmyJÏk=s3ã
ª!$#
wÎ)
$·ômur
÷rr&
`ÏB
Ç!#uur
A>$pgÉo
÷rr&
@Åöã
Zwqßu
zÓÇrqãsù
¾ÏmÏRøÎ*Î/
$tB
âä!$t±o
4
¼çm¯RÎ)
;Í?tã
ÒOÅ6ym
ÇÎÊÈ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun
bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.”[19]
Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah
pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam
dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua,
wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam
keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga,
wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril,
dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah
dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah
Al-Syu’ara dijelaskan:
¼çm¯RÎ)ur
ã@Í\tGs9
Éb>u
tûüÏHs>»yèø9$#
ÇÊÒËÈ tAttR
ÏmÎ/
ßyr9$#
ßûüÏBF{$#
ÇÊÒÌÈ 4n?tã
y7Î7ù=s%
tbqä3tGÏ9
z`ÏB
tûïÍÉZßJø9$#
ÇÊÒÍÈ Ab$|¡Î=Î/
<cÎ1ttã
&ûüÎ7B
ÇÊÒÎÈ
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di
antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.”[20]
Dalam teologi Islam, ada dua aliran pemikiran yaitu pemikiran
rasional seperti yang dianut oleh aliran Mu’tazilah dan pemikiran tradisional
sebagaimana paham yang dianut oleh aliran Asy’ariyah. Pemikiran rasional
memberikan posisi yang tinggi kepada akal. Sementara pemikiran tradisional
lebih mengedepankan wahyu dan memberikan porsi yang sangat kecil kepada akal.
Sehingga dapat dikatakan bahwa akal mempunyai posisi terpenting
dalam aliran Mu’tazilah dan fungsi terkecil dalam paham Asy’ariyah. Begitu juga
sebaliknya, wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan
fungsi terkecil dalam paham Mu’tazilah. Semakin besar fungsi yang diberikan
kepada wahyu dalam suatu aliran, maka semakin kecil posisi akal yang ada di
dalam aliran itu. Sebaliknya, semakin sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran,
maka semakin besar posisi akal dalam aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh
pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian
menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya,
menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong
manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
Oleh karena itu, di dalam system teologi, yang memberikan daya
terbesar kepada akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang
mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam system teologi, yang
memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia, dalam aliran Mu’tazilah
(kaum Rasionalis), dipandang berkuasa dan merdeka, sedangkan manusia, dalam
aliran Asy’ariyah (kaum Tradisionalis) dipandang lemah dan jauh kurang mardeka.[21]
Namun, perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata-kata rasional,
rasionalisme, dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dari arti kata
sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan
wahyu, atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu, sehingga wahyu dapat
dibatalkan oleh akal. Dalam pemikiran Islam, baik di bidang falsafat dan ilmu
kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Teks
wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu
dan sekalo-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi
terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi
interpretasi.
Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya
bukan akal dengan wahyu, baik oleh kaum Mu’tazilah maupun oleh kaum filosof Islam. Yang dipertentangkan
adalah penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks
wahyu itu juga. Jadi yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat
akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain tentang penafsiran wahyu,
dengan kata lain, ijtihad ulama dengan ijtihad ulama lain.[22]
3.
Teologi Rasional Harun Nasution
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi
kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada
Zaman Klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman
Pertengahan Islam (1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana
tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits. Persepsi
ini bertemu dengan persepsi yang sama dari peradaban Yunani melalui filsafat
dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di dunia Islam
ini Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia
(Syiria), dan Bactra (Persia). Di sini memang telah berkembang pemikiran
rasional Yunani.
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani ini melahirkan pemikiran
rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik. Tapi perlu ditegaskan di sini
bahwa ada perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran Islam Zaman
Klasik. Di Yunani tidak dikenal pemikiran agama Samawi, maka pemikiran bebas,
tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara pada
Islam Zaman Klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama
Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional
yang sekular, maka dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang
agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para
ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat
dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban
Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang
bertentangan dengan AI-Quran dan hadits.[23]
Harun Nasution dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak
memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat,
mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan
kaum Muslim. Ada dua obsesi Harun yang paling menonjol. Pertama, bagaimana
membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang
pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas
kapasitas manusia qadariah.
Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat
Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah
(terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun
selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi
akal itu dalam pandangan Al-Quran yang demikian penting dan bebas. Harun memang
sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis kosmopolitan
(Barat). Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar
pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap
pemikiran-pemikiran para filsuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas
terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang
terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa
kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang
meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan
filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.
Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap
disebut sebagai ''Gebrakan Harun''. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman
yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat
dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar,
universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat
dalam Al-Quran dan Hadits mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat
absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah.
Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini.
Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan),
yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena
itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi.
Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya
kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin
lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya.
Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.
Gebrakan kedua dilakukan saat dia menjabat rektor IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1973 (kini Universitas Islam Negeri/UIN). Saat itu,
secara revolusioner dia merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar
ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa.
Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi
riset. Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus
diubah karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud. Sedang gebrakan ketiga,
bersama Menteri Agama Harun mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana pada
1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi
melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional,
mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama, dan menguasai
filsafat. Filsafat, ujarnya, sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu
secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkannya lahir dari Fakultas
Pascasarjana. Dampak dari usaha Harun sungguh luar biasa. Ciputat jadi hidup.[24]
Menurut Richard Martin dalam bukunya Approaches to Islam in
Religios Studies, yang dikutip oleh Fauzan Saleh[25],
bahwa Kontribusi terbesar Nasution terletak pada upayanya memperkenalkan
teologi rasional Mu’tazilah secara lebih konprehensif. Sebelum ini, Mu’tazilah
sering dianggap sebagai rangkaian bid’ah yang diketahui hanya melalui polemik
yang dipinjam dari sumber-sumber Asia Selatan dan Timur Tengah.
Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi
rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai
pelopor gerakan mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di
Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam. Menurut
Nurcholish Madjid, Harun telah memberikan sumbangan nyata bagi bangsa Indonesia
dalam hal menumbuhkan ''tradisi intelektual'' yang dirintis di IAIN Jakarta,
dan kemudian menghasilkan suatu gejala umum bahwa doktrin bukan sebagai taken
for granted, justru di saat doktrin itu sudah mapan. Dia mempertanyakan
relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya.
Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning
capacity. Harun, lanjut Cak Nur, telah berhasil menciptakan intellectual
capacity sekaligus learning capacity.
Pola pemikiran Harun, dalam pandangan Cak Nur, sangat Abduhis.
Etos atau penghargaannya terhadap Muhammad Abduh sangat tinggi. Obsesi Harun
kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas,
sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan.
Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariyah. Kemunduran kaum Muslim, kata
Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun,
Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia.[26]
E.
Kesimpulan
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara pada tanggal
23 September 1919. Beliau menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda yakni
Hollandsh-Inlandsche School (1934), dan Moderne Islamietische Kweekschool
(1937). Ia masuk Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir dan memperoleh Ahliyah
(1940) dan Candidat dari Fakultas Ushuluddin (1942). Di Mesir ia juga
memperoleh gelar BA dalam Studi Sosial (1952). Pada tahun 1962 ia melanjutkan
studi di Universitas McGill, Montreal, Canada dan memperoleh MA dalam studi
Islam (1965) dan Ph.D. dalam bidang yang sama (1968). Gelar Professor ia peroleh
dari IAIN Jakarta (1978).
Harun Nasution
telah menulis sejumlah buku, antara lain Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya (1974). Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan
Perbandingan (1977). Filsafat Agama
(1978). Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(1978). Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah
(1987). Islam Rasional (1995).
Harun adalah
seorang figur yang dapat dicatat dalam sejarah Islam Indonesia, sebab dengan
pemikiran-pemikiran rasionalnya Harun mencoba untuk menghilangkan salah satu
sebab kemunduran umat Islam Indonesia, yaitu dominasi Asy’arisme yang sangat
bersifat Jabariyah (terlalu mengarah kepada takdir) atau faham fatalisme.
Sebagai usaha ke arah itu, Harun dalam berbagai tulisannya selalu menghubungkan
akal dengan wahyu dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu ke dalam
pandangan Al-Qur’an yang demikian penting dan bebas.
Harun terus
berusaha mengadakan pembaharuan dan merubah kurikulum yang ada di IAIN Syarif
Hidayatullah, dulu mereka takut menggunakan akal, tetapi dengan adanya
perubahan yang Harun lakukan mereka sudah bisa berpikir rasional, itulah
kesimpulan para ahli filsafah Islam tentang IAIN Syarif Hidayatullah.
Untuk
pandangan teologi rasional, Harun sering kali menunjukkan pada tradisi
pemikiran teologi Mu’tazilah dan juga para pemikir pembaharu berikut seperti
Muhammad Abduh dan lainnya. Tapi, mengenai pandangan teologi tradisional Harun
menunjukkan pada pandangan Asy’ariyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Muhammad. 2008. Teologi Rasional; Studi
analisis terhadap Pemikiran Teologi Harun Nasution. Banda aceh: Ar-Raniry
Press.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art.
Esha, Muhammad In’am. 2003. Teologi Islam; Isu-isu
Kontemporer. UIN-Malang Press.
Madjid, Nurcholis. 2005. Teologi Islam Rasional
Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution. Jakarta: Ciputat
Press, cet.III.
Muzani, Saiful. 2000. Islam
Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution. Bandung: Mizan,
cet.vi.
Nasution, Harun. Prof. DR. 2010. Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
. 1986. Akal
dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
. 1991. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang.
. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press.
Saleh, Fauzan. DR. 2004. Teologi
Pembaharuan; Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta.
*
Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Aqidah yang diampu
oleh Prof. DR. Djamaludin Miri,
MA pada Program S2 Kader Ulama Konsentrasi Aqidah dan Filsafat Hukum Islam
Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo Jawa Timur.
[1] Harun Nasution, Teologi Islam;
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2010), h.
ix.
[2]
Saiful Muzani, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun
Nasution (Bandung: Mizan, 2000), cet. Vi, h. 5-6.
[3] Udhiexz, Pemikiran Prof. DR. Harun
Nasution, http://www.PEMIKIRAN PROF. DR. HARUN NASUTION « BANK MAKALAH, OPINI, ARTIKEL.htm, diakses
28 Mei 2011.
[5]
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81.
[6]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI-Press, 1986), h.
5.
[7]
Q.S. Al-Baqarah: 75.
[8]
Q.S. Al-Hajj: 46.
[9]
Q.S. Al-Mulk: 10.
[10]
Q.S. Al-Ankabuut: 43.
[11]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, h. 6
[12] Ibid,
h. 7.
[13]
Q.S. Al-A’raaf: 179.
[14]
Q.S. Muhammad: 24.
[15]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, h. 8.
[16] Ibid,
h. 8-9.
[17] Ibid,
h. 13.
[18] Ibid,
h. 15.
[19]
Q.S. Asy-Syuura’: 51.
[20]
Q.S. Asy-Syu’araa’: 192-195.
[21]
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 102.
[22]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, h. 101 - 102.
[23]
Saiful Muzani, Islam Rasional, h. 7.
[25]
Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan; Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonesia Abad XX (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 261.
No comments:
Post a Comment